JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- "Diamlah, Bung," ujar Joe Biden. Calon presiden (capres) Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat itu naik pitam. Sebab, sang lawan debat, calon petahana Donald Trump, terus menginterupsinya.
Bisa dibilang, debat pertama pemilihan presiden (pilpres) AS kemarin WIB penuh rapor merah. Kedua kandidat berkali-kali lepas kontrol dalam debat yang berlangsung di Cleveland, Ohio, itu. Poin-poin yang disampaikan pun banyak yang meleset dari fakta sebenarnya.
Hampir semua media dan pakar mengatakan bahwa acara adu visi dan misi pertama tahun ini menyedihkan. "Ini akan menjadi debat terburuk sepanjang sejarah," ujar Aaron Kall, pakar debat presiden dari University of Michigan, kepada Agence France-Presse.
Ekspektasi untuk ajang tersebut sejatinya tinggi karena figur Trump yang kontroversial dan situasi mendesak di tengah Covid-19 dan isu rasisme. Namun, debat yang semestinya menunjukkan kecakapan dua calon presiden tak terjadi.
Hampir sebagian durasi dari acara selama 90 menit itu diisi dengan suara yang tumpang-tindih, ejekan, hinaan, dan tuduhan. Chris Wallace, pembawa berita Fox News, yang bertugas menjadi moderator debat memenuhi janjinya untuk menjadi sosok yang tak terlihat.
"Saya ingin menjadi sosok yang tak diperhatikan. Jika berhasil, penonton akan memuji debat, tapi tak akan mengingat nama saya," ujar Wallace seperti dikutip Fox News.
Yang jadi masalah, Wallace memang tak terlihat. Tapi, karena itu pula dia dianggap gagal mengendalikan alur debat. Satu hal yang jelas pada Trump di Cleveland: dia sangat percaya diri. Sepertinya dia menganggap Biden tak setangguh Hillary Clinton, lawannya pada Pemilu 2016. Omongan suami Melania itu memang mengulang-ulang. Tapi, dia sama sekali tak terbata-bata.
"Jangan pernah sebut kata-kata pintar dengan saya. Anda sama sekali tidak pintar," hardik Trump kepada Biden menurut CNN.
Berbeda dengan Biden. Di menit-menit awal, argumentasi yang dikeluarkan terdengar lirih. Dia mengambil strategi yang berbeda dari Trump. Seperti prediksi banyak pakar, Biden terlihat sedikit takut meladeni Trump.
Soal tampak luar, Trump jelas menang. Setiap kali Biden bicara, Trump bakal menatap Biden dengan fokus dan bersiap untuk menyela lawan bicara. Sedangkan Biden jarang melihat wajah rivalnya. Dia memilih untuk menatap lurus ke kamera untuk mengajak bicara penonton.
Tapi, Biden jelas tak siap menghadapi rentetan klaim dan ejekan dari Trump. Di tengah debat, Biden naik pitam karena Trump tak kunjung menaati peringatan moderator. "Apakah Anda percaya dengan omongan badut (Donald Trump) ini," ujar Biden.
Pada akhirnya, kedua pihak saling mengejek. Biden dicap sebagai radikal sayap kiri dan senator tak kompeten oleh Trump. Biden membalas itu dengan kata seperti pembohong, peliharaan Presiden Rusia Vladimir Putin, dan rasis.
Loyalis Trump jelas bakal senang. Sebab, Biden selalu mengingatkan bahwa dia adalah sosok yang terhormat tak seperti Trump. Namun, wakil presiden AS di era Barack Obama itu sudah beberapa kali terkena skandal karena naik pitam selama masa kampanye.
Namun, rasa kemenangan itu hanya tersebar di kalangan simpatisan. Pakar mengatakan bahwa Trump gagal mengambil hati pemilih di wilayah swing states (negara bagian yang belum menentukan pilihan). Hal tersebut disebabkan beberapa jawabannya terhadap pertanyaan moderator.
Salah satunya, pertanyaan apakah Trump bersedia mengutuk kelompok supremasi kulit putih yang melakukan kekerasan dan tindak kriminal. Wallace menyebutkan bahwa sang presiden seharusnya bisa mengutuk mereka sama seperti dia mengutuk para kelompok ultrakiri. Jawabannya mengecewakan. "Proud Boys, mundur dan bersiagalah," kata Trump.
Simber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi