JAKARTA (RIAUPOS.CO) - DPR RI hingga saat ini masih membahas revisi Undang-undang (RUU) Terorisme. Adapun dalam rancangan RUU itu, muncul wacana pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Adapun hal itu lantas memicu penolakan dari beberapa pihak, salah satunya dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Meski begitu, Komnas HAM sedikit "longgar" karena menilai TNI masih boleh dilibatkan jika kondisi darurat.
"Sebaiknya TNI menangani terorisme yang mengganggu pertahanan negara. Jadi, kalau harus terlibat spesifik keterlibatannya pada objek-objek vital tertentu, bukan yang lain," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam di gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/4/2018).
Diketahui, objek vital pertahanan negara yang dimaksud, seperti Istana Presiden, Kapal Induk atau kapal tempur, hingga pesawat terbang dan tempur. Sementara objek bom, seperti hotel, tempat hiburan, hingga pusat perbelanjaan, tidak perlu adanya pelibatan TNI.
Dia memaparkan, TNI dapat diperbantukan menangani teroris jika skala ancamanannya terlampau besar. Artinya, jika tidak mampu hanya ditangani oleh kepolisian. Sementara, jika tingkat bahaya itu sudah kembali menurun, penanganan kasus terorisme itu dapat kembali dimandatkan kepada polisi.
"Kalau urgent dan mendesaknya, udah kelar (kasus terorismenya) turun lagi yang nanganinnya polisi. Kalau urgent dan mendesaknya bisa ditanganinnya 1, 2 hari ya cukup 1, 2 hari ga perlu panjang-panjang," paparnya.(sat)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama