JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kasus kematian bayi usia empat bulan Tiara Debora Simanjorang menuai reaksi Anggota Pansus UU BPJS (2010-2011) Rieke Diah Pitaloka.
Rieke bahkan menduga kalau RS Mitra Keluarga Kalideres telah melanggar hukum. Hal itu disampaikannya menyikapi kematian bayi Debora, peserta BPJS yang meninggal dunia karena diduga terlambat mendapat penanganan di ruang gawat darurat bayi PICU (Pediatric Intensive Care Unit) RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.
Bayi Debora meninggal lantaran orangtuanya belum membayar kekurangan uang muka.
"Tindakan rumah sakit tidak segera memasukkan dan merawat pasien di ruang PICU sesuai indikasi medis karena faktor biaya sehingga menyebabkan pasien meninggal dunia adalah kebijakan tidak manusiawi dan melanggar hukum," katanya dalam pernyataan tertulisnya, Senin (11/9/2017).
Dipaparkannya, kebijakan RS itu diduga melanggar berbagai Peraturan-Perundang-Undangan, di antaranya UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 23 Ayat 2 berbunyi: "Dalam keadaan darurat, pelayanan dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”.
Kemudian, UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 32 ayat 1 dan 2 dan Pasal 190 ayat 1 dan 2. Pasal 32 ayat 1 berbunyi: “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu".
Sementara, Pasal 32 ayat 2 berbunyi “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka". Berikutnya, Pasal 190 ayat 1: “Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”