Peningkatan suhu global. Kenaikan permukaan air laut. Gangguan ekosistem. Gangguan sistem pertanian dan kehilangan keanekaragaman hayati, adalah beberapa dampak dari emisi gas rumah kaca(GRK). Penggunaan energi listrik yang pembangkitnya menggunakan bahan bakar fosil menjadi satu diantara penyebab emisi GRK yang pada akhirnya bisa saja menjadi bencana.
Laporan SOLEH SAPUTRA, Pekanbaru
Sekitar satu jam rintik hujan membasahi Desa Petani, Kecamatan Bathin Solapan, Bengkalis, Riau, Jumat (27/10) lalu. Di desa ini, terdapat Gathering Stations (GS) Petani, yakni salah satu lokasi pemisah kandungan air dan gas pada minyak sebelum diolah lebih lanjut milik PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Wilayah Kerja (WK) Rokan.
Hujan cukup deras membuat jalanan menuju GS Petani cukup berlumpur. Namun, akibat masih banyaknya tumbuhan di sekitar GS, begitu hujan reda air langsung terserap ke dalam tanah sehingga tidak lama menimbulkan genangan.
Selain tanaman kayu, di sekitar GS juga terdapat beberapa tumbuhan lainnya. Seperti ekor kucing (typha latifolia), delenia (delenia suffruticosa), rumput odot (Pennisetum purpureum cv. Mott), melati air (enchinodorus palaefolius) dan padi (oriza sativa).
Tanaman itu diletakkan di tengah kolam. Agar bisa tumbuh, bibitnya diletakkan pada media tanam. Media tanamnya terdiri dari anyaman bambu yang dilapisi sabut kelapa. Begitu tanaman semakin membesar, maka otomatis media tanam akan tenggelam menyentuh dasar kolam. Begitu sudah tenggelam dan membesar, fungsi tanaman ini akan semakin maksimal.
Siapa sangka, tanaman yang masih sering dijumpai ini punya peran besar dalam menjaga emisi GRK dengan menjadi penyaring air terporuduksi dari proses industri migas. Hampir satu tahun lamanya GS Petani melakukan upaya penurunan emisi GRK menggunakan metode alami.
Upaya tersebut dilakukan dengan pembangunan contructed wetland (lahan basah buatan). Contructed wetland memanfaatkan keanekaragaman hayati alam Indonesia, yang menghasilkan Nature Based Solution (NBS) atau solusi berbasis alam.
“Sudah hampir satu tahun, GS Petani mengurangi penggunaan listrik untuk proses produksi. Hal ini karena adanya contructed wetland, yang merupakan kegiatan pengolahan air terproduksi dengan memanfaatkan alam dan tanaman sebagai media pendinginan. Dengan tujuan mencapai baku mutu lingkungan seperti penurunan suhu air terproduksi. Pengelolaan air terproduksi ini adalah salah satu cara untuk mewujudkan program NBS dalam menjaga kualitas lingkungan untuk mencegah adanya masalah pada lingkungan atau sosial,” kata Engineer HES Earth Science PHR WK Rokan Yovieta Christanty.
Jika dilihat, contructed wetland yang dibangun PHR cukup sederhana. Hanya terdiri dari beberapa kolam. Lokasi tepat berada di samping GS Petani. Tiap kolamnya terdapat tanaman yang digunakan sebagai penyaring air sisa produksi migas yang ikut terambil dari perut bumi.
Meskipun terlihat sederhana dan hanya memanfaatkan tanaman serta tanpa ada tambahan bahan kimia lainnya contructed wetland terbukti sudah bisa menurunkan emisi gas rumah kaca. Tidak main-main, jumlahnya mencapai 22 ribu ton CO2e dalam setahun terakhir.
“Sebelum adanya contructed wetland ini, air terporuduksi harus diinject lagi ke dalam perut bumi menggunakan alat pompa bertenaga listrik. Namun dengan adanya contructed wetland ini, air terproduksi hanya perlu diolah secara alami menggunakan tanaman dan dilepas ke badan air (sungai) tanpa menggunakan listrik. Kegiatan ini sudah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 22 ribu ton CO2e selama satu tahun pada empat GS yakni GS Petani, GS Pematang, GS Bekasap dan GS Bangko,” sebutnya.
Untuk prosesnya, air terporuduksi dari GS Petani akan dialirkan ke kolam prawetland. Pada proses ini, air terporuduksi akan dituturkan suhunya menjadi 36 derajat celsius. Karena awalnya air terproduksi yang ikut terambil dari perut bumi panasnya bisa mencapai 80 derajat celsius.
“Air yang sudah melewati prawetland akan dialirkan ke kolam-kolam, dimana pada kolam tersebut sudah tersedia tanaman-tanaman yang diproyeksikan bisa menyaring sisa-sisa minyak yang mungkin masih ikut terbawa pada air tersebut,” sebutnya.
Meskipun ditanam di tengah kolam yang berisi air terproduksi, namun tanaman ini tampak tumbuh dengan suburnya. Hal ini seolah membuktikan air terproduksi yang sudah diolah melalui contructed etland aman bagi lingkungan. Tidak hanya tumbuhan, burung-burung juga tampak hinggap untuk memakan padi yang mulai berbuah di tengah kolam wetland.
Selain menjadi media penyaring, padi juga dipilih karena dapat menurun temperatur air terproduksi. Kemudian, dibanding tanaman penyaring lainnya, padi dinilai lebih cepat tumbuh. Sementara itu, tanaman ekor kucing selama ini juga sudah dikenal sebagai tanaman yang digunakan dalam metode penjernihan air yang murah serta efektif. Ekor kucing, memiliki bentuk batang yang panjang dan ramping serta berwarna hijau. Bunganya berwarna coklat, berbulu menyerupai ekor kucing.
Tanaman ini juga bisa hidup bertahun-tahun karena bisa menghasilkan benih dari tahun ke tahun. Sehingga metode wetland ini bisa menjadi solusi jangka panjang dalam menurunkan emisi gas rumah kaca pada industri migas.
“Begitu melewati proses penyaringan selama alami menggunakan tumbuhan, kemudian air terproduksi siap untuk dilepas ke badan air. Proses penyaringan secara alami ini memerlukan waktu setengah hingga satu hari. Air terproduksi yang dilepas tersebut telah memenuhi standar mutu sehingga aman bagi ekosistem dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar,” ujarnya.
Setelah dilepas ke badan air, masyarakat sekitar juga banyak yang menggunakan air tersebut. Di antaranya untuk keperluan mandi dan mencuci pakaian. “Jarak antara contructed wetland dengan sungai sekitar 5 km. Pada sungai tersebut, banyak masyarakat yang memanfaatkan air untuk mandi dan mencuci pakaian,” katanya.
Pembangunan contructed wetland, disebutkannya adalah bentuk komitmen PHR dalam peningkatan produksi migas nasional. Disamping itu, pihaknya juga berkomitmen bahwa seluruh air terproduksi yang dilepas ke badan air lebih ramah terhadap lingkungan dan aman terhadap ekosistem.
“Ke depan kami berharap contructed wetland ini tidak hanya sekadar pengolahan air terproduksi tapi juga mampu menyediakan aktivitas ekonomi bagi masyarakat sekitar. Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan dukungan dan kolaborasi dari berbagai pihak termasuk pemerintah daerah,” harapnya.
Tidak hanya contructed wetland, PHR juga melakukan kegiatan green energi lainnya yakni dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). PLTS yang dibangun ini berkapasitas 25 MW dan bisa mengurangi emisi GRK hingga 24.840 ton CO2e serta menghemat bahan bakar gas hingga 352 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) pertahun, serta menghasilkan energi 32,42 Gigawatt hours (GWh) pertahun.
“Kami juga memiliki program ekoreparian, desa energi berdikari, program kampung iklim serta restorasi gambut dan mangrove. Program ini kami lakukan sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan,” sebutnya.
Sejalan dengan komitmen pemerintah, langkah yang dilakukan PHR WK Rokan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan menurunkan emisi GRK sejalan dengan langkah yang diambil Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Tempat di mana salah satu daerah operasi PHR WK Rokan. Pihaknya juga mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan PHR WK Rokan tersebut.
“Upaya yang dilakukan PHR ini sudah baik, namun hendaknya juga dapat disinergikan dengan pemerintah daerah setempat,” kata Wakil Bupati Bengkalis H Bagus Santoso.
Disebutkannya, pihaknya selama ini juga sudah melakukan upaya-upaya untuk menurunkan emisi GRK. Seperti dengan melakukan pengelolaan ruang terbuka hijau. Melakukan pembinaan terhadap kelompok program kampung iklim.
“Kami juga sudah membangun taman hutan kota di Desa Wonosari, melakukan pembinaan terhadap kelompok mangrove, melakukan pengelolaan sampah domestik masyarakat dan ditimbun di TPA dengan sistem control landfill. Serta melakukan pengawasan ke perusahaan-perusahaan yang menghasilkan emisi gas rumah kaca secara berkala,” ujarnya.
Upaya serupa juga dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Saat ini, di beberapa perkantoran juga sudah dibuat panel surya yang menghasilkan energi listrik, tujuannya juga untuk mengurangi penggunaan listrik yang pembangkitnya menggunakan bahan bakar fosil.
Gubernur Riau Drs H Syamsuar mengatakan, panel surya yang dibangun saat ini sudah dapat dimanfaatkan untuk memenuhi keperluan listrik di beberapa perkantoran atau dinas yang ada. ”Kami juga sudah mulai memasang panel surya di beberapa kantor termasuk di kantor gubernur. Jadi kami sudah buat contoh di Riau, harusnya perusahaan lain juga membuat ini,” kata gubri.
Lebih lanjut dikatakannya, upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk upaya nyata Pemprov Riau dalam mendukung pemerintah hal menurunkan emisi GRK.”Hal ini juga sejalan dengan program Pemprov Riau yakni Riau Hijau,” ujarnya.
Pengamat Lingkungan dari Fakultas Kehutanan dan Sains Universitas Lancang Kuning Dodi Sukma RA SHut MSi mengatakan, dampak dari efek rumah kaca yang berlebihan akan menyebabkan pemanasan global di mana suhu di bumi akan naik secara signifikan yang ditandai dengan hal-hal antara lain mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem, naiknya ketinggian permukaan air laut dan perubahan iklim yang cukup ekstrem. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, banyak populasi makhluk hidup yang akan musnah.
“Akibat lainnya yakni musim tidak bisa diprediksi lagi, tanaman tidak dapat tumbuh maksimal sehingga penyimpanan air juga tidak ada. Ketika musim kemarau akan sangat kering, jadi hewan-hewan dan tumbuhan akan sangat terpengaruh,” ujarnya.
Untuk di Riau, penyebab emisi GRK yakni dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kemudian juga penggunaan bahan bakar fosil untuk industri dan transportasi. Akibat besarnya dampak dari emisi GRK tersebut, menurutnya perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan agar emisi gas rumah kaca tidak terus meningkat.
“Upaya yang dapat dilakukan yakni dengan menciptakan energi baru terbarukan seperti penggunaan panel surya untuk mendapatkan energi listrik. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan akan energi listrik yang pembangkitnya masih menggunakan bahan bakar fosil,” katanya.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memasang panel surya di gedung-gedung pemerintah serta perusahaan. Namun hal tersebut harus dioptimalkan dan dimaksimalkan.
“Kalau gedung-gedung perkantoran sudah memasang panel surya, minimal bisa untuk menerangi kantornya sendiri. Ini sudah harus mulai berangsur dilaksanakan, namun upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk mulai menggunakan panel surya ini patut kita apresiasi,” ujarnya.***