Pandemi Covid-19 membuat sektor pendidikan terganggu. Terlebih di daerah-daerah yang minim dengan sinyal telekomunikasi. Namun, itu bukan alasan untuk menyerah pada keadaan. Bak kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Demikian yang dilakukan anak-anak di Desa Sesap, Kepulauan Meranti. Bagi mereka tidak ada handphone (HP), handy talky (HT) pun jadi.
Laporan: WIRA SAPUTRA (Selatpanjang)
DESA Sesap, Kecamatan Tebing Tinggi hanya berjarak 12 km dari ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti, Selatpanjang. Di desa ini, hampir 60 persennya bermukim masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang disebut Suku Akit. Mata pencarian mereka rata-rata sebagai nelayan. Ironisnya lagi, sebagian besar dari mereka masih buta aksara.
Dulu, pendidikan bagi masyarakat Suku Akit ini bukanlah perkara penting. Oleh sebab itu banyak anak mereka tidak bersekolah. Namun seiring perjalanan waktu dan pembauran dengan masyarakat dari suku lainnya yang lebih modern, akhirnya mereka pun memandang pendidikan bagi anak-anaknya menjadi keharusan. Namun, di tengah pandemi Covid-19, membuat mereka kelabakan. Bagaimana tidak, anak-anak mereka yang biasanya datang ke sekolah menerima pelajaran dari gurunya kini diharuskan mengikuti pendidikan melalui dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring).
Pendidikan daring mungkin tidak menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia yang berpenghasilan menengah ke atas, namun bagi masyarakat Suku Akit ini menjadi persoalan mendasar. Jangankan memiliki handphone atau perangkat sejenis, bisa bertahan hidup di tengah wabah Covid-19 ini saja mereka sudah sangat bersyukur.
Wikipedia menyebut, Suku Akit atau Suku Akik merupakan salah satu suku asli yang mendiami wilayah Riau. Suku Akit merupakan salah satu sub-suku Melayu (Proto Melayu) yang mendiami wilayah Pula Rupat. Tepatnya di Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis. Dan Kabupaten Kepulauan Meranti tepatnya di Pulau Padang (Sungai Labu, Kudap, Dedap, Selat Akar, Bagan Melibur, Kunsit), Pulau Merbau (Cemaning, Ketapang, Renak Dungun), Pulau Tebing tinggi (Tanjung Peranap, Aer Mabuk, Kundur, Lalang, Sesap, Batin Suir) dan Pulau Rangsang (Api-api, Linau Kuning, Bungur-Kuala parit, Sonde, Sungai Rangsang, Tanjung sari, Sokop, Mereng, Bandaraya, Banau, Sipije), juga di Kabupaten Pelalawan tepatnya di Kecamatan Kuala Kampar Pulau Mendol.
Suku ini memeluk aliran kepercayaan, Budha, Islam dan Kristen. Suku ini telah lama mendiami pulau ini sebelum suku-suku lainnya menjadikan pulau ini sebagai tempat tinggal. Mata pencarian Suku Akit adalah berburu dan meramu, serta nelayan. Belum memiliki gawai, jaringan internet, hingga arus jaringan listrik adalah kondisi yang tak asing. Terlebih di Pulau Rangsang, pesisir Selat Malaka, Indonesia yang berbatas langsung dengan negara tetangga Malaysia. Seperti kondisi yang dialami Desa Beting, Kecamatan Rangsang.
"Iya beginilah desa kami. Listrik desa hanya beroperasi dari pukul 18.00 WIB hingga Pukul 00.00 WIB. Kondisi sama juga terjadi pada perangkat komunikasi. Jangankan internet, menelepon aja susahnya minta ampun," ujar Kepala Desa Beting Tony kepada Riau Pos.
Menurut dia, warga Desa Beting sangat tertinggal akan perkembangan teknologi, walaupun posisinya sebagai pulau terdepan Indonesia. Sehingga, dapat dipastikan jika perkembangan desanya terus dihambat minimnya fasilitas yang cukup mendasar.
Contohnya, pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tengah pandemi Covid-19. Seluruh murid tidak bisa belajar dengan menggunakan media atau teknologi seperti yang dimiliki saudaranya di kota. Adapun media yang ia maksud, gawai dan televisi.
"Mana ada fasilitas itu. Mau tidak mau guru SD Negeri 7 di desa saya itu murid atau orang tua wali ambil tugas di rumah guru atau sekolah dan harus diantar jemput," ungkapnya.
Dengan demikian ia khawatir dengan perkembangan akademik generasi muda desa yang memburuk. Bukan tidak beralasan, karena metode tersebut tidak mendapat bimbingan langsung dari guru pembimbing.
"Iya kalau orang tuanya tidak buta huruf. Di desa kami malah ada orang tua wali murid yang buta huruf. Sehingga anaknya terpaksa belajar sendiri," ungkapnya.
Terlebih cerita dia soal belajar melalui bimbingan tayangan di televisi. Kondisi itu semakin rumit, karena tidak memiliki sumber listrik di siang hari.
Dengan demikian ia berharap, pemerintah dapat memberikan pola belajar yang bagus untuk menyikapi segala kekurangan tersebut.
"Iya harap saya ada pola terbaik yang akan jadi pilihan untuk kami. Jika seperti ini, apa solusinya. Jika tidak ada solusi ya, normalkan saja," ungkapnya.
Kepala Desa Sesap, Jumri juga sempat khawatir terhadap perkembangan pendidikan anak-anak di desanya. Dari 742 jiwa dengan jumlah 206 KK, sebanyak 85 persen di antarnya masuk dalam KAT yang betul betul-harus diperhatikan. Parahnya lagi saat ini masih ada warganya atau orang tua murid yang buta aksara. "Orang tua yang buta aksara masih ada. Kalau buta (aksara) bagaimana mau membimbing anaknya belajar di rumah," ujarnya.
Itu yang membuatnya khawatir dengan sistem belajar secara luring. Kekhawatiran itu cukup beralasan karena belajar sistem luring memang tidak mendapat pendampingan langsung dari guru, sementara orang tua yang buta aksara. Memang jarak dari desanya ke Selatpanjang sebagai pusat kabupaten tidak begitu jauh. Jarak lebih kurang lebih 12 km, namun untuk mendapatkan fasilitas jaringan internet masih sulit untuk menjalankan PJJ daring. Selain itu rata-rata anak warga desa tidak memiliki gawai.
"Internet masih sulit. Padahal jarak ke pusat kabupaten tidak begitu jauh. Selain itu banyak warga kami yang belum punya gawai. Dengan jalannya PJJ dengan HT tentu dapat mempermudah guru, siswa dan murid, termasuk orang tua," ungkapnya.
Dengan demikian dia juga mengucapkan ribuan terima kasih kepada Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) yang telah ikut berpartisipasi untuk membantu kesulitan yang dialami desanya.
Menggunakan HT
Kelompok belajar kelas VI SDN 21 hening seketika saat proses PJJ dimulai. Tepatnya di salah satu rumah wali murid, Jalan Datu Desa Sesap, Kecamatan Tebingtinggi, Rabu (5/7) lalu. Memang sedikit berbeda. Biasanya PPJ yang mereka ikuti menggunakan pola luring, belajar sendiri tanpa pendampingan dari pihak sekolah. Namun kali ini, mereka belajar menggunakan perangkat handy talky (HT), di samping sebagian besar wilayah Indonesia menggunakan pola daring dengan perangkat gawai atau handphone (HP).
Ada lima orang murid yang sedang mengikuti proses PJJ itu. Ada Yoga Pratama, ada M Arif, Yana, Nurul Husnawati, dan Junaida. M Arif tampak asing dengan perangkat HT itu, ia memainkan jari telunjuknya di badan HT, seraya memandang antena yang menjulang tinggi.
Sementara Yana, Nurul Husnawati, dan Junaida terlihat tak berkedip mata melirik alat telekomunikasi yang booming era 80-an tersebut. "Zheeet....zheett..." suara keluar dari speaker kecil HT dan menyusul suara seorang guru. Seperti tidak asing dengan suara itu, kelimanya mulai senyum dan saling bertatapan. Yana, salah seorang murid lalu berkata sambil bertanya. "Pak Susanto?" tuturnya.
Tak menunggu waktu lama, pertanyaan Yana terjawab. "Benar. Ini bapak," balas Susanto, dan melanjutkan perintahnya kepada murid untuk membuka buku pelajaran.
Jarak Susanto dari lokasi belajar kelima murid tidak kurang dari 2 km. Ia memberi perintah tepat dari ruang guru SDN 21 Desa Sesap. Bimbingan belajar berjalan baik hingga akhir, tanpa ada gangguan jaringan. Berbeda menggunakan HP. Akses data cukup sulit diterima. Padahal jarak Desa Sesap tidak begitu jauh dari pusat Kabupaten Kepulauan Meranti. Sehingga, sebelum ada HT, mereka lebih memilih menjalankan pola belajar luring.
Menciptakan ide kreatif, unik, lain daripada yang lain, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih ide kreatif tersebut dapat dinikmati oleh orang banyak. Tidak menggunakan sambungan internet, PJJ yang diterapkan oleh beberapa SD di Kepulauan Meranti mulai menggunakan perangkat HT. Langkah ini digagas Orari dengan melibatkan beberapa sekolah dasar setempat.
Organisasi yang berdiri di era 80-an tersebut kini menjadi motor PJJ. Sebagai percobaan, PJJ menggunakan HT mulai dilaksanakan di SDN 6, Selasa (4/8). Pada Rabu (5/7) juga berlangsung di SDN 21 Desa Sesap Kecamatan Tebingtinggi Kepulauan Meranti.
Proses PPJ dengan HT tampak mudah. Alat itu tidak memiliki gangguan jaringan saat menerima perintah suara ketika jam belajar berlangsung. Padahal guru di sekolah, memberikan materi pada sekelompok murid yang berada di rumah. Ketika itu sekelompok murid juga tampak tidak kesulitan mengoperasikannya. Walaupun sedikit kaku, karena alat mirip gawai tersebut, sedikit lebih besar serta memiliki layar yang kecil. "Tidak sulit Bang, malah mudah. Lagi pun keren belajar dengan HT. Biasanya kami belajar di rumah teman karena tidak punya paket data. Sekarang bisa belajar di rumah saya sendiri dengan alat ini," kata Yana, salah seorang murid Kelas VI SD N 21 Desa Sesap.
Hal yang sama juga disampikan Kepala Sekolah SDN 21 Desa Sesap, Syukur SPd. PJJ menggunakan HT menurutnya suatu inovasi yang patut dilakukan. Selain sebagai upaya untuk memenuhi fasilitas penunjang PJJ juga, tidak berdampak buruk terhadap anak.
Berbeda jika PJJ menggunakan gawai. Menurutnya, secara tidak langsung dapat membiasakan anak didik di bawah usia kenal dengan kecanggihan teknologi yang belum masanya. Apalagi jika sudah ketergantungan.
"Kerja sama ini hanya untuk mengakomodir peserta didik khusus kelas VI. Yang lain PJJ menggunakan sistem luring. Namun kendala sistem tersebut, setiap murid tidak dapat bimbingan langsung. Jika disuruh pilih, antara PJJ luring, dan PJJ gawai, ya bagus dengan PJJ dengan HT. Namun sayang, jumlahnya perangkatnya terbatas. Makanya prioritas bagi murid kelas VI saja," ungkapnya.
Menanggapi bantuan disalurkan oleh Orari Kepulauan Meranti, ia mengucapkan ribuan terima kasih. Terlebih ide kreatif tersebut digagas tepat pada waktu yang diharapkan.
Namun ia berharap, jika jumlah perangkat ke depan dapat diperbanyak, sehingga bisa mengakomodir seluruh peserta didik.
Anggota Orari setempat, Irman Arya kepada Riau Pos mengungkapkan, peduli akan generasi dalam mendapatkan pendidikan yang layak menjadi kewajiban semua pihak. Tidak hanya pemerintah, Orari Kepulauan Meranti juga harus turut berperan serta.
"Artinya, tak ada gawai, akses internet, paket, hingga pulsa, HT pun jadi pilihan. Asalkan generasi bisa belajar dengan baik," ungkapnya.
Lagipula, menurutnya, Orari Pusat telah memberikan lampu hijau kepada seluruh tingkat bawah untuk terlibat sama. Peran mereka menurutnya, untuk menutupi segala keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh peserta didik.
Irman mengatakan, proses belajar menggunakan alat komunikasi ini tidak jauh beda dengan menggunakan gawai. Menurutnya, pesan yang diterima sama, yakni suara. Hanya tidak bergambar.
Sebagai percobaan, saat ini mereka menyediakan 10 perangkat setiap sekolah yang dibagi per kelompok belajar. Perangkat itu juga digunakan secara bergiliran setiap sekolah.
Karena masih uji coba, saat ini Orari hanya memfasilitasi perangkat tersebut untuk empat sekolah dasar masing-masing SDN 6, SDN 13, SDN 17 hingga SDN 21 Desa Sesap Kecamatan Tebingtinggi.
"Untuk sementara empat sekolah itu. Jika sambutannya baik tidak menutup kemungkinan kami akan memfasilitasi sekolah lain," ujarnya.
Dengan jumlah anggota yang tersebar di setiap kecamatan bisa mengakomodir sejumlah sekolah lain yang tersebar di Kepulauan Meranti. Pasalnya dalam program kerjasama ini, mereka tidak hanya melibatkan Orari, melainkan juga melibatkan organisasi Radio Amatir Penduduk Indonesia (RAPI). "Selain Orari, kita juga libatkan RAPI. Kebetulan Ketua RAPI di Meranti saya sendiri," ungkapnya.
Tambah lagi saat ini RAPI memiliki 43 anggota yang tersebar di sembilan kecamatan. Dengan demikian, hendaknya ide kreatif tersebut dapat menjadi contoh terhadap organisasi lain.
Disambut Baik
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Kepulauan Meranti menyambut baik dan mengapresiasi beberapa sekolah dasar yang memberlakukan PJJ menggunakan HT. Terlebih kepada Orari dan RAPI sebagai motor terhadap program tersebut, dengan segala keterbatasan dan kemampuan pemerintah daerah dalam pemenuhan fasilitas penunjang PJJ.
Demikian disampaikan Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Meranti Safrizal. Menyikapi segala kendala di lapangan, terlebih kepada sekolah dan murid yang minim akan fasilitas penunjang, kini mereka telah memutuskan untuk melakukan percobaan terhadap belajar tatap muka tingkat sekolah menengah pertama.
"Jadi tidak lagi menggunakan pola PJJ daring dan luring," ungkapnya.
Keputusan ini tertuang dalam surat edaran (SE) yang baru diterbitkan, Senin (3/8). Mereka diperbolehkan untuk melaksanakan belajar dan mengajar tatap muka dengan beberapa ketentuan yang wajib dipatuhi. Sementara untuk tingkat PAUD, TK dan SD pola belajar dengan sistem PJJ akan diperpanjang, hingga batas waktu yang belum ditentukan. Menurutnya sistem belajar tatap muka tingkat SMP tersebut mulai diberlakukan 5 Agustus 2020 ini, sebagai pilot project.
"Kita terapkan SMP dulu sebagai percobaan. Tapi untuk melaksanakan sistem belajar tatap muka itu, pihak sekolah harus menjalankan ketentuan yang telah kami tetapkan. Seperti yang tertuang dalam surat edaran tersebut," ujarnya.
Adapun ketentuan yang dimaksud di antaranya, setiap satuan pendidikan dapat memastikan kondisi sarana belajar bersih dan aman dari Covid-19. Pengecekan minimal dua kali dalam sehari.
Selain itu, setiap satuan pendidikan wajib menyediakan fasilitas cuci tangan; sabun, air dan hand sanitizer setiap pintu keluar dan masuk sekolah hingga ruang belajar. Selanjutnya mereka juga diminta untuk menyediakan masker. Yang tidak kalah penting dalam SE itu adalah pembatasan jumlah murid maksimal 16 orang dengan rentang jarak belajar hingga 1,5 meter.
"Jaga jarak di ruang belajar. 16 orang jumlah maksimal. Begitu juga dalam proses antar jemput murid juga diatur, agar tidak terjadi kerumunan," ujarnya.
Untuk jam pelajaran juga dibatasi, setiap pertemuan hanya diperbolehkan 2 x 2 jam dalam satu hari.
"Jadi setiap sesi hanya hanya berdurasi 40 menit," ujarnya.
Terisolir dari Jaringan Telekomunikasi
Sejumlah wilayah di Kepulauan Meranti Masih masih terisolir dari jangkauan jaringan telekomunikasi berbasis data atau jaringan internet. Demikian disampaikan Kasubag Aplikasi dan Informatika, Kominfo Setdakab Kepulauan Meranti M Syafi'i M.Kom.
Menurutnya dalam pemenuhan jaringan telekomunikasi panggilan suara gawai 93 persen terjangkau di seluruh Kepulauan Meranti. Namun untuk akses data atau jaringan internet baru terpenuhi sekira 75 persen. Sisanya masih terisolir. "25 persen masih terisolir dari akses jaringan data. Kalau jaringan voice call sisa 6 persen. Intinya masih ada beberapa desa yang sulit untuk melakukan panggilan telepon genggam. Apalagi akses internet. Tapi provider terus melakukan perluasan jangkauan," ungkapnya.
Peningkatan perluasan jangkauan jaringan gawai di Kepulauan Meranti terjadi cukup cepat. Menurutnya kondisi tersebut jika dibandingkan lima tahun sebelum ini.
"Dulu 2014 itu jaringan internet hanya bisa diakses di pusat kabupaten saja. Di luar itu, ya susah. Sekarang dari 101 desa, hanya belasan desa saja yang masuk kategori di luar jangkauan," ujarnya.
Sisa 25 persen yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi berbasis data itu terbentur oleh fasilitas yang mendasar. Salah satu yang menjadi pertimbangan provider untuk membangun base transceiver station (BTS) adalah arus listrik selama 24 jam nyala.
"Listrik yang menjadi kendala. Pertimbangan perusahaan provider untuk melakukan perluasan dengan membangun BTS itu listrik. Kalau tak ada jaringan PLN, ya sulit. Salah satu contoh, diungkapkan Syafi`i seperti kondisi Desa Beting, Kecamatan Rangsang," ujarnya.***