Satu Kain Kafan untuk Enam Jenazah

Internasional | Selasa, 31 Oktober 2023 - 10:03 WIB

Satu Kain Kafan untuk Enam Jenazah
Warga Palestina melaksanakan salat jenazah anggota keluarga al-Sarsak yang terbunuh setelah pemboman Israel di Deir al-Balah Jalur Gaza Tengah, Senin (30/10/2023). (MAHMUD HAMS/AFP)

GAZA CITY (RIAUPOS.CO) – Lusinan jenazah berkain kafan terlihat di luar Rumah Sakit (RS) Al-Shifa, Gaza City. Jenazah-jenazah itu berada di atas tanah. Beberapa warga berkumpul di sekelilingnya untuk membawa para korban serangan perang itu ke tempat peristirahatan terakhir.

Dari sejumlah kain kafan mereka itu ada yang tampak lebih besar dari yang lain. Bukan karena orang yang meninggal lebih gemuk. Namun, kain kafan tersebut sudah dipakai lebih dari satu orang jenazah. Tidak sedikit dari jenazah itu yang sudah tidak utuh lagi. Tubuh mereka hancur akibat bom-bom yang dijatuhkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF).


Semua jenazah yang akan dikuburkan tersebut tidak bernama. Entah itu karena tidak bisa lagi diidentifikasi ataupun tidak ada yang mengklaim sebagai anggota keluarganya. Sebab, bisa jadi keluarga mereka juga sudah terbunuh.

Tes DNA tidak mungkin bisa dilakukan. Setiap hari ada ratusan orang yang terbunuh. Jangankan melakukan tes DNA, untuk mengobati korban luka saja, pihak rumah sakit sudah kewalahan. Mereka bahkan kekurangan obat-obatan, tenaga medis, dan aliran listrik.  ’’Kami menguburkan puluhan jenazah orang tak dikenal yang tewas dalam pembantaian Israel di kuburan massal,’’ ujar Salama Maarouf, kepala kantor media pemerintah Gaza kepada Al Jazeera. ’’Kami tidak mengetahui identitas mereka di bumi ini, tapi mereka dikenal di surga,’’ tambahnya.

Mayat-mayat tak dikenal itu tiba di RS setelah Jalur Gaza mengalami pemadaman komunikasi total, Jumat (27/10). Ketika itu, Israel melakukan pengeboman terberat di wilayah tersebut malam sebelumnya. Lebih dari 8 ribu warga Palestina meninggal di Gaza akibat serangan Israel sejak 7 Oktober. Dari jumlah itu, ada sekitar 4 ribu anak-anak dan hampir 2 ribu perempuan.

Kamar mayat di RS Al-Shifa penuh sesak sejak hari pertama serangan. Tenda yang didirikan untuk memuat lebih banyak jenazah juga sudah tidak mampu menampung. ’’Setiap orang yang tiba di rumah sakit malam itu tubuhnya terpotong-potong,’’ ujar Maarouf mengingat serangan darat pertama IDF.

Karena keterbatasan, ada satu kain kafan yang berisi enam jenazah anak-anak. Tubuh mereka sudah tidak utuh. Maarouf mengatakan, pemutusan internet dan komunikasi memungkinkan Israel untuk menyembunyikan kekejamannya dari dunia luar.

Dia menggambarkan serangan udara serta tindakan yang menyertainya terhadap warga Palestina sebagai bencana brutal. Sejak awal serangan IDF, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak jenazah yang tidak utuh. Tak bisa dikenali yang dikuburkan secara massal.

’’Sejarah akan menilai mereka yang membiarkan hal ini terjadi pada kami dan tidak melakukan apa pun untuk membantu atau menghentikan agresi ini,’’ ujarnya.

Warga Israel Ramai-Ramai Beli Senjata

Pengajuan izin kepemilikan senjata di Israel melonjak. Kenaikan itu terjadi pasca serangan Hamas pada 7 Oktober lalu, yang membuat lebih dari 1.400 warga Israel tewas. Belakangan, penduduk Israel pun ramai-ramai mempersenjatai diri.

Baik mereka yang tinggal di Israel, wilayah pendudukan Tepi Barat, maupun di luar negeri. ’’Saya kira (senjata) ini berfungsi sebagai semacam perlindungan, sebagai pencegah. Ada perasaan tidak aman secara umum,’’ ujar Zin Levy, salah seorang warga Israel.

Penduduk tak lagi percaya kepada militer dan intelijen Israel setelah kecolongan dalam serangan terakhir. Levy telah memiliki senjata keluaran Smith & Wesson. Awalnya, dia mempertimbangkan untuk membuang senjata itu karena situasi. Namun, serangan Hamas mengubah keputusannya.

Kini, dia justru memperbarui lisensi senjatanya lebih cepat dari jadwal. Dia juga membeli peluru baru. Sekarang, dia pun membawa senjata tersebut ke mana-mana. Bahkan, di lingkungan tempat tinggalnya disarankan untuk membawa senjata saat bepergian ke sinagog.

Untuk mengajukan izin kepemilikan senjata, penduduk harus mengikuti pelatihan menembak lebih dulu. Jika izin sudah keluar, mereka baru bisa membeli senjata. Saat ini, tempat-tempat kursus menembak di Israel penuh dengan antrean. Salah satunya Calibre 3.

Direktur Calibre 3 Yael Gat menyatakan, biasanya pihaknya hanya mengadakan tiga sesi pelatihan per minggu bagi peserta yang ingin mendapat lisensi baru. Namun, sejak serangan Hamas, pihaknya menggelar dua sesi pelatihan per hari.

’’Semakin banyak orang yang datang. Semua orang menginginkan senjata. Mereka terguncang dan tidak merasa aman. Ada perasaan yang berbeda sekarang, mereka ingin senjata untuk melindungi diri,’’ ucap Gat, seperti dikutip The Guardian.

Di tempat pelatihan, penduduk tak hanya diajari menembak. Mereka juga menentukan senjata apa yang dirasa tepat dan nyaman untuk masing-masing. Yang menginginkan senjata bukan hanya laki-laki. Banyak di antaranya adalah perempuan. Sebab, mereka butuh melindungi diri lantaran para lelaki tengah menjalani tugas militer. Israel memanggil seluruh tentara cadangan untuk perang di Jalur Gaza.

Pengajuan lisensi kepemilikan senjata kini juga dipercepat. Utamanya untuk orang-orang yang pernah memegang senjata. Daniel Yashua, misalnya. Selain senjata selama bekerja, satpam di sekolah agama itu ingin memiliki senjata pribadi untuk dirinya sendiri. ’’Biasanya, dengan sistem di Israel, (izin senjata) akan memakan waktu berbulan-bulan. Tapi, saat ini butuh waktu beberapa hari,’’ kata pria 25 tahun itu.

Ketakutan serupa melanda warga Israel di luar negeri. Mereka juga mempersenjatai diri. Sebab, intimidasi terhadap mereka mulai meningkat. Rabbi Yossi Eilfort kepada Fox News Digital menyatakan, orang-orang Israel di Los Angeles, AS, beralih ke kepemilikan senjata, kelas bela diri, dan keamanan bersenjata demi keselamatan. Pria yang mantan petarung MMA itu mengaku telah melatih perlindungan diri para pemimpin agama Yahudi selama bertahun-tahun.(sha/c18/hud/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook