JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Banyak pihak siap mengadopsi program Desa Bebas Api (Free Fire Village Programme) yang diinisiasi APRIL Group, baik dari pemerintah, asosiasi, dan perusahaan. Terciptanya Free Fire Alliance diharapkan dapat menciptakan Indonesia yang bebas kebakaran lahan dan hutan (karlahut).
Menurut Deputi Bidang Perkebunan dan Pangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Machmud, pemerintah sangat mendukung program Desa Bebas Api karena karlahut harus disikapi dengan cepat, termasuk perubahan pola pikir masyarakat.
"Selama ini rakyat kita melakukan siklus kehidupan melalui membakar. Desa Bebas Api sangat diapresiasi karena preventif untuk membantu mengubah pola pikir siklus masysrat yang membakar lahan lalu menanam," kata Musdalifah dalam pembukaan technical workshop Desa Bebas Api di Jakarta, Senin (29/2).
Dia menilai, Desa Bebas Api merupakan bentuk program sosialisasi kepada masyarakat mengenai pencegahan karlahut. Dan yang paling penting adalah bagaimana memberikan pendampingan dan mengedukasi masyarakat agar tidak menggunakan api dalam membuka lahan.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPBD) Bayu Krisnamurthi menjelaskan, pihaknya akan mengadopsi program Desa Bebas Api dan tahun ini menargetkan akan diterapkan di 100 desa dengan mengalokasikan dana Rp33 miliar. Namun, pihaknya tidak dapat melakukan hal itu sendiri dan perlu melibatkan banyak pihak, seperti pemerintah daerah, pelaku usaha, dan NGO. Saat ini tiga perusahaan telah siap mengadopsi program tersebut, yaitu Wilmar, Asian Agri, dan Musim Mas.
"Kami mengundang NGO dan Pemda. Kami minta technical seperti ini lebih banyak dilakukan di kota-kota yang dekat dengan lokasi rawan kebakaran agar semakin banyak pihak mengetahui cara pencegahan," ujar dia.
Menurut Bayu, ada dua tantangan yang dihadapi dalam menerapkan Desa Bebas Api. Pertama adalah menemukan teknologi atau cara membuka lahan yang sama efektifnya dengan membakar. Hingga saat ini, membuka lahan dengan membakar memang diakui paling efisien. Hal itu sangat penting untuk dicari solusinya karena membuka lahan terkait erat dengan mata pencaharian masyarakat.
Kedua, perlu ditemukan cara atau teknologi untuk mengelola air. Sebab, ketersediaan air saat musim hujan sangat melimpah tetapi air akan jadi masalah karena jumlahnya berkurang saat musim kemarau.
"Jadi, teknologi yang menjaga muka air adalah sebuah tantangan besar secara teknis," ujar Bayu.