(RIAUPOS.CO) - Masyarakat Desa Suka Damai, dan dua desa lainnya di Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, terutama nelayan kini bisa nernapas lega. Pasalnya, setelah sempat tidak dapat menangkap ikan sama sekali di laut kawasan Pulau Rupat, kini mereka perlahan-lahan bisa mendapatkan kembali mata pencahariannya usai dihentikan sementara aktivitas tambang pasir laut di kawasan tersebut.
Aktivitas penambangan pasir ini pun bukan hanya berdampak pada nelayan di Pulau Rupat saja, akan tetapi nelayan dari Kota Dumai dan Kabupaten Rokan Hilir juga kehilangan mata pencaharian.
Sejak Desember 2021, Suku Akit Rupat dan komunitas lainnya di Pulau Rupat bagian Utara berjuang mengusir aktivitas tambang pasir laut. Mereka menolak aktivitas tambang yang merusak ekosistem laut tempat mereka menangkap ikan dan udang.
Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Umi Ma’rufah menyampaikan, sekarang ini masyarakat yang mayoritas nelayan sudah kembali melaut.
“Sekarang mulai kembali pulih. Kalau upaya pelestarian memang masyarakat di Desa Suka Damai fokus di Beting Aceh, seperti bersih-bersih, penanaman, pembangunan, untuk menjadikannya sebagai lokasi wisata,” katanya, Sabtu (20/8).
Sebelumnya, aktivitas tambang yang dilakukan di laut pesisir utara Pulau Rupat berlangsung sejak 2021, kemudian dihentikan sementara pada 24 Desember 2021.
Dikatakannya, terjadi abrasi di kawasan tersebut, bahkan banyak pepohonan yang tumbang. Akibat dari aktivitas tambang tersebut, beting (timbunan pasir yang sering muncul saat air surut) di sekitar Pulau Babi tidak muncul lagi. Namun, setelah dihentikan sementara beting kembali muncul lagi.
“Sebelum aktivitas tambang di sini, dulu dugong juga kerap muncul sesekali, setelah ada aktivitas tambang dugong sangat sepi dan semakin tidak terlihat. Yang paling kentara tangkapan nelayan kosong bahkan setelah seharian melaut,” tukasnya.
Umi mengungkapkan Walhi Riau mendampingi warga desa dan menginvestigasi ke lapangan untuk menemukan fakta-fakta permasalahan yang terjadi di lapangan, dan mengkampanyekannya ke media sosial, memberikan pengiatan, diskusi, tindaklanjut, dan penyadaran dampak lingkungan.
“Kalau tambang pasir laut, kami mengharapkan supaya perizinan dicabut. Sekarang memang sudah dihentikan sementara, tetapi saat ini izin tersebut masih aktif. Dikhawatirkan aktivitas penambangan akan kembali berlanjut,” tegas Umi.
Dikatakan Umi, saat ini kondisi sudah kembali pulih namun tidak 100 persen, dan masyarakat bisa kembali melaut untuk menangkap ikan.
Satu masyarakat Suku Akit dari Desa Suka Damai, Eriyanto, menuturkan, jika sampai tambang pasir laut dan kerusakan bakau terus terjadi, ia khawatir sumber penghasilan Suku Akit dari aktivitas tangkap ikan akan hilang.
“Nafkah hidup hilang, bencana abrasi dan banjir akan terjadi di kampung kami kalau perusahaan dibiarkan terus beraktivitas. Menjaga pulau tidak hanya menjaga sumber kehidupan kami dan turunan seterusnya, tapi juga memastikan kebudayaan dan tradisi kami dapat terus berlangsung,” tutur Eri.
Salah satu nelayan Suku Akit, Asun, menjelaskan, sampai sekarang Suku Akit kebanyakan masih menggantungkan hidupnya dari hasil laut, sehingga kondisi laut berpengaruh pada hasil tangkap mereka.
“Memang beberapa sudah mulai berkebun, tapi banyak yang masih melaut karena hanya itulah keahlian kami sejak dulu,” tambah Asun.
Asun dan beberapa nelayan lokal yang kami temui berharap izin tambang perusahaan yang melakukan aktivitas tambang di kawasan tersebut dapat segera dicabut. Alasannya, agar mereka tenang mencari ikan di laut.
Selain itu, Direktur Walhi Riau Even Sembiring mengatakan, relasi Suku Akit dengan laut yang cukup kuat harus dihormati dan dilindungi, salah satunya dengan tidak membiarkan tambang pasir laut di perairan Rupat Utara beroperasi.
“Suku Akit adalah salah satu suku asli yang telah ada selama ratusan tahun. Pemerintah harus memperhatikan kebutuhan Suku Akit agar pulau kecil yang mereka huni tetap aman dari berbagai ancaman kerusakan lingkungan,” imbuh Even.(gus)
Laporan MUJAWAROH ANNAFI, Pekanbaru