Penusukan Wiranto, Harus Jadi Reevaluasi Protokol Pengamanan VIP

Hukum | Sabtu, 12 Oktober 2019 - 20:38 WIB

Penusukan Wiranto, Harus Jadi Reevaluasi Protokol Pengamanan VIP
Menko Polhukam Wiranto ditusuk oleh orang tidak dikenal di Banten.(jawapos.co)

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto menderita luka tusukan dari aksi nekat Abu Rara yang merupakan Jamaah Ansarut Daulah (JAD). Penusukan itu terjadi, saat Wiranto melakukan kunjungan kerja di Alun-alun Menes, Pandeglang. Wiranto sebelumnya telah meresmikan Gedung Kuliah Bersama di Universitas Mathla’ul Anwar, Kamis (10/10).

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens mengatakan ‎penusukan terhadap Wiranto bukan perkara sederhana. Dia mengemukakan tujuh poin yang menjadi catatan kritisnya. Pertama adanya evaluasi dari pengamanan ke pejabat tinggi negara, khususnya kepada presiden dan wakil presiden.

Baca Juga :Saat Bertemu Prabowo, Wiranto Blak-blakan Ungkap Alasan Lepas Hanura

“Mesti menjadi bahan untuk reevaluasi protokol pengamanan VIP, termasuk presiden dan wakil presiden. Di TNI, POLRI, dan BIN kan sudah ada aturan hukum yang baku untuk protap macam itu,” ujar Boni saat dikonfirmasi wartawan, Sabtu (12/10).

“Mengingat potensi ancaman yang terus dinamis, maka protap juga harus dinamis, terus dikembangkan dan disesuaikan dengan perubahan konteks ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan,” ‎tambahnya.

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menunjukkan foto tersangka pelaku dan barang bukti penikaman Menko Polhukam Wiranto saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Polri menyatakan kedua tersangka pelaku yakni Syahril Alamsyah alias Abu Rara dan Fitri Andriana merupakan simpatisan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan motif penikaman sebagai buntut dari penangkapan pimpinan JAD Bekasi Abu Zee.- Miftahulhayat/jawapos

Kedua menurut Boni, adanya penyerangan itu. Maka semua pihak boleh menganggap remeh gerakan radikal dan manuver kelompok teroris yang makin berkembang dengan pola yang unik dan makin sulit dibaca. Kenapa modusnya makin unik, karena Boni menduga adanya korelasi antara gerakan politik dari kelompok yang ingin meraih kekuasaan dengan cara tidak demokratis.

“Dari dulu, terorisme itu paham eksklusif yang dianut oleh segelintir orang yang memisahkan diri dari sistem demokrasi dan melakukan serangan kejam dari persembunyian,” katanya.

‎Selanjutnya, ketiga adalah, ‎setelah politik identitas menjadi arus utama yang mewarnai gerakan demokrasi pada dekade kedua abad ke-21, dia melihat ada perluasan paham radikal. Yaitu dari kelompok yang dulunya menjauh dengan demokrasi kini menyatu dengan mereka yang ada di dalam sistem demokrasi. Mereka yang berafiliasi dengan partai politik atau ormas tertentu.

“Mereka memanfaatkan demokrasi sebagai medan perang untuk meraih tujuan mereka yagn bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kemanusiaan universal,” ungkapnya.

Boni berujar keempat adalah, kelompok radikal yang menyatu dengan orang-orang partai dan masuk ke dalam institusi negara. Maka paham radikalisme itu menguat. Sebagai implikasinya, kelompok teroris yang berada di persembunyian akan melihat itu sebagai dukungan tidak langsung terhadap militansi mereka untuk melawan negara.

Abu Rara, pelaku penyerangan Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten. (Istimewa)

“Maka dengan kata lain, saya mau bilang bahwa kelompok radikal menyiram bensin, kelompok teroris yang menyalakan api. Ini kolaborasi yang unik dan akan terus menjadi ancaman paling berbahaya bagi keamanan negara ke depan,” tuturnya.

Boni menambahkan kelima adalah, mengajak partai politik melawan terorisme. Partai-partai yang masih mengandalkan simbol agama sebagai alat mobilisasi politik mesti didorong untuk memiliki komitmen yang lebih besar dalam melawan terorisme. Caranya, mulai dari rekrutmen calon kepala daerah, calon wakil rakyat harus ada screening ideologi supaya yang terpapar radikalisme tidak ikut masuk menguasai ruang kekuasaan.

Keenam Boni mengatakan, bersyukur BIN, Polri dan TNI telah bekerja keras dan selalu konsisten menjaga ideologi Pancasila dan NKRI. Bahkan sudah ada pemetaan yagn komprehensif soal kelompok radikal dan teroris. Menjadi perhatian saat ini dan ke depan adalah, mekanisme diseminasi informasi dan koordinasi bisa terus berjalan optimal.

“Sehingga tidak ada ruang bagi pelaku terror untuk mendelegitimasi negara atau membunuh masyarakat melalui serangan-serangan kejut,” katanya.

Ketujuh, kata Boni, semua pihak perlu membantu BIN, Polri dan TNI dalam memberantasan terorisme dan kelompok radikal. Terlebih partai politik harus punya komitmen yang tegas untuk menolak hadirnya kelomok radikal.

“‎Jangan pernah dibiarkan bekerja sendirian apalagi disalahkan secara tidak adil. Karena partai politik juga perlu lebih partifipatif dan kita tuntut komitmen mereka untuk bersama-sama melawan radikalisme dan terorisme,” pungkasnya.

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menunjukkan foto tersangka pelaku dan barang bukti penikaman Menko Polhukam Wiranto saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Polri menyatakan kedua tersangka pelaku yakni Syahril Alamsyah alias Abu Rara dan Fitri Andriana merupakan simpatisan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan motif penikaman sebagai buntut dari penangkapan pimpinan JAD Bekasi Abu Zee.- (Sabik Aji Taufan/JawaPos.com)

Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menyampaikan, pelaku Wiranto diduga terpapar JAD. Menurut Dedi, motif penusukannya, mereka yang terpapar radikalisme ISIS menjadikan pejabat publik dan polisi sebagai sasaran serangan.

“Ya kalau misalnya terpapar radikal ya pelaku pasti menyerang peabat publik, utamanya aparat kepolisian yang dianggap thaghut karena kita lakukan penegakkan hukum terhadap kelompok seperti itu,” kata Dedi dalam jumpa pers di Mabes Polri, Kamis (10/10).

Editor : Deslina

Sumber: Jawapos.com









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook