Metana (CH4) gas beracun yang sangat berbahaya, tidak hanya kepada manusia, gas metana juga berbahaya bagi lingkungan dan alam. Kotoran hewan seperti sapi salah satu penghasil gas metana.Sebelum mentana jadi bencana, secebis ikhtiarpun dilakukan masyarakat Desa Mukti Sari bersama PT Pertamina Huku Rokan (PHR).
Laporan GEMA SETARA, Tapung
Awal Juli 2023. Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kampar berpaut jarak 85 Km dari ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. 90 persen masyarakat desa ini sebagai petani perkebunan kelapa sawit. Sejauh mata memandang, hamparan tanaman yang bernama latin Elaeis guineensis ini menghijau bak permata zamrud.
Kunjungan Media Visit ke desa itu didampingi sejumlah pegawai PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Kedatangan kami disambut Kepala Desa Mukti Sari Waryono, Yayasan Rumah Energi (YRE) Irvan, Ketua Kelompok Bina Mukti Sari Sudarman, Kepala UPT Dinas Peternakan Kampar Firnando Hutagaol dan Senior Analis Sosial Responsibilty PT PHR Deli Paramita.
Rombongan disambut sederhana di laman rumah milik Sudarman. Suguhan teh dan kopi hangat, goreng ubi dan buah-buahan tempatan membingkai seremonial sambutan. Tak lebih 30 menit, rombongan pun diajak melihat dua reaktor biogas. Jaraknya tak jauh dari rumah Sudarman. Reaktor ini dibangun PHR.
Dua menit kami berjalan kaki. Reaktor biogas milik Sudarman bersebelahan dengan kandang sapinya. Reaktor biogas berada dalam tanah. Luasnya sekitar 8x3 meter. Setiap hari Sudarman memasukkan kotoran yang dihasilkan dari 12 ekor sapi peliharaannya. Kotoran sapi itu dimasukkan melalui tempat yang dirancang khusus yang disebut tempat pengadukan (mixer).
Untuk ukuran reaktor biogas tidak ada patokan pasti. Irvan dari YRE menyebutkan, untuk skala rumah tangga ukuran reaktor biogas bisa 4x3 meter, 6x3 meter, 8x3 meter, 10x3 meter, 12x3 meter. “Untuk reaktor biogas itu tidak ada ukuran pastinya. Khusus reaktor di rumah Pak Sudarman ukurannya 8x3 meter,” ujarnya.
Bentuknya persegi tempat yang dibuat dari batu bata yang dilapisi semen. Selanjutnya kotoran sapi itu dimasukkan ke dalam tempat pengadukan tadi lalu ditambah air. Setelah kotoran sapi tadi menyatu dan berubah menjadi cairan selanjutnya dimasukkan ke dalam reaktor biogas.
Dalam reaktor biogas inilah, perpaduan kotoran sapi dan air tadi berubah menjadi gas yang disebut gas metana. Gas metana ini selanjutnya menghasilkan energi dimanfaatkan Sudarman untuk berbagai keperluan, baik untuk penerangan maupun untuk elpiji yang dialirkan ke kompor gas miliknya.
“Sangat bermanfaat sekali. Selain biaya keperluan rumah tangga untuk pembelian elpiji atau biaya listrik dapat kami hemat, juga biaya pemupukan kebun sawit juga bisa dihemat. Karena sisa limbah kotoran sapi ini bisa langsung dijadikan pupuk untuk tanaman. Double keuntungan yang kami peroleh dengan adanya reaktor biogas ini,” tutur Sudarman.
Awalnya, kata Sudarman, meyakinkan masyarakat desa, khususnya mereka yang memiliki ternak sapi untuk mendirikan reaktor biogas ini sangat sulit sekali. Macam-macam alasan mereka, padahal PHR siap membantu membangun reaktor tersebut.
“Alasan utama mereka tidak yakin kotoran sapi itu akan bisa menghasilkan gas, kemudian ada juga alasan membawa ke hukum agama dan mengatakan haram, karena menggunakan najis dan tidak meyakini kalau kotoran sapi itu bisa menghasilkan energi,” ujarnya.
Memang, lanjut dia, merubah pola pikir masyarakat itu teramat susah. “Alhamdulillah, berkat kegigihan kami bersama, pihak PHR, YRE, perangkat desa, perlahan mindset masyarakat khususnya mereka yang memiliki ternak mulai tercerahkan, sekarang sudah ada delapan reaktor biogas yang berdiri di desa ini dan akan terus bertambah menjadi 12 reaktor,” ujarnya.
Yang paling dirasakan masyarakat, ada pada suatu ketika kondisi cuaca tidak bersahabat dan listrik tiba-tiba padam. “Semua rumah di desa ini gelap gulita, kecuali rumah saya. Hanya rumah saya satu-satunya yang terang benderang. Masyarakat heranmengapa bisa demikian dan saya jelaskan bahwa energi listrik di rumah saya dipasok dari reaktor biogas. Sejak itu, mulailah masyarakat, khususnya mereka yang punya ternak untuk ikut membangun reaktor biogas,” ungkapnya bercerita.
Proses pembentukan biogas membutuhkan ruangan dalam kondisi kedap atau tertutup agar stabil. Pembentukan biogas melalui beberapa proses yang berlangsung dalam ruang yang anaerob atau tanpa oksigen.
Kotoran hewan dicampur air dengan perbandingan1:1 lalu diaduk. Setelah campuran rata dimasukkan ke dalam reaktor. Di dalam reaktor ini terjadi proses fermentasi oleh bakteri yang menghasilkan biogas. Kotoran yang sudah mengeluarkan biogas akan keluar melalui outlet yang tersedian dengan bantuan tekanan biogas yang dihasilkan.
Gas metana sendiri adalah gas yang dampaknya terhadap pemanasan global lebih besar dibanding gas karobondioksida. Human Society International (2014) menyatakan bahwa dalam jangka waktu 20 tahun, metana memiliki angka GWP setidaknya 25 kali lipat dibanding karbondioksida.
Artinya, gas metana yang dihasilkan oleh kegiatan hasil peternakan memiliki dampak yang lebih signifikan dibanding gas karbondioksida yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil. Sektor peternakan sendiri berkontribusi 35-40 persen dari total keseluruhan gas metana secara global.
Diperkirakan setiap tahun ada 86 juta ton metana yang dilepaskan ke atmosfer sebagai hasil dari pencernaan hewan ternak. Gas metana ini tidak hanya dihasilkan peternakan sapi, namun juga dihasilkan peternakan kambing dan domba yang juga merupakan hewan poligastrik yang memiliki rumen dan mengalami fermentasi di dalam rumennya dan menghasilkan gas metana.
Metana (CH4) adalah gas tidak berbau yang menimbulkan efek rumah kaca. Komposisi metana di atmosfer bumi lebih rendah dibanding karbon dioksida (CO2), tapi koesifien daya tangkap panas metana lebih tinggi, yakni 25 kali karbon dioksida.
Pemanasan global disebabkan oleh naiknya jumlah emisi gas rumah kaca, termasuk metana. Metana mempertipis lapisan ozon yang melindungi bumi, sehingga suhu naik. Selain berasal dari penguraian sampah organik, metana muncul dari aktivitas pertanian dan transportasi. Sekitar 50 persen metana diproduksi dari aktivitas manusia di sektor pertanian.
Dari jumlah itu, 60 persen berasal dari ternak ruminansia, yang dihasilkan melalui proses metanogenesis dalam sistem pencernaan ternak. Metana dikeluarkan lewat mulut ternak ke atmosfer. Dalam riset DP Morgavi (2008), ditunjukkan sapi potong dapat mengemisi metana 60-70 kilogram (Kg) per tahun, sapi perah 110-145 Kg pertahun dan domba 8 Kg per tahun. Live Science melaporkan per tahun seekor sapi menghasilkan gas metana 120 Kg, domba 8 Kg, babi 1,5 Kg, dan manusia hanya 0,12 Kg.
Bukan hanya itu, keberadaan limbah kotoran sapi sangatlah berdampak buruk bagi iklim. Kotoran sapi dapat meningkatkan risiko perubahan iklim karena kotoran tersebut menghasilkan gas metana (CH4). Gas metana (CH4) adalah salah satu gas rumah kaca yang mampu menyebabkan efek rumah kaca, sehingga memiliki dampak yang buruk bagi iklim di mana gas ini dapat merusak lapisan ozon yang melindungi bumi dari bahaya radiasi sinar matahari.
Peristiwa pemanasan global adalah peristiwa yang dikategorikan sebagai suatu bencana karena peristiwa ini dapat menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi menjadi sangat ekstrem yang disebabkan oleh sinar matahari terperangkap di lapisan atmosfer bumi karena terhalang GRK.
Gas metana (CH4) memiliki risiko yang sangat besar dalam menaikkan suhu permukaan bumi. Hal ini disebabkan gas metana memiliki dampak 23 kali lipat dari gas karbon dioksida (CO2). Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya green jobs untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh limbah kotoran sapi tersebut.
Berperan dalam Pemanasan Global
Irvan dari Yayasan Rumah Energi yang mendampingi masyarakat Desa Mukti Sari dalam pengelolaan reaktor biogas ini mengungkapkan, gas metana termasuk gas rumah kaca seperti gas karbondioksida yang berperan dalam pemanasan global.
“Jika konsentrasi kedua gas ini dibiarkan tinggi di udara terbuka maka akan menyebabkan peningkatan suhu bumi. Karena berat gas metan lebih ringan dari udara. Dengan mengelolah limbah ini menjadi biogas maka risiko efek gas rumah kaca dapat dikurangi,” ujarnya menjawab Riau Pos.
Dia mengatakan, dengan rata-rata bobot kotoran sapi 10 Kg perekor perhari, dapat menghasilkan 0,36 m3 biogas. Sedangkan konsumsi biogas yang dibutuhkan untuk memasak setiap hari berada pada kisaran 0.3-0.4 m3 perhari perorang.
“Dari delapan kandang yang dikelola masyarakat di desa ini ada sekitar 32 sapi yang mempunyai fasilitas biogas sehingga jumlah biogas yang dihasilkan kisaran 10 Kg kotoran sapi perekor perhari dikalikan 32 sapi kali 0,36 jumlanya sama dengan 115.2 m3 biogas perhari. Sedangkan untuk gas metananya kisaran 70 persen kali 115.2 m3 sama dengan 80.64 m3, sisanya gas CO2 dan H2S,” ungkapnya.
Menjawab, kalau dari delapan kandang ternak itu, gas metananya tidak olah menjadi biogas seberapa besar dampaknya pada lingkungan Desa Mukti Sari? Terkait hal ini menurut Irvan, kotoran yang tidak olah akan mengakibatkan bau pada lingkungan sekitar dan gas yang dikeluar dari kotoran tersebut akan terbang ke udara yang mengakibatkan meningkatkan efek gas rumah kaca dampaknya suhu semakin panas.
Mengurangi Efek GRK
Sekarang, tambah Irvan lagi, kalau dilihat dari gas metana yang dihasilkan dari delapan kandang itu, apakah gas metananya termasuk besar dan berdampak besar pada ozon? Ini, bukan besar atau kecilnya gas metana yang dihasilkan tetapi Desa Muktisari sudah berperan dalam mengurangi efek GRK dan membuat udara bersih tidak bau kotoran.
“Kecil atau besarnya gas metana yang dihasilkan dari delapan kandang itu sedikit banyaknya pasti berdampak terhadap ozon, jadi dengan adanya biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak tersebut sudah pasti mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) berterbangan udara yang menimbulkan suhu bumi semakin panas,” ungkapnya lagi.
Artinya, tambah Irvan lagi dengan mengolah gas metana itu, sedikit banyak masyarakat sudah berpartisipasi dalam menyelamat lingkungan dunia dan selain itu ikut dalam mereduksi GRK juga mengurangi bau di sekeliling kandang yang diakibatkan kotoran tersebut.
Ditanya tentang target yang hendak dicapai pihaknya bersama PHR dalam hal ini, Irvan mengungkapkan ada beberaa sasaran yang hendak dicapai. Pertama, memanfaatkan limbah menjadi energi, kedua, mengurangi pengeluaran rumah tangga dalam pembelian elpiji, ketiga, Mengurangi efek GRK dan keempat, mengurangi polusi udara (bau).
Sedangkan target ke depan, pihaknya berharap Desa Muktisari betul-betul menjadi Desa Energi Berdikari, yang bisa menjadi contoh desa lainnya. “Kita berharap ke depan semua masyarakat yang memiliki ternak mengolah limbahnya agar bisa dimanfaatkan menjadi energi terbarukan selain itu berpartisipasi dalam mereduksi gas rumah kaca,” tuturnya.
Secebis Ikhtiar
Senior Analis Sosial Responsibilty PT PHR Deli Paramita yang mendampingi kunjungan media ini mengungkapkan beratnya ketika program ini dijalankan. “Tapi tantangan seperti itu biasalah. Perlahan-lahan dengan menggandeng pihak-pihak yang berkompetern akhirnya masyarakat bisa menerima program ini dan sekarang program ini sangat didukung sekali,” ujarnya.
Dia mengatakan, program desa enegri berdikari Pertamina, menawarkan energ bersih, energi baru terbarukankepada masyarakat. Ini salah upaya yang dilakukan PHR untuk menyediakan energi alternatif yang bisa diakses masyarakat dengan mudah dan murah.
“Kita sama-sama mengetahui, Indonesia nanti berkomitmen dengan zero emission pada 2050, perlahan dan bertahap juga Pertamina sebagai BUMN yang bergerak disektor energi otomatis akan menuju ke sana, salah satunya dengan energi baru terbarukan, khususna melalui biogas ini,” ujarnya.
Ini, tambah Deli Paramita, sebagai ikhtiar kecil yang dilakukan PHR dan masyarakat Desa Mukti Sari dalam mendukung gerakan mengurangi GRK. “Ikhtiar dan langkah ini, sedikit banyak pastilah mendatang efek positif, tidak hanya kepada masyarakat tempatan tetapi jauh dari itu terhadap lingkungan dan alam,” tutupnya.(***)