JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, menegaskan tidak menginginkan transisi Brexit molor. Dia akan mengambil langkah tegas dalam pembuatan undang-undang untuk mencegah perpanjangan masa transisi pemisahan Inggris dari Uni Eropa (EU) tidak melebihi 2020.
Perpanjangan transisi menjadi langkah ilegal, seperti yang pertama kali dilaporkan ITV, akan dapat berujung pada cliff-edge. Kecuali jika Johnson bisa membuat kesepakatan dagang dengan Uni Eropa hanya dalam 11 bulan.
Cliff-edge adalah istilah yang digunakan para pengkritik Brexit untuk menggambarkan masa depan Inggris jika negara itu keluar dari Uni Eropa tanpa ada perjanjian penarikan keanggotaan EU. Semua pengaturan saat ini menyangkut kerja sama Inggris dengan EU, termasuk perjanjian perdagangan, tenaga kerja, bea cukai dan keamanan, akan langsung berakhir saat Brexit terjadi tanpa kesepakatan.
Setelah Inggris meninggalkan EU pada pada 31 Januari 2020, negara tersebut akan memasuki masa transisi. Selama masa tersebut, Inggris akan tetap menjadi anggota EU dalam berbagai aspek, kecuali dalam status keanggotaan dan kedua pihak akan berusaha mencapai perjanjian hubungan kerja sama dagang yang baru.
Dengan mengukuhkan janji kampanye untuk tidak memperpanjang masa transisi tersebut lebih dari 2020 dalam aturan perundangan, Johnson mempersingkat waktu bagi dirinya untuk mencapai kesepakatan dagang, dari tiga tahun menjadi 11 bulan.
Undang-undang yang diperlukan untuk memberlakukan Brexit akan diajukan ke parlemen pada Jumat (20/12). Sementara mayoritas suara yang diperoleh Johnson memberinya keleluasaan untuk mengubah undang-undang jika dia rasa perlu. Johnson mengirim pesan kuat kepada EU.
Kepala negosiator Brexit dari Uni Eropa, Michel Barnier, telah memperingatkan bahwa waktu 11 bulan tidak cukup untuk mencapai kesepakatan perdagangan secara menyeluruh.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi