PADANG (RIAUPOS.CO)Hampir seluruh daerah di Sumbar, dilanda banjir dan longsor sepanjang 2018 ini. Bahkan, sampai Senin (5/11), banjir masih terjadi di sebagian, Padang, Limapuluh Kota, Solok, dan Pesisir Selatan. Apa yang harus dilakukan pemerintah daerah, untuk mengurangi terjadinya risiko bencana?
Tak henti dirundung bencana alam. Itulah yang dialami Sumatera Barat. Sejak triwulan pertama 2018 sampai sekarang, silih berganti daerah di “Provinsi Tuah Sakato” ini disapu galodo (banjir badang), diterjang air bah, dan dihantam longsor.
Mulai dari Padang, Padangpariaman, Limapuluh Kota, Tanahdatar, Agam, Pasa
man, Pasaman Barat, Sijunjung, Kabupaten Solok, Solok Selatan, sampai Pesisir Selatan. Bahkan, Mentawai, Dharmasraya, Bukittinggi, dan Payakumbuh, juga sudah terdampak banjir.
Hanya Kota Solok dan Sawahlunto yang tak kena banjir tahun ini. Tapi di Sawahlunto terjadi fenomena tanah bergerak. Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk mengurangi risiko bencana, terutama banjir dan longsor.
Pertanyaan tersebut tentu penting dijawab. Bukan hanya karena banjir dan longsor yang terjadi telah menelan puluhan korban jiwa, mengakibatkan kerugian infrastruktur, dan memicu ekonomi biaya tinggi. Tapi juga dikarenakan, sampai Senin siang (5/11), bencana banjir dan longsor masih terus berlangsung pada sejumlah daerah di Sumbar. Seperti di Padang, Limapuluh Kota, Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok.
Selain masih berlangsung, potensi terjadinya banjir dan longsor susulan dalam skala lebih besar juga terbuka lebar di sejumlah daerah. Apalagi, berdasarkan perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) StasiuinMinangkabau, sampai akhir tahun ini, potensi hujan dengan intensitas tinggi, masih terjadi pada hampir seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat.
“Analisis terakhir kami, potensi hujan masih terjadi. Terutama di daerah yang berada di sepanjang Pesisir Barat, daerah perbukitan, dan Bagian Timur Sumbar. Dengan potensi hujan yang meningkat ini, potensi terjadinya cuaca ekstrim (banjir) juga masih tinggi. Karena kondisi tanah yang tidak mampu lagi menyerap hujan yang turun hampir setiap hari,” kata Kepala BMKG Minangkabau Irman Sonjaya dan Kasi Observasi BMKG Yudha Nugraha kepada JPG, Senin (5/11).
Analisa serupa dikemukakan Profesor Bujang Rusman, Dewan Pakar Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Andalas. Dihubungi JPG, Ahad (4/1) malam, profesor kelahiran Sumanik, Tanahdatar, 10 Oktober 1949 ini mengatakan, banjir yang terjadi di Sumbar, bukan masalah lokal lagi. Tapi, sudah terkait dengan skala ekosistem, yakni anomali iklim di planet ini.
“Ini bukan lagi masalah lokal. Tapi sudah skala global. Terkait dengan perubahan iklim. Terkait dengan anomali iklim. Apalagi, Indonesia dilalui garis Khatulistiwa. Sekarang, kapan musim hujan dan kapan musim kering, tak bisa lagi diprediksi. Dalam musim hujan, ada kering (cuaca panas). Dalam musim kering, turun hujan,” kata Profesor Bujang Rusman.
Ironisnya, menurut Bujang Rusman, dalam masalah global yang kian mengkhawatirkan ini, pemerintah daerah di Sumbar, masih saja bertindak lokal. Bahkan, masih bertindak seperti pemadam kebakaran. “Ketika banjir terjadi, semuanya fokus perhatian ke sana. Tapi setelah banjir surut, masalah global ini tak lagi diabaikan. Padahal, ruang lingkup yang dilakukan pemerintah daerah, harusnya juga global. Tidak bisa dalam skala lokal saja,” ujar Bujang.
Dia mendorong Pemprov Sumbar bersama pemerintah kabupaten/kota yang daerahnya dilanda banjir, agar melakukan penanganan jangka panjang. Tidak bisa instan saat terjadi bencana saja. Sebab, anomali iklim ini benar-benar tidak lagi bisa diprediksi. Curah hujan kini meningkat, tapi kapan turunnya tidak bisa lagi diketahui.
Kondisi tanah yang memiliki batas water holing capacity ini, menurut Bujang Rusman, akan semakin runyam, manakala juga terjadi kerusakan lingkungan. “Saat ini, seluruh hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) di Sumbar, sudah rusak. Seharusnya, 30 sampai 40 persen hulu DAS itu adalah hutan. Tapi, kini sudah berubah jadi perkebunan. Sebenarnya inilah yang harus diprogram jangka panjang oleh pemerintah daerah,” ujar Bujang.
Guru Besar Jurusan Tanah ini, mendorong Pemprov Sumbar bersama pemerintah kabupaten/kota, terlebih khusus daerah-daerah yang dilanda banjir dan longsor, agar memperbaiki ekosistem dan ekologi.
Perbaikan ekosistem dan ekologi ini harus terpatri dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan RPJPD (Rencana Pembanguna Jangka Panjang Daerah). Tidak bisa di bibir saja.
‘’Sekarang, saya ingin bertanya kembali, sudahkan perbaikan ekosistem dan ekologi ini terpatri dalam RPJMD dan RPJPD di provinsi dan juga kabupaten/kota di Sumbar? Adakah, restorasi ekologi daerah hulu sungai ini dilakukan pemerintah daerah? Saya pikir, ini masih belum,” ujar Bujang Rusman.(jpg/das)
(Laporan FAJAR R VESKY, Padang)