Lanjut usia (lansia) merupakan seseorang yang berusia di atas 60 tahun dan biasanya memiliki penyakit majemuk (multipatologi) atau dikenal dengan sindroma geriatri. Sindroma geriatri ini terdiri dari kumpulan gejala atau masalah kesehatan pada lanjut usia. Mereka mengalami penurunan kemampuan gerak, jatuh dan patah tulang akibat penurunan fungsi fisik ataupun gangguan keseimbangan. Dapat juga terjadi inkontinensia urin yang menyebabkan keluarnya urin (kencing) yang tidak terkendali.
Penyakit infeksi juga kerap menyerang lansia sebagai akibat penurunan sistem imun tubuh. Selain itu lansia juga kerap mengalami gangguan fungsi indera, kekurangan gizi, gangguan tidur, gangguan fungsi intelektual (penurunan daya ingat, demensia), konstipasi serta gangguan fungsi seksual. Akibatnya, kelompok lansia ini membutuhkan terapi dengan banyak obat. Namun, disisi lain seiring pertambahan usia fungsi organ tubuh pada lansia juga mengalami perubahan.
Hal ini sangat penting dipertimbangkan sebelum menentukan pengobatan yang tepat. Perubahan fungsi organ tubuh pada lansia membuat mereka lebih rentan mengalami permasalahan terkait obat. Hubungan yang jelas diperlihatkan antara usia tua dengan risiko efek samping obat. Jadi, dengan memahami perubahan fisiologis akibat penuaan, diharapkan pengobatan pada pasien usia lanjut lebih bersifat individual, disesuaikan dengan penyakit pasien dan pengobatan yang sedang dijalani.
Beberapa perubahan fisiologi tubuh akibat proses penuaan dapat mempengaruhi nasib obat di dalam tubuh. Absorpsi atau penyerapan obat akan mengalami perubahan akibat berkurangnya permukaan absorpsi dan penurunan aliran darah di saluran cerna, peningkatan keasaman lambung dan perubahan motilitas atau gerakan peristaltik saluran cerna. Namun, ternyata perubahan tersebut tidak secara bermakna mempengaruhi penyerapan obat meskipun tetap terdapat risiko terjadinya peningkatan efek samping saluran cerna akibat penggunaan obat pada lansia.
Berkebalikan dengan absorpsi, distribusi obat justru banyak mengalami perubahan akibat pertambahan usia. Proses penuaan menyebabkan perubahan komposisi tubuh yang akan mempengaruhi distribusi obat. Perubahan tersebut berupa penurunan total air dalam tubuh, peningkatan proporsi lemak tubuh, dan penurunan protein plasma. Akibatnya, hal ini menyebabkan akumulasi obat di dalam tubuh, meningkatnya potensi interaksi obat dan bahkan dapat terjadi toksisitas akibat obat.
Akibat proses penuaan terjadi perubahan fungsi organ-organ yang berpengaruh pada metabolisme obat yaitu berkurangnya aliran darah hepatik dan berkurangnya massa hati. Perubahan tersebut menyebabkan berkurangnya metabolisme obat yang efektif sehingga obat lebih lama berada di dalam tubuh. Oleh karena itu dosis obat yang diberikan pada lansia juga harus dikurangi agar obat-obat tersebut tidak terakumulasi di dalam tubuh.
Penurunan fungsi ginjal akibat penuaan merupakan perubahan yang paling dapat diprediksi. Akibat penurunan fungsi ginjal pada lanjut usia, dokter yang meresepkan obat seharusnya menyesuaikan dosis obat yang akan diberikan dengan fungsi ginjal pasien. Keterbatasan pasien usia lanjut untuk mengekskresikan obat memberikan konsekuensi berupa meningkatnya risiko akumulasi obat dan efek samping obat. Kondisi ini menjadi lebih penting pada penggunaan obat yang memiliki indeks terapi sempit dan jalur ekskresi utama melalui ginjal.
Terlebih lagi bila pasien juga menderita penyakit yang dapat menurunkan fungsi ginjal seperti diabetes dan hipertensi. Pada pasien usia lanjut dengan komorbid penyakit tersebut terjadi penurunan fungsi ginjal yang lebih berat sehingga pemberian obat dilakukan lebih berhati-hati, bahkan jika memungkinkan perlu untuk memonitor kadar plasma obat. Penuaan juga menimbulkan perubahan efek obat terhadap tubuh manusia. Proses menua menyebabkan perubahan pada reseptor-reseptor yang berinteraksi dengan obat. Hal tersebut berdampak terhadap meningkatnya sensitifitas terhadap obat dan potensi efek samping obat pada lanjut usia.
Sebagai akibat perubahan fungsi organ tubuh akibat proses menua, maka lansia sering kali mengalami efek yang tidak diinginkan akibat penggunaan obat. Frekuensi terjadinya efek samping obat pada kelompok usia lanjut terjadi tujuh kali lebih sering dibandingkan populasi lain pada umumnya. Bahkan dari suatu studi dilaporkan sebanyak 20 persen pasien lansia masuk unit gawat darurat akibat kondisi akut yang diyakini terkait dengan obat. Efek samping samping obat tersebut dapat bersifat ringan hingga berat atau serius.
Dua faktor utama yang dikaitkan dengan terjadinya efek samping obat pada lansia adalah jenis obat dan jumlah obat yang dikonsumsi. Kelompok obat yang paling sering menimbulkan efek samping pada lansia adalah obat kardiovaskuler (obat jantung), neuropsikofarmaka (obat saraf) dan anti radang atau anti nyeri. Terjadinya efek samping obat akan sangat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat.
Pasien usia lanjut sangat berisiko mengalami interaksi obat. Faktor yang berperan adalah perubahan fisiologi tubuh, penggunaan banyak obat (polifarmasi), kondisi komorbid multipel, dan status nutrisi yang tidak adekuat. Beberapa faktor lain, seperti variabilitas interindividual, frailty (kelemahan), dan penurunan homeostasis semakin mempersulit penanganan interaksi obat pada pasien usia lanjut. Faktor pasien seperti yang disebutkan di atas merupakan yang paling banyak berperan pada kejadian interaksi obat.
Selain itu, faktor dokter juga ikut menjadi penyebab interaksi obat, yaitu komunikasi yang tidak efektif antara dokter dan pasien sehingga seringkali dokter tidak mengetahui obat apa saja yang sedang dikonsumsi oleh pasien dan dokter tidak atau salah mengenali gejala pada pasien. Interaksi obat diartikan sebagai pengaruh atau efek suatu obat terhadap obat lain. Efeknya dapat berupa peningkatan atau penurunan efek terapi atau munculnya efek samping obat.
Beberapa permasalahan lain sering terjadi akibat penggunaan obat pada lansia adalah penggunaan obat yang tidak diperlukan, obat yang tidak efektif, frekuensi pemberian obat yang tidak tepat, pemilihan obat yang tidak tepat, penggunaan dosis obat yang tidiak tepat, duplikasi obat, polifarmasi, serta ketidakpatuhan penggunaan obat. Duplikasi terapi merupakan penggunaan dua obat atau lebih yang memiliki zat aktif atau kelas terapi yang sama dalam waktu bersamaan. Sementara, polifarmasi adalah pemberian obat melebihi dari yang dibutuhkan pasien.
Hal ini umumnya terjadi karena banyaknya penyakit yang diderita oleh pasien lanjut usia dan biasanya merupakan penyakit kronis, obat diresepkan oleh beberapa dokter, gejala yang dirasakan pasien tidak jelas, penambahan obat baru untuk menghilangkan efek samping obat atau karena pasien meminta obat. Ketidakpatuhan mengkonsumsi obat juga dapat terjadi pada pasien lansia yang biasanya disebabkan oleh pasien tersebut tidak memahami instruksi minum obat, lupa meminum obat, harga obat yang terlalu mahal atau tidak dapat menelan atau mengelola obat sendiri dengan tepat.
Mengingat kompleksnya permasalahan terkait penggunaan obat pada pasien lanjut usia, maka pemberian obat harus serasional dengan memperhatikan hal berikut: (a) pertimbangkan selalu manfaat dan risiko meresepkan obat, dan apakah manfaat tersebut bermakna secara klinis; (b) gunakan obat hanya bila gejala atau penyakit cukup serius untuk diberikan pengobatan; (c) hindari penggunaan obat yang terlalu lama; (d) gunakan obat dengan dosis terendah dan kemudian dinaikkan perlahan untuk mencapai hasil pengobatan, jika tidak diperlukan lagi hentikan penggunaannya; (e) lakukan penilaian berkelanjutan terhadap semua peresepan kronik untuk memastikan apakah target terapi telah tercapai dan toksisitas tidak terjadi; (f) hindari penggunaan obat yang memiliki risiko tinggi pada pasien usia lanjut; (g) lakukan penyesuaian dosis atau interval pemberian obat jika dibutuhkan; (h) konsultasikan dengan ahli farmasi mengenai interaksi obat dan penggunaan obat pada pasien usia lanjut; (i) label obat harus memberikan petunjuk yang jelas meliputi aturan pakai dan kegunaannya; (j) selalu curiga terhadap sedikit perubahan pada fungsi pasien terkait dengan toksisitas obat; dan (k) lakukan pengawasan minum obat oleh keluarga ataupun perawat kunjungan rumah.****
dr Dina Fauzia,Sp FK, Ketua Komite Farmasi dan Terapi RS Awal Bros Pekanbaru