Sempadan Tak Lagi Dijaga dengan Sabut Api

Feature | Minggu, 28 Februari 2021 - 09:00 WIB

Sempadan Tak Lagi Dijaga dengan Sabut Api
Suasana Pantai Pesona Desa Teluk Rhu, Kecamatan Rupat Utara, pada malam hari, beberapa waktu lalu. (MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS.CO)

Sebagai kawasan sempadan negeri, Rupat Utara selama ini hanya dijaga dengan semangat tinggi. Sejak lama, semangat nasionalisme membuat nyala api cukup sebagai penerang bagi penjaga negeri. Hingga pelan tapi pasti, PLN mulai menerangi. Awalnya hanya dengan mesin diesel. Hingga akhir 2013, kabel bawah laut membawa arus listrik dari Dumai. Itulah awal listrik dinikmati 24 jam. Kini, 100 persen desa-desa di sini sudah benderang. Bersiap menghadapi tantangan. Keindahan Rupat Utara pun dapat dijaga dalam suasana terang.
 
Laporan Muhammad Amin, Rupat Utara
 
Kerlip lampu kapal tanker tampak dari kejauhan di tengah laut. Dari Desa Teluk Rhu, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, tak hanya kerlip lampu tanker yang terlihat. Tapi juga gemerlap lampu-lampu perkotaan di Port Dickson, salah satu kota pelabuhan di pesisir barat Malaysia. Itu jika cuaca cerah tanpa awan, seperti pekan lalu. Pesisir timur Rupat Utara seperti Teluk Rhu dan Tanjung Medang memang hanya 38 km dari Port Dickson. Hanya berbatas Selat Melaka. 
 
Tapi cahaya tak hanya milik Port Dickson. Rupat Utara bahkan punya kearifan lokal penuh cahaya. Namanya zapin api. Dengan apilah semangat menjaga negeri dan tradisi terus menggelora. Pada malam dingin yang cerah di sekitar pantai Rupat Utara itu, zapin api kembali dimainkan. Kendati jarang dimainkan, tapi tradisi sejak abad ke-13 itu masih terjaga.
 
"Kami terus berusaha mempertahankan tradisi ini," ujar pimpinan Sanggar Petak Semai, Hafiz, yang jadi pewaris terakhir zapin api, pekan lalu.
 
Zapin api merupakan tarian khas Rupat Utara dengan memainkan api di antara tariannya. Sabut kelapa digunakan untuk bahan api itu. Api itu pula yang kerap digunakan warga untuk menyatukan tekad menjaga negeri selama Rupat Utara kelam. Mereka disatukan dengan zapin api yang tidak pernah ada di mana pun selain kawasan ini. Kendati para pemain zapin api bolak-balik ke Malaysia melewati Port Dickson, tapi tradisi ini tak pernah silau dengan kemegahan Port Dickson. Ia tetap milik Rupat Utara. 
 
Hafiz menyebutkan, zapin api sempat tak dimainkan selama 40 tahun. Sejak era 1970-an hingga 2009. Banyak penari zapin api yang mengadu nasib, bekerja, bahkan berkeluarga dan beranak-pinak di Malaysia. Rupat Utara dan Port Dickson memang sudah jadi saudara.Tapi ternyata tradisi ini tetap terjaga di Rupat Utara. Tidak pernah dimainkan di Negeri Jiran. Bahkan kini sudah dikukuhkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) milik Indonesia.
 
"Mari kita jaga tradisi dan keindahan negeri kita walaupun hanya dengan api ini," ujarnya.
 
Perbedaan Mencolok
Kendati hanya dipisahkan Selat Melaka, sejak dulu Rupat Utara dan Port Dickson punya perbedaan mencolok. Para pemimpin daerah di Riau pernah beberapa kali mengeluhkan kondisi ini. Daerah terdepan ini masih gelap, sementara tetangganya penuh gemerlap cahaya. Jika dilihat dari udara di malam hari, terlihat jelas sisi terang dan gelap di Selat Melaka itu. Tapi itu dulu. Sekarang tentu berbeda.
 
Pekan lalu, Plt Sekdaprov Riau Masrul Kasmy kembali mengungkapkan pentingnya posisi Rupat Utara sebagai beranda negeri, wilayah terdepan NKRI. Port Dickson di seberang Selat Melaka memang sudah lama terang-benderang. Tapi Rupat Utara juga tak ketinggalan sejak pemerintah memandang nilai strategis wilayah ini. Malam tak lagi gelap gulita di sini.
 
Kalau negeri seberang sudah terang-benderang, kita sudah terang terang sikitlah," ujarnya dengan dialek Melayu yang kental.
 
Saat ini, seluruh desa di Rupat Utara telah dialiri listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Camat Rupat Utara Agus Sofyan menyebutkan bahwa pemerintah sudah memperhatikan Rupat Utara jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Kebijakan kelistrikan ini sudah lama ditunggu dan tampak makin nyata ketika ada kebijakan pembuatan kabel bawah laut pada 2012 dan diresmikan akhir 2013. Sejak saat itu, listrik dialirkan dari Gardu Induk (GI) Dumai dengan kabel laut 12 MW.
 
"Mudah-mudahan investasi bisa masuk lebih banyak seiring listrik yang semakin baik," ujar Agus beberapa waktu lalu.
 
Kendati sejak saat adanya kabel bawah laut itu sebagian warga Rupat sudah dapat menikmati listrik 24 jam sehari, tapi prosesnya juga cukup panjang. Hingga 2017, beberapa desa masih belum bisa menikmati listrik.  Terdapat sungai-sungai besar selebar 300 meter yang harus diseberangi tiang-tiang listrik PLN. Tapi, perusahaan negara ini tetap mengusahakan peningkatan elektrifikasi tiap tahun.
 
Pada 2019, misalnya, dibangun  tower 20 kV. Tower ini mengalirkan listrik yang berasal dari gardu induk Kawasan Industri Dumai (KID).  Beberapa desa yang sebelumnya masih gelap, sejak itu pun mulai terang. Daya mampu Rupat pun meningkat jadi 10 MW yang melebihi beban puncak ketika itu sebesar 6,6 MW. Saat ini, seluruh desa di Rupat Utara sudah dialiri listrik.
 
Manajer PLN Dumai, Jannatul Firdaus menyebutkan, Rupat memang sudah dideklarasikan 100 persen elektrifikasi di tingkat desa. Hanya saja, ada beberapa RT yang belum bisa dimasuki PLN. Hal ini terkait dengan kondisinya yang berjauhan sehingga diperlukan tiang-tiang listrik baru. Diperlukan juga travo baru yang sebaran titiknya bisa berjauhan. Sedangkan daya yang dikirim dari Dumai masih mencukupi.
 
"Untuk kawasan RT tertentu, memang akses jaringan kita belum sampai," ujar Jannatul Firdaus.
 
Rupat memang menjadi wilayah kerja PLN Dumai. Makanya, integrasi daya listrik dari Dumai diharapkan membuat Rupat tidak lagi kekurangan daya. Daya listrik untuk Rupat bahkan sudah menjadi bagian dari interkoneksi Sumatera. Artinya, seperti apa listrik di Sumatera bagian tengah, begitu pula yang bisa dinikmati warga Rupat. Tinggal memperkuat travo dan menambah tiang dan jaringan. Dia menyebutkan, PLN menyadari posisi strategis Rupat, terutama Rupat Utara yang merupakan beranda atau halaman depan NKRI. Rupat Utara juga menjadi bagian dari program pariwisata strategis nasional. 
 
"Makanya, kami dari PLN memprioritaskan soal kelistrikan di sini," ujarnya.
 
Tingkatkan Sektor Pariwisata
Selain merupakan sempadan negeri yang harus dijaga, keelokan Rupat Utara juga jadi magnet tersendiri. Keelokan ini tentu harus dipersolek dan listrik merupakan bagian dari upaya itu. Terdapat garis pantai sepanjang 17 kilometer di Rupat. Beberapa pantai terindah misalnya Pantai Pesona, Pantai Tanjung Lapin, dan Pantai Bestari. Ada juga pasir berbisik di Beting Aceh, sebuah daratan berpasir tak jauh dari Pulau Rupat.
 
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 50 Tahun 2011, Rupat Utara sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Berdasarkan itulah berbagai fasilitas penunjang pariwisata mulai ditingkatkan. Salah satu yang terpenting adalah kelistrikan. Sebab, dengan listrik, penjagaan sempadan lebih baik. Ibarat manusia, Rupat Utara adalah gadis cantik yang lama berada dalam kegelapan. Tentu tak banyak yang tahu. Jika pun diketahui, kecantikannya justru mengundang musibah.
 
Camat Rupat Utara Agus Sofyan menyebutkan, pembangunan infrastruktur Rupat Utara memang lebih gencar dalam tiga tahun terakhir. Saat ini bahkan sudah ada master plan pembangunan Rupat Utara yang membagi bidang pembangunan dari porsi APBN, APBD Provinsi Riau dan APBD Kabupaten Bengkalis. Sektor kelistrikan tentu menjadi faktor penting menuju pariwisata strategis nasional ini.
 
"Kita harap Rupat Utara tetap diperhatikan pemerintah," tambah Agus.
 
Metamorfosis Rupat Utara
Warga Desa Teluk Rhu, Kecamatan Rupat Utara, Ujang mengalami benar bagaimana metamorfosis Rupat Utara dulu hingga sekarang. Dia juga paham perbedaan Rupat Utara dan Port Dickson. Sebagai warga Rupat Utara, dia mengalami perdagangan bebas antara mereka dengan orang-orang Malaysia. Bahkan ketika mulai dilakukan aturan ketat, warga juga melakukan penyeludupan ke Malaysia, yang disebut smokel. Dia mengalami keluar-masuk Malaysia tiap pekan. Dia tahu seperti apa Port Dickson yang terang-benderang dan Rupat Utara yang ketika itu masih gelap gulita.
 
Pada tahun milenial 2000, warga Rupat Utara baru mulai menikmati listrik. Itu pun masih menggunakan mesin diesel milik desa. Hanya malam saja pukul 18.00 hingga pukul 23.00 WIB ada listrik. Setelah itu listrik dimatikan karena solar untuk mesin diesel terbatas.
 
"Itu pun kadang pakai giliran juga dengan desa lain," ujar Ujang.
 
Baru pada 2010, jaringan PLN masuk dan listrik bisa dinikmati siang dan malam hari. Sejak 2013, baru dirasakan benar bagaimana listrik bisa dinikmati 24 jam, tidak seperti sebelumnya. Menurut Ujang, terang-benderangnya Rupat Utara menjadikan kampung halaman mereka ini bisa bangkit sedikit demi sedikit. Kendati belum bisa disamakan dengan Port Dickson yang merupakan pelabuhan internasional, dengan segala gemerlapnya, tapi setidaknya mulai ada geliat ekonomi yang lebih baik.
 
Ujang sendiri pernah menjadi penyeludup alias pelaku smokel. Bahkan dia juga pernah menjadi tekong kapal TKI. Dengan adanya listrik, penjagaan wilayah diperketat. Bea Cukai, Polairud, dan semua aparat pengawasan mulai berkantor di Rupat Utara. Mereka tak lagi menggunakan lilin, pelita, petromax, atau lampu semprong. Semuanya sudah serbalistrik. Akibatnya, warga tidak bisa melakukan smokel atau membawa TKI lagi. Tapi peluang lain justru muncul. Salah satunya adalah industri pariwisata. Belasan home stay sudah berdiri di Rupat Utara. Rumah-rumah disulap jadi rumah singgah hingga penginapan. Beberapa investor sudah mulai membangun hotel dan vila.
 
"Kalau tak ada listrik tak mungkin kan," ujarnya.
 
Ujang sendiri membangun industri kecil berupa oleh-oleh khas Rupat Utara yakni kerupuk ikan parang, khas Selat Melaka. Peralatan yang digunakan sudah serbalistrik. Sejak tahun 2017, Pemkab Bengkalis memang mulai melakukan pembinaan pariwisata di Rupat Utara seiring elektrifikasi yang meningkat. Sejak saat itu, pantai-pantai sudah terang-benderang. Jalan pun tak lagi gelap. Home stay dihiasi lampu warna-warni yang mengundang wisatawan. Beberapa dibuat unik dan instagramable. Permainan cahaya dan lampu warna-warni dipadupadankan. Edukasi pariwisata diberikan. Ujang termasuk salah satunya. Dia pun fokus pada industri kecil kerupuk ikan parang. Kerupuknya cukup diminati wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, terutama dari Malaysia. Produknya bahkan sudah sampai ke Dumai, Bengkalis, Batam, Tanjung Balai Karimun, dan lainnya.
 
"Memang beda ketika sudah terang seperti sekarang," ujarnya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook