Setiap musim dingin, hati Pang Qingguo selalu berdebar. Musim itu berarti waktunya untuk pulang kampung. Saat kalender Imlek berganti tahun, Pang bersemangat. Saat itu dia bakal bersua kembali dengan keluarganya di Provinsi Heilongjiang.
(RIAUPOS.CO) - ”Kampung saya adalah tempat yang paling bisa membuat saya bahagia,” ungkapnya kepada New York Times. Tahun ini hati Pang juga berdebar. Bukan karena senang, melainkan karena marah dan sedih. Kampung halamannya sedang mencanangkan status darurat karena kasus Covid-19 yang meningkat di Wangkui.
Padahal, penjual buah di Kota Tangshan itu sudah kangen berat dengan putrinya yang berusia tujuh tahun. Terakhir, dia memeluk sang buah hati enam bulan lalu. ”Dunia ini sungguh kejam. Dan saya tak bisa berbuat apa-apa,” ujar pria 31 tahun itu.
Kisah Pang seperti mewakili kegundahan sekitar 300 juta jiwa perantau di Cina. Mereka rela pergi meninggalkan kampung untuk mencari peruntungan di kota besar nun jauh. Saat Imlek datang, itu adalah kesempatan untuk mudik. Sekali mudik, Pang saja harus menempuh perjalanan sepanjang 1.200 km. Karena itu, dia tak bisa sering-sering pulang kampung.
Imlek adalah kesempatan emas bagi para perantau. Tradisi chunyun alias festival musim semi yang berjalan sebulan memberikan kelonggaran warga untuk bepergian. Hampir semua kegiatan libur. Pada saat itu, sanak saudara biasanya berkumpul. ”Saya tak pernah mengalami hal seburuk ini,” ujar Zhu Xiaomei.
Dia merupakan pekerja toko kain di Hangzhou. Jika mudik, dia rela duduk di kereta selama 30 jam demi sampai ke desanya di Sichuan. Memang, tak semua wilayah Cina melalui lockdown atau kebijakan karantina. Namun, Komisi Kesehatan Nasional Cina sudah memberikan syarat ketat kepada warga yang ingin mudik.
Setiap warga yang ingin bepergian harus menyiapkan hasil tes negatif Covid-19 sebelum berangkat. Setelah tiba di kampung, mereka wajib karantina mandiri selama 14 hari. Selama karantina, mereka boleh keluar, tetapi tak boleh ikut dalam pesta atau kerumunan.
Praktis, proses tersebut bakal menyedot banyak waktu dan uang. Apalagi, warga juga harus membayar tes Covid-19 dua kali dalam masa karantina. Uang dan waktu jelas bukan hal yang dimiliki perantau. Kebanyakan hanya punya gaji pas-pasan dan jatah cuti yang tak banyak. ”Karena saya tak bisa pulang. Lebih baik saya bekerja,” ujar Shi Baolian, 47, pekerja di pabrik kimia Kota Suzhou.
Pemerintah Cina tak ingin mudik Imlek menjadi pemicu pandemi Covid-19 yang lebih luas. Mereka mencoba segala cara untuk meredam arus mudik. Bukan hanya imbauan dan larangan, setiap pejabat punya ide untuk merayu para perantau tetap di kota mereka bekerja.
Pemerintah Kota Hangzhou siap memberikan 1.000 yuan (Rp 2,1 juta) kepada buruh migran yang tak pulang kampung. Pemerintah Kota Yiwu memberikan tiket masuk gratis untuk wisata kota. Bisnis yang buka selama Imlek juga akan mendapat subsidi.
Pemerintah Cina sudah mengimbau perusahaan agar memberikan angpao lebih kepada pekerja yang tak pulang kampung. Bahkan, beberapa perusahaan terang-terangan melarang karyawannya. ”Atasan saya bilang, pegawai yang ingin pergi ke luar kota harus mengisi formulir. Itu pun hanya 20 persen yang diterima,” ungkap Yufan Gao, bukan nama sebenarnya, kepada BBC.
Imlek memang menjadi momentum penting bagi Cina, baik secara sosial maupun ekonomi. Namun, pemerintahan Xi Jinping sepertinya rela kehilangan itu demi mencegah lonjakan drastis pandemi.
”Dampak yang paling merusak adalah jika virus itu menyebar dan memaksa pabrik tutup kembali. Namun, pemerintah Cina juga tak bisa memaksa warga untuk tinggal di rumah selama dua Imlek berturut-turut,” ujar Arthur Kroeber, direktur dari lembaga penelitian ekonomi Gavekal Dragonomics.(bil/c12/bay/das)
Laporan JPG, Wangkui