DEMO KEMATIAN FLOYD

Tentang Antifa, Kelompok yang Dituding Trump di Belakang Demo Rusuh di AS

Internasional | Kamis, 04 Juni 2020 - 06:10 WIB

Tentang Antifa, Kelompok yang Dituding Trump di Belakang Demo Rusuh di AS

WASHINGTON (RIAUPOS.CO) - Kelompok Atifa (Anti-Fasis) yang muncul pertama kali di Italia sebagai reaksi atas rasisme saat Benito Musollini dan kemudian berkembang di Jerman saat Adolf Hitler berkuasa, dituding sebagai dalang kerusuhan massal di lebih 40 kota di Amerika Serikat (AS) dalam pekan ini. 

Aksi unjuk rasa antirasialisme akibat kematian seorang warga kulit hitam, George Floyd, yang disebabkan kekerasan polisi kembali membuat kelompok Antifa menjadi sorotan.


Presiden AS, Donald Trump, bahkan menyebut kelompok tersebut berada di balik hasutan yang membuat demonstran semakin beringas dan menjurus ke arah kerusuhan serta penjarahan. Klaim Trump diperkuat oleh Penasihat Keamanan Nasional AS, Robert O' Brien.

Nama kelompok Antifa bukan kali ini saja dituding menjadi biang keladi. Saat aksi unjuk rasa antara kelompok sayap kanan di Charlottesville, Virginia, pada tiga tahun lalu mereka juga terlibat. Bahkan kedua kelompok saling berhadapan dan baku hantam.

Dilansir CNN, Rabu (3/6/2020), secara umum kelompok Antifa adalah kumpulan dari orang-orang yang menganut ideologi politik kiri seperti sosialisme.

Mereka juga tidak mempunyai pemimpin, sekretariat atau struktur organisasi, tetapi rutin menggelar pertemuan berupa diskusi dan menggelar kegiatan lainnya. Mereka kerap bergerak berdasarkan teori dan pemikiran tokoh-tokoh yang dinilai mewakili pandangan politik tersebut.

Karena sifat tersebut, posisi mereka kerap sulit didefinisikan. Namun, argumentasi ide-ide Antifa kerap muncul ketika para penganutnya melakukan proses pembelaan atau advokasi terhadap kelompok masyarakat yang tertindas, kesetaraan, egaliter, pemerataan kesejahteraan, perlindungan terhadap buruh, serta kerap menyuarakan protes terhadap kelompok kaum berada dan perusahaan besar.

Karena ide-ide "perjuangan" tersebut banyak diadopsi oleh kalangan muda-mudi, maka tidak heran kelompok Antifa kerap muncul dan terlibat sangat dalam pada sejumlah momen demonstrasi besar.

Jika dirunut ke belakangan, kelompok Antifa terbentuk sebagai reaksi atas gerakan fasisme Musollini di Italia, kemudian gerakan Nasionalis-Sosialis (Nazi) Jerman, serta kelompok Aksi Anti Fasis (AFA) yang berdiri di Inggris sekitar 1980-an.

Dari penelusuran organisasi penelitian etnis Yahudi di AS, Liga Anti Pencemaran Nama (ADL), gerakan Antifa kemungkinan berkembang di Eropa pada 1960-an dan masuk ke AS pada akhir 1970.

Menurut Direktur Studi Kebencian dan Ekstremisme Universitas Negeri California di San Bernardino, Brian Levin, kelompok Antifa di masa kini kerap muncul di setiap aksi demonstrasi yang mengusung tema-tema tentang penindasan.

"Apa yang mereka lakukan saat ini bukan hanya muncul dengan melakukan aksi kekerasan di setiap aksi unjuk rasa terkait masalah-masalah penting, tetapi juga menggagas diskusi dalam kelompok terbatas dan menyebarkan gagasan mereka melalui media sosial," kata Levin.

Hal itu yang membuat kelompok gerakan hak asasi manusia kerap mengkritik taktik Antifa yang dinilai berbahaya dan merusak tujuan awal.

Di AS, lawan utama kelompok Antifa adalah penganut ideologi sayap kanan yang kerap menamakan diri "alt-right". Kelompok tersebut dinilai menebar gagasan tentang diskriminasi rasial, anti-liberalisme, dan supremasi kulit putih.

Identitas kelompok Antifa saat berunjuk rasa adalah kerap mengenakan pakaian hitam-hitam, dan mengenakan kain untuk menyembunyikan wajah mereka.

Meski ide yang mereka usung dinilai memperjuangkan kalangan masyarakat tertindas, tetapi anggota mereka kerap melakukan aksi kekerasan dan perusakan dalam unjuk rasa.

Menurut seorang mantan kelompok Antifa, Scott Crow, para sejawatnya mengklaim sikap kekerasan itu dengan dalih membela diri. Sementara aksi perusakan menurut Crow bukan bentuk kekerasan.

Levin mengatakan, kelompok Antifa melakukan kekerasan untuk menarik perhatian dan sebagai bentuk pernyataan terhadap kelompok elite. Sebab, kata dia, Antifa meyakini para elite menguasai pemerintahan dan media massa.

"Mereka menganut pemikiran bahwa semua lini sudah runtuh, maka dari itu lawan dengan kekuatan, yang mana hal itu sudah berlangsung sejak lama di berbagai tempat seperti Amerika Selatan dan Eropa," ujar Levin.

Kelompok sayap kanan mencap Antifa sebagai "alt-left". Mereka justru balik menuduh para Antifa yang menyulut kekerasan dan kerusuhan.

"Mereka itu orang-orang yang mengajarkan soal toleransi dan cinta, tetapi di saat yang sama tidak segan mengancam orang-orang yang mempunyai pandangan politik berbeda dengan mereka. Mereka juga sama berbahaya seperti kelompok sayap kanan," kata seorang penganut ideologi supremasi kulit putih di AS, Peter Cvjetanovic.

Menurut Crow yang sudah tiga dasawarsa bergabung dengan Antifa, mereka punya alasan untuk melawan kelompok pengusung gagasan supremasi kulit putih.

"Gagasan Antifa adalah kami akan menuju ke tempat mereka (kelompok sayap kanan, red) melakukan aksi. Ujaran kebencian bukan kebebasan berpendapat. Jika perkataan dan perbuatan mereka membahayakan orang lain, maka mereka tidak berhak melakukan hal itu. Jadi kami langsung mendatangi pusat konflik dan melawan mereka, karena kami meyakini para penganut ideologi Nazi dan fasisme dalam bentuk apa pun tidak berhak menyatakan pendapat," kata Crow. 

Sumber: AFP/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook