Pencegahan Sungai Keruh Harus dari Hulu

Lingkungan | Minggu, 01 Oktober 2023 - 10:47 WIB

Pencegahan Sungai Keruh Harus dari Hulu
Polisi memberikan imbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas PETI di Kuantan Singingi. (MARDIAS CAN/RIAU POS)

Lebih kurang 20 tahun sungai Kuantan keruh. Banyak faktor yang membuat sungai ini keruh. Selain faktor alam, ada campur tangan manusia.

RIAUPOS.CO - Sebelum tahun 2000, sungai Kuantan terlihat bersih dan jernih. Kalaupun ada keruh, itu murni faktor alam yang disebabkan oleh cuaca akibat hujan dengan durasi yang tinggi. Sekarang, keruhnya air sungai kuantan hingga sungai Indragiri, lebih banyak disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertangggung jawab.


Salah satu faktor keruhnya air sungai kuantan akibat aktivitas Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) yang beraktivitas di sepanjang aliran sungai Kuantan. Selain itu, adanya penebangan hutan secara liar yang terjadi di perbatasan Sumatera Barat dan Kuansing.

Seperti yang disampaikan oleh salah seorang ninik manak IV koto Lubuk Ambacang, Syafrudin yang bergelar datuk Songgo kepada Riau Pos baru-baru ini. Menurut Syafrudin, persoalan air sungai kuantan keruh ini terjadi sejak adanya aktivitas PETI dan pembukaan jalan hutan yang dilakukan masyarakat, terutama dibagian perbatasan Kuansing Sumbar.

“Kalau kita mau melihat air sungai kuantan jernih seperti sedia kala, tidak bisa kita menghentikan aktivitas PETI di wilayah Kuansing saja. Harus kita hentikan aktivitas PETI dan pembukaan jalan hutan dari daerah Sumbar. Karena, aliran sungai kuantan ini muaranya dari Sumbar,” kata Syafrudin.

Syafrudin membeberkan, keruhnya air sungai kuantan ini juga disebabkan oleh gundulnya hutan-hutan yang ada sepanjang aliran sungai di perbatasan, ditambah dengan pembuatan jalan oleh pelaku illegal loging yang membabat hutan secara brutal.

“Nah, ketika hari hujan, bekas tanah jalan yang dibangun para pembalak ini akan mengalir ke anak-anak sungai. Muaranya tentu ke aliran sungai kuantan. Ini salah satu yang membuat sungai kuantan keruh,” sebut Syafrudin.

Maka dari itu, lanjut Syafrudin, dalam rangka menjaga lingkungan, seluruh elemen masyarakat, baik yang ada di Kuansing, maupun masyarakat di Sumbar, harus bersama-sama menghentikan aktivitas yang merusak lingkungan ini. 

“Iya. Duduk bersama dengan pemerintah dan ninik mamak provinsi tetangga. Harus ada hukuman jerah bagi pelaku yang kedapatan merusak lingkungan,” tegas Syafrudin.

Syafrudin menceritakan, sebelum tahun 2000, kondisi air sungai kuantan jernih. Sehingga masyarakat memanfaatkan sungai kuantan sebagai tempat mandi dan menjadikan sungai kuantan sebagai usaha pokok dengan mencari ikan sebagai sumber pencaharian masyarakat.

“Kehidupan masyarakat saat itu lebih banyak mencari ikan. Karena penghasilan mencari ikan lebih menjanjikan dari kerja harian lainya. Waktu itu, ikan juga banyak. Sehingga, untuk sambal setiap hari, cukup dengan membawa jala sambil mandi, ikan untuk sekali makan bisa didapat,” cerita Syafrudin.

Begitu saat festival pacu jalur. Kegiatan pacu jalur saat air jernih dengan air keruh jauh berbeda. Suasana pacu jalur saat air keruh ini terasa sesak. Ini disebabkan oleh warnah air sungai kuantan yang berwarna coklat.

“Kalau dulu, saat masyarakat melempar buah-buahan kepada anak pacu ke sungai, bisa diselami. Tapi sekarang, kalau ada yang melempar buah-buahan, tidak bisa terlihat lagi,” kata Syafrudin.

Ke depan, Syafrudin berharap, ada agenda duduk bersama antara pemerintah Kabupaten Kuansing dan Kabupaten Sijunjung, Sumbar untuk membicarakan hal tersebut. Sehingga air Sungai Kuantan dan Sungai Indragiri bisa jernih.

Sebetulnya, pihak kepolisian sudah berulang kali melakukan razia dan penertiban terhadap PETI di sepanjang aliran sungai kuantan. Namun, aktivitas tersebut terus dilkukan masyarakat dengan cara sembunyi-sembunyi.

Baru-baru ini, Polsek Kuantan Mudik juga gencar melakukan penertiban di aliran sungai kuantan. Sekalipun banyak kapal PETI masyarakat yang sudah dibakar, namun aktivitas PETI masih saja terlihat.

Kapolres Kuansing, AKBP Pangucap Priyo Soegito berkali-kali memberikan imbauan tentang bahaya PETI. Selain merusak lingkungan, juga bisa mengancam nyawa pekerja itu sendiri.

“Imbauan sudah kita lakukan. Bahkan penindakan hukum juga sudah kita terapkan. Kami juga sudah melibatkan perangkat desa dan ninik mamak untuk memberantas aktivitas PETI di Kabupaten Kuansing,” kata Kapolres.

Bukan saja PETI yang beraktivitas di sepanjang aliran sungai kuantan, kata Kapolres, pihaknya juga melakukan penertiban terhadap dompeng-dompeng yang bekerja mencari emas di darat dan kebun warga.

“Saya sudah perintahkan masing-masing Kapolsek untuk menindak pekerja dan pemodal PETI jika masih kedapatan beraktivitas. Kami akan terapkan sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata Kapolres. 

Seperti pengakuan salah seorang pekerja PETI yang tidak mau disebutkan namanya menyebutkan bahwa untuk saat ini, dirinya tidak bisa lepas dari bekerja mencari emas.

“Kami tau Bang, kerja kami melawan hukum. Tapi, kami mau kerja apa? Kalau motong karet, dengan harga sekarang, tidak cukup untuk belanja dapur. Belum lagi cuaca yang selalu hujan. Kalau berkebun sawit, modal kami tidak cukup,” kata dia.

Ia juga membeberkan, penghasilan rata-rata pencari emas dengan menggunakan rakit tersebut berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu setiap hari. Itupun tidak setiap hari ia mendapatkan penghasilan seperti itu.

“Kalau di Kuansing , pekerjaan ini sudah rutin bagi kebanyakan orang yang ekonominya di bawah rata-rata. Hasil yang kami dapat hanya cukup untuk makan bang,” tutur dia.(gus)


Laporan Mardias Can, Telukkuantan









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook