PENYIRAMAN AIR KERAS

Hindari Disparitas Hukum untuk Kasus Novel

Hukum | Minggu, 14 Juni 2020 - 08:59 WIB

Hindari Disparitas Hukum untuk Kasus Novel
Penyidik KPK Novel Baswedan saat menghadiri sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, baru-baru ini. FEDRIK TARIGAN/JPG

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pengamat hukum dan aktivis terus menyuarakan masukan terkait tuntutan jaksa terhadap terdakwa kasus penyiraman air keras Novel Baswedan. Tuntutannya yang terbilang terlalu ringan sebenarnya tidak lantas membuat putusan akan sesuai. Namun, masyarakat harus tetap mengawal karena adanya berbagai kejanggalan dari tuntutan ini.

Kajian tersebut disampaikan oleh pakar dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Sabtu (13/6). Peneliti PSHK Estu Dyah Arifianti menyatakan bahwa sudah jelas ada unsur kesengajaan dalam penyiraman air keras yang termasuk dalam penganiayaan berat ini.


Di samping itu, Estu mempertanyakan pengenaan pasal 353 ayat (2) KUHP yang dianggap kurang sesuai. Apalagi perlu digarisbawahi pelaku yang masih tercatat aktif di instansi kepolisian. “Harusnya ini menjadi catatan hakim bahwa dilakukan oleh anggota kepolisian, apakah pasal 353 ayat (2) itu sudah tepat atau tidak,” ungkap Estu.

Hal ini juga ditegaskan oleh pakar hukum STHI Jentera Ichsan Zikry. Bahwa status pelaku yang merupakan anggota aktif kepolisian semestinya diperhatikan jaksa penuntut umum dan memberikan tuntutan yang lebih tinggi. Ichsan turut mempermasalahkan suatu pernyataan di surat tuntutan bahwa pelaku tidak sengaja menyiram air keras ke kepala, yang niat awalnya ke badan.

Padahal menurut pengamatan Ichsan selama persidangan beberapa kali, jaksa pernah menyatakan bahwa terdakwa diduga menyiram ke kepala dan badan. “Ini menjadi pertanyaan kenapa awalnya penuntut umum berani menuduh tapi akhirnya menegasikan (menolak, red) tuduhannya sendiri,” terangnya.

Pengajar STHI Jentera yang lain, Tanziel Aziezi menyatakan bahwa putusan hakim berpatokan pada surat dakwaan dan fakta persidangan. Sehingga surat tuntutan bukan satu-satunya dasar dan putusan bisa berbeda dengan tuntutan jaksa. “Hakim juga seharusnya melihat putusan perkara lain yang karakteristiknya sama sehingga tidak terjadi disparitas (perbedaan, red) keadilan,” jelasnya.

Perkara lain yang dimaksud adalah sejumlah perkara penyiraman air keras yang pernah terjadi di berbagai daerah. Salah satunya di Bengkulu tahun 2019. Pelaku penyiraman air keras terhadap calon pengantin divonis 12 tahun penjara. Kasus penyiraman air keras ke wajah Lisa yang diputus PN Surabaya juga diputus 12 tahun. Putusan ini didasarkan pada Pasal 355 ayat (1) KUHP.

PSHK pun memberi masukan agar Kejaksaan Agung mengevaluasi jaksa penuntut umum yang menangani perkara Novel Baswedan ini. “Kami mendesak Jaksa Agung mengevaluasi JPU terkait materi tuntutannya yang terindikasi keliru secara konsep hukum pidana,” jelas Estu secara tertulis.(deb/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook