Kampanyekan Peduli Lingkungan lewat Medsos

Lingkungan | Minggu, 06 Februari 2022 - 11:40 WIB

Kampanyekan Peduli Lingkungan lewat Medsos
Adithyasanti Sofia (atas), Rara Sekar (bawah) (ISTIMEWA)

(RIAUPOS.CO) - SAAT ini kata media sosial (medsos) sudah tidak asing lagi didengar oleh masyarakat. Ada banyak konten berseliweran setiap hari yang dikonsumsi oleh khalayak, dari yang muda hingga lansia, dari yang positif hingga negatif.

Keberadaan sosial media juga dimanfaatkan oleh para aktivis lingkungan dalam mengampanyekan kepedulian terhadap alam dan lingkungan. Program Manager Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Adithyasanti Sofia mengatakan, mulai mengkampanyekan diet kantong plastik sejak 2010 lalu, yang mendorong gerakan uji coba kantong plastik berbayar. Pihaknya mengawali kampanye secara offline. Kemudian seiring berjalannya waktu GIDKP juga mulai berkampanye di media sosial.


“Facebook itu tinggi engagement-nya, audiens juga beragam. Namun itu juga menjadi tantangan bagi kami agar informasi tersampaikan kepada masyarakat,” ungkapnya dalam agenda yang digelar secara daring, Sabtu (5/2).

Ia mengakui, tidak semua konten memiliki engagement tinggi. Konten yang diminati masyarakat biasanya memiliki dampak secara langsung pada kehidupan para audiens.  “Pertama kalinya di sosial media kami, dalam 24 jam like-nya mencapai ribuan yaitu saat pengumuman larangan kantong plastik,” katanya.

Untuk media sosial Instagram, dikatakan Dithy, didominasi oleh anak-anak muda. Kolaborasi dengan public figure juga dinilai sebagai hal yang tak bisa disepelekan. Tak harus public figure yang sangat terkenal, namun public figure lokal juga dapat mendongkrak audiens, sehingga pesan yang ingin disampaikan bisa menjangkau masyarakat lebih luas. “Yang kemarin berhasil itu, kolaborasi diva pop Sunda untuk mengkampanyekan bebas plastik. Ini merupakan kolaborasi dengan public figure lokal,” imbuhnya.

Selain memperhatikan tentang konten dan kolaborasi, sisi internal juga harus diperhatikan, yaitu terkait digital person. Ia melihat, banyak akun media sosial yang dikelola hanya sebagai sambilan, bukan fokus di satu bidang. “Banyak yang menggabung-gabungkan, bukan divisi khusus yang mengelola dan masih dicampur. Padahal perlu ada dedicate person. Ada yang khusus memantau tren, membuat konten, dan lain-lain,” jelasnya.

Dithy menuturkan, isu-isu lingkungan terkadang bukan lah suatu hal yang seksi. Menjadi hambatan, ketika follower berekspektasi tingggi terkait konten, dan menuntut informasi dan call to action. Padahal pihaknya juga banyak menghadirkan konten berbasis data-data, namun sebagian orang tak mudah menerimanya.  “Menjadi tantangan bagi kami, bagaimana data-data ilmiah menjadi data yang mudah diserap,” ungkapnya.

Ia berharap kampanye berkaitan dengan lingkungan tak hanya menjadi gerakan yang hanya berlangsung di dunia saja, hanya klik, buat petisi, atau donasi saja, namun juga dilakukan di dunia nyata.  “Media komunikasi seperti WhatsApp, Tele, jangan sampai ini hanya menggerakkan klik saja, tapi juga menggerakkan mobilisasi nyata,” ujarnya.

Tak hanya itu, jika suatu gerakan mengalami keberhasilan, terkadang suatu organisasi atau komunitas merasa malu untuk mendeklarasikan telah melakukan suatu hal besar. Padahal ini akan membantu audiens menemukan sumber informasi.  “Jangan sampai ketika ada follower yang mengikut suatu gerakan jadinya misinformasi,” ujarnya.

Sementara itu, Musisi Rara Sekar yang juga memiliki hobi berkebun mengaku kerap membagikan pengalamannya, di media sosial pribadinya. Ia juga membahas isu-isu terkait lingkungan melalui podcast dan Youtube, agar masyarakat sedikit banyak memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan. “Saya menggunakan media sosial untuk menyampaikan cara pandang saya,” imbuhnya

Ia mengungkapkan, menjalankan home garden membuatnya merasakan perubahan iklim secara langsung. Ada suatu masa ketika datang musim tanam, dan diperkirakan hujan akan segera turun, namun tak kunjung turun. Ada juga suatu waktu ketika hujan turun tiba-tiba dengan sangat deras saat bukan musim penghujan.  “Saya yang hanya berkebun kecil-kecilan merasakan dampak perubahan iklim, lalu bagaimana mereka para petani sesungguhnya,” tukasnya.

Menurut Rara, berkebun adalah belajar berbagai hak, mulai dari asal-usul pangan, politik langan, ketahanan pangan, hingga kedaualatan pangan. Belajar pun bisa dari mana saja, dari para petani, komunitas, Youtuber, dan lain-lain.  “Saya juga berbagi foto-foto di media sosial, di podcast, membahas isu-isu lingkungan. Membagikan kegiatan personal agar bisa merasakan perubahan yang bermakna,” pungkasnya. (ali)

Laporan MUJAWAROH ANNAFI, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook