JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Indonesia tidak hanya memerlukan vaksin Covid-19 dengan segera. Yang tidak kalah penting, Indonesia memerlukan vaksin tersebut dalam jumlah yang besar. Karena jumlah penduduk Indonesia juga teramat besar. Perlu waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk melaksanakan vaksinasi.
Hal itu disampaikan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Prof Ali Ghufron Mukti di kantor presiden kemarin (2/7). Ada tiga upaya pengembangan vaksin yang dilakukan Indonesia. Dua di antaranya melalui kerja sama internasional, yakni antara Biofarma dengan Sinovac Cina dan Kalbe Farma dengan Genexine Korea Selatan.
Bulan ini, calon vaksin kerja sama antara Biofarma dan Sinovac akan masuk uji klinis tahap ketiga. Sementara, kerja sama Kalbe Farma dengan Genexine akan masuh uji klinis tahap 2 di Indonesia Agustus mendatang. Upaya ketiga adalah pengembangan yang dilakukan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19. Upaya tersebut perlu waktu lebih lama ketimbang dua kerja sama internasional.
Ghufron menjelaskan, umumnya pengembangan vaksin perlu waktu bertahun-tahun. Namun, dalam kondisi darurat, konsorsium memprediksi pengembangan vaksin akan memakan waktu 18 bulan. Terlebih, bahan utama pengembangan vaksin, yakni genom virus SARS-CoV-2 sudah ada. "Konsorsium sudah mendapat kiriman 10-16 genom sequencing dari Eijkman dan Universitas Airlangga," terangnya.
Konsorsium mengembangkan vaksin menggunakan platform recombinant protein sub unit vaccine. Bahan dasarnya adalah strain virus yang berkembang secara lokal di Indonesia. Metode itu dipilih karena Indonesia memiliki teknologi dan pengalaman dalam metode tersebut.
Protein dalam virus corona yang berkembang di Indonesia telah diidentifikasi dan sedang diproses di laboratorium untuk persiapan uji klinis. "Proses uji preklinis akan dimulai pada akhir tahun ini, atau selambatnya awal 2021," lanjut ilmuwan 58 tahun itu. Hasilnya akan diketahui pada pertengahan 2021 dan langsung dilanjutkan uji klinis.
Disinggung mengenai biaya vaksinasi di Indonesia, menurut Ghufron harus dihitung dari kebutuhan. Kebutuhan saat ini bisa jadiu berbeda dengan dengan nanti nsaat vaksin siap. kondisi saat ini, 1 orang dengan Covid-19 kemungkinan akan menulari sampai 3 orang. "Karena itu kita memerlukan vaksin sebanyak dua pertiga dari 260 juta penduduk, yakni 166-176 juta," tutur Ghufron.
Artinya, tidak semua orang akan divaksin. Dengan vaksinasi terhadap minimal 176 juta penduduk, itu dirasa cukup. Dengan hitungan 1 orang butuh dua kali vaksinasi, maka Indonesia memerlukan minimal 352 juta dosis vaksin. Dengan asumsi satu dosis vaksin berharga 5 dolar AS atau Rp75 ribu, maka Indonesia harus menyiapkan dana minimal Rp26,4 triliun untuk produksi massal.
Tidak itu saja. Durasi vaksinasi juga perlu dihitung. 176 juta manusia tidak mungkin divaksinasi dalam waktu bersamaan. "Kita perlu sedikitnya satu tahun untuk memvaksinasi dua pertiga populasi yang diperlukan," jelas Ghufron.
Yang jelas, saat ini Indoensia memosisikan diri sebagai salah satu negara yang sedang berjuang mengembangkan vaksin. Maka, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan vaksin menggunakan sumber domestik. Yakni virus yang berkembang secara lokal di Indonesia. Juga menjalin kerja sama dengan negara lain untk bersama-sama mengembangkan vaksin.
Sementara itu, Menlu Retno Marsudi menjelaskan, saat ini banyak negara sedang berlomba-lomba menciptakan vaksin dan obat untuk menangkal Covid-19. "Per kemarin (1/7), lebih dari 149 vaksin sedang dikembangkan," terangnya. Indonesia juga bekerja keras untuk mengembangkan vaksin, di antaranya melalui kerja sama internasional. Juga mendirikan konsorsium nasional sendiri untuk mengembangkan vaksin.
Sementara itu, angka pertumbuhan kasus positif di Indonesia kembali memecahkan rekor tertinggui kemarin (2/7) yakni 1.624. Dengan pertambahan ini, total kumulatif kasus nasional adalah 59.394. Hal ini juga diimbangi dengan angka kesembuhan 1.072 orang hingga menjadi total 26.667. Kemudian angka kematian juga bertambah 53 orang menjadi total 2.987 orang.
Epidemolog Gugus Tugas Nasional Dewi Nur Aisyah mengungkapkan sejak pertengahan Juni 2020, jumlah kasus baru terkonfirmasi positif Corona di Indonesia berada di kisaran 1.000 kasus per harinya. Namun hal tersebut tidak serta merta menunjukkan angka positivity rate yang juga tinggi.
Meski demikian, Dewi mengatakan bahwa berdasarkan penilaian GTPPC-19, angka positivity rate lebih rendah daripada Mei. Secara nasional, positivity rate Indonesia mencapai 12 persen. Ini masih jauh di atas standar positivity rate yang ditetapkan WHO yakni sebesar 5 persen.
"Di pertengahan Mei ada 3,448 orang positif dalam waktu satu minggu. Dengan perbandingan orang yang diperiksa yakni 26,000 orang. Jadi dari 26,000 orang ada 3,000 yang positif. Sehingga, angka positivity adalah 13 persen," jelas Dewi.
Kemudian data di bulan Juni menunjukkan rata-rata 8.000 kasus baru dalam satu minggu. Memang kata Dewi jumlah ini meningkat. Namun sebanding dengan jumlah orang yang diperiksa yakni 55.000 orang. sehingga didapatkan angka positivity rate 12 persen.
Dewi menyebut angka ini stagnan bahkan cenderung turun dari bulan sebelumnya. Menunjukkan bahwa kecepatan penularan melambat.
Sementara itu, memasuki bulan keempat Pandemi Covid-19, Jubir Pemerintah Achmad Yurianto mengatakan bahwa angka kesembuhan semakin membaik. Hingga 1 Juli 2020, tercatat kasus positif yakni 57.770 dengan angka sembuh mencapai 25.595. Maka didapatkan prosentasi kesembuhan 44 persen.
Yuri mengatakan, dua aspek menjadi pijakan penting pada peningkatan angka kesembuhan di Indonesia. Pertama, karena perawatan atau pelayanan rumah sakit lebih baik lagi. Perhatian rumah sakit dalam memberikan perawatan kepada pasien ini menjadi lebih baik disebabkan oleh beban layanan rumah sakit atau BOR (Bed Occupancy Ratio) yang tidak terlalu berat.
"Sampai saat ini BOR rata-rata nasional ada di angka sekitar 55,6 persen," ujar Yuri.
Ini berarti sumber daya yang ada, seperti tenaga kesehatan, dapat memberikan layanan rawatan secara optimal kepada pasien.
Yang kedua adalah meningkatnya kesadaran masyarakat terkait Covid-19. Ia melihat bahwa masyarakat sudah semakin bagus merespon, kemudian untuk kelompok-kelompok yang memiliki komorbid (penyakit penyerta) mereka sudah betul-betul menyadari bahwa mereka harus dilindungi bersama.
Angka kesembuhan hingga 44 persen merupakan capaian secara nasional. Angka tersebut dari akumulasi rata-rata dari keseluruhan provinsi di Indonesia. Namun jika dilihat lebih detil, ada 13 Provinsi yang angka sembuhnya sudah di atas 70 persen.
"Ada beberapa yang sudah 86 persen, seperti Bangka-Belitung, Lampung, dan D.I.Yogyakarta. Meskipun masih ada provinsi yang angka sembuhnya baru sekitar 12-13 persen," katanya.(byu/tau/jpg)