JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- "Kami tidak berdaya. Kami tidak bisa memindahkan beton berat ini." Kalimat itu meluncur dari mulut salah satu penduduk yang menghuni kamp pengungsian Jabalia. Dia tengah mencari dua saudara perempuannya dan semua anak mereka.
Kamp pengungsian terbesar di Jalur Gaza tersebut luluh lantak setelah dibom beberapa kali selama dua hari berturut-turut oleh Israel. Jumlah korban jiwa diperkirakan lebih dari 200 orang.
"Sudah terlambat, meskipun kita menemukannya, mereka pasti sudah mati sekarang," ujarnya putus asa. Tidak ada alat berat yang siap untuk membantu proses evakuasi jenazah di reruntuhan. Kalau toh ada, tidak ada bahan bakar yang bisa dipakai agar alat tersebut bisa berfungsi.
Jalanan juga penuh dengan puing-puing yang membuat tim medis kesulitan menjangkau lokasi. Di tiap pengeboman, tim penyelamat kerap memakai tangan kosong untuk mencari korban yang tertimbun. Tapi, jika betonnya terlalu besar, yang bisa mereka lakukan hanyalah pasrah.
"Mengingat tingginya jumlah korban sipil dan skala kehancuran setelah serangan udara Israel di kamp pengungsi Jabalia, kami memiliki kekhawatiran serius bahwa ini adalah serangan yang tidak proporsional dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang," bunyi pernyataan Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB.
Meski menuai banyak kecaman, Israel tetap mengebom dengan membabi buta. Kemarin serangan mereka menghantam sebuah bangunan tempat tinggal di kamp pengungsi Bureij di Gaza Tengah. Setidaknya 15 orang tewas dan puluhan lainnya terjebak di reruntuhan.
Situasi pencarian korban yang memilukan terlihat di Gaza sejak 7 Oktober lalu. Setiap hari Israel menjatuhkan ratusan bom tanpa pandang bulu. Menteri kesehatan Gaza kemarin (2/11) mengungkap bahwa korban jiwa mencapai 9.061 orang, 3.760 di antaranya adalah anak-anak dan 2.326 perempuan. Sekitar 32 ribu orang luka-luka.
Mereka yang terluka juga tidak bisa dirawat maksimal karena keterbatasan obat, peralatan, dan listrik. Mayoritas rumah sakit tidak bisa beroperasi lagi. Kemarin, Rumah Sakit Indonesia juga kehabisan bahan bakar untuk menyalakan generator listrik.
Komite Perlindungan Jurnalis mengungkapkan, ada 33 pekerja media yang tewas sejak perang berlangsung awal bulan lalu. Yaitu, 28 jurnalis warga Palestina, 4 warga Israel, dan 1 orang Lebanon. Delapan jurnalis lainnya dilaporkan terluka dan sembilan dilaporkan hilang atau ditahan.
Tingginya angka pengeboman juga membuat ratusan ribu penduduk Gaza kehilangan tempat tinggal. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan bahwa instalasi mereka di Jalur Gaza menampung sekitar 690 ribu pengungsi internal. Tempat tersebut menampung hampir empat kali lipat dari kapasitas yang seharusnya.
Beberapa hari sebelumnya, Komjen UNRWA Philippe Lazzarini berkunjung langsung ke Jalur Gaza. Dia menegaskan bahwa skala tragedi di wilayah tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya. Dia menyebut bahwa kunjungan itu merupakan salah satu hari paling menyedihkan dalam kerja kemanusiaan yang dia jalani.
"Tempat (penampungan) itu penuh sesak. Tingkat kesusahan dan kondisi kehidupan yang tidak sehat berada di luar nalar. Semua orang hanya meminta air dan makanan. Alih-alih berada di sekolah dan belajar, anak-anak malah meminta seteguk air dan sepotong roti. Itu sangat menyayat hati," ujarnya seperti dikutip The Guardian.
Dari tanah air, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) bersama kementerian dan lembaga lain tengah menyiapkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Kepala Biro Humas Sekretariat Jenderal Kemenhan Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha menyampaikan, Wakil Menteri Pertahanan M Herindra telah bertemu dengan Wakil Menteri Luar Negeri Pahala N Mansury pada Rabu (1/11) membahas hal itu.
Edwin memastikan, bantuan kemanusiaan yang akan diterbangkan dari Jakarta ke El Arish (Mesir) sudah terkumpul sebanyak 33.103 kilogram atau lebih dari 33 ton. Bantuan tersebut bukan hanya dari Kemenhan dan Kemenlu. Ada bantuan dari PMI, Baznas, serta Forum Zakat. "Berupa alat kesehatan, peralatan medis, hygiene kit, winter equipment, medical assistance, bahan makanan, dan sleeping bag," terang jenderal bintang satu TNI-AD itu.
Paket bantuan tersebut bakal dikirimkan menggunakan dua unit pesawat C-130 Hercules milik TNI-AU. Secara keseluruhan, ada 42 kru pesawat dan 2 orang perwira menengah TNI dari Kemenhan sebagai liaison officer (LO). Setelah tiba di Mesir, bantuan tersebut bakal didistribusikan ke Palestina. "Itu akan dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri," jelasnya.
Sementara itu, Pimpinan Baznas Bidang Pendistribusian Saidah Sakwan kemarin resmi melepas bantuan kemanusiaan untuk Gaza. Bantuan yang dilepas berjumlah 21 ton atau senilai Rp5 miliar lebih. "Bantuan ini jadi satu dengan bantuan kemanusiaan pemerintah Indonesia," katanya di kantor Baznas kemarin (2/11).
Saidah menargetkan menghimpun bantuan untuk Palestina sebanyak Rp50 miliar. Saat ini sudah terkumpul Rp16 miliar. Secara bertahap bantuan itu akan dikirim ke Palestina.
Dukungan moral juga terus disuarakan untuk perdamaian di Gaza. Rencananya, pada Ahad (5/11) akan digelar aksi doa bersama bertajuk Aksi Akbar Bela Palestina di Monas. Acara ini digalang MUI serta majelis agama-agama lain yang ada di Indonesia.
Sementara itu, upaya evakuasi WNI di Gaza masih harus tertunda. Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Judha Nugraha menyampaikan, proses evakuasi tujuh warga Indonesia dari Gaza masih terkendala situasi keamanan. Hal ini lantaran WNI tinggal di lokasi pertempuran.
"Kendala saat ini adalah lokasi tempat tinggal para WNI masih terjadi pertempuran, sehingga evakuasi yang aman belum bisa dilakukan," ujarnya.
Kendati begitu, dia memastikan dua keluarga WNI yang tinggal di Gaza Utara dan Gaza Selatan dalam kondisi baik di tengah pertempuran yang terjadi. Kemenlu terus berkomunikasi dengan para WNI tersebut. Termasuk mereka yang enggan ikut dalam evakuasi kali ini.
Seperti disampaikan sebelumnya, tercatat 10 WNI yang berada di Gaza. Dari jumlah tersebut, tiga di antaranya yang merupakan relawan MER-C di Rumah Sakit Indonesia (RSI) memutuskan untuk tetap tinggal. Fikri Rofiul Haq, Reza Aldilla Kurniawan, dan Farid Zanzabil Al Ayubi memilih melanjutkan misi kemanusiaan mereka di Gaza.
Ketujuh WNI yang akan dievakuasi terdiri atas dua keluarga WNI. Yakni, keluarga Abdillah Onim dan keluarga Muhammad Hussein beserta anak-anak mereka. Kemenlu memastikan tim evakuasi telah bersiaga di perbatasan Rafah antara Mesir dan Gaza sejak Rabu (1/11) sore.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi