Tidak banyak warga Kota Pekanbaru yang bersampan ke tempat pendidikan. Di antara anak sampan itu, ternyata ada yang dapat tampil di kancah global, meraih beasiswa pendidikan ke Negeri Sakura, Jepang. Tak peduli lingkungan tempatnya tumbuh adalah kawasan kumuh, rawan, dan tempat para kriminal “bersarang”. Saat masa depannya sudah terang di negeri orang, dia justru memilih balik kandang. Mengapa?
Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru
Jauh sebelum Jembatan Siak IV berdiri gagah membelah Sungai Siak, di seberang bagian utara jembatan itu, pada Kelurahan Meranti Pandak, pernah ada perkampungan. Penduduknya heterogen. Mereka tinggal di Jalan Pesisir. Kawasan ini sama-sama berhadapan Sungai Siak dengan Kampung Dalam, sebuah kawasan “bronx” Pekanbaru.
Keduanya pun sama-sama diidentifikasi sebagai kawasan bronx yang rawan kriminalitas. Jika Kampung Dalam terkenal dengan “sarang” narkoba, perkampungan di Jalan Pesisir ini dikenal “sarang” curanmor. Tidak semua, tapi ada beberapa. Sudah terlalu banyak polisi menciduk kawanan curanmor dari sana. Padahal, beberapa meter dari sana, terdapat markas polisi, RSDC (Riau Safety Driving Centre), kantor pengurusan surat izin mengemudi (SIM).
Lingkungan bronx itu seakan tak mempengaruhi Indra Purnama. Anak muda 33 tahun itu tahu aktivitas rekan seusianya. Tapi dia lebih memilih fokus mengukir masa depan untuk dirinya dan warga lingkungannya, rakyat Riau, dan Indonesia umumnya. Tak peduli seberapa hitam pengaruh lingkungan, jika dia fokus pada masa depan cemerlang, dia yakin akan meraihnya.
Semasa SD, dia selalu bersama teman-temannya berjalan kaki menuju SD 039 Pekanbaru, tak jauh dari rumah. Pergaulannya cukup erat dengan teman masa kecil itu. Mereka juga terbiasa bersampan ke seberang Sungai Siak. Itu pula yang membiasakannya bersampan menuju sekolah saat melanjutkan pendidikan yang berada di seberang sungai.
Indra memilih melanjutkan pendidikan ke MTsN Pekanbaru di kawasan Gobah, tentu dengan menyeberangi Sungai Siak. Dia lebih memilih jalur sampan dibandingkan memutar melalui Jembatan Siak I (Leighton), satu-satunya jembatan kala itu, yang jaraknya sekitar 3 km dari rumahnya.
“Kalau menggunakan sampan hanya lima menit sudah sampai ke seberang. Sedangkan jika jalan kaki menuju Jembatan Siak I lebih lama,” ujar Indra, mengenang.
Kenangan sebagai anak sampan ini terus saja menjadi bagian dari kehidupan kecil hingga remaja Indra. Bersama rekan-rekannya warga Jalan Pesisir, yang kini berada di sisi utara Jembatan Siak IV ini, dia masih menggunakan moda transportasi ini.
Termasuk saat itu berangkat ke sekolah di MTsN. Setelah bersampan itu, baru menggunakan oplet menuju Gobah. Perkembangan kota yang pesat tak menyurutkan kegiatan bersampannya, pergi dan pulang sekolah. Predikat anak sampan di metropolitan Pekanbaru layak dia sandang, mengingat aktivitas harian yang tak lepas dari bersampan.
Usai menamatkan MTsN Pekanbaru, Indra melanjutkan pendidikannya ke MAN 2 Pekanbaru. Kesibukannya dalam kegiatan sekolah menyebabkannya tidak banyak lagi bergaul di lingkungan yang makin parah. Sejak remaja, Indra menyukai dunia kepenulisan, termasuk media sekolah (majalah dinding/mading). Dia juga menenggelamkan diri dalam kegiatan-kegiatan sekolah, mencari bacaan-bacaan bermutu, menggali berbagai ilmu-ilmu baru, termasuk kegiatan kepenulisan yang lain. Di antaranya, dia juga aktif meresensi buku, mendapatkan banyak hadiah buku dari penerbit, sehingga waktunya larut dalam dunia bacaan dan literasi.
Sejak 2009, kawasan tempat tinggalnya menjadi bagian rencana pembangunan Jembatan Siak IV pada sisi bagian utara. Puluhan warga harus direlokasi ke daerah lainnya. Mereka pun pindah ke Panam. Maka cerita anak sampan dengan lingkungan hitam itu pun berakhir dalam perjalanan hidup Indra.
Jembatan Siak IV bisa dikatakan mangkrak bertahun-tahun. Bahkan hingga 10 tahun dengan empat gubernur yang datang dan duduk silih berganti. Sejak dibangun 2009, baru 2019 jembatan ini tuntas. Namun jembatan dengan nama Jembatan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (Marhum Bukit) telah membawa Indra pada lingkungan yang baru. Lepas dari lingkungan lamanya yang serbakurang, serbaprihatin.
Saat menempuh pendidikan di MAN 2 Pekanbaru, dia mendapatkan beasiswa dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan bisa melanjutkan pendidikan S1 di mana saja. Indra memilih pendidikan di Pendidikan Kimia Universitas Riau. Indra melakukan riset tentang kimia tanah.
Dunia literasi tak lepas dari kehidupan Indra. Semasa kuliah S1, dia bahkan sudah menelurkan tiga buku yakni tentang pariwisata di Kepulauan Riau, sebuah antologi cerpen, dan sebuah antologi tulisan tentang pembangunan Kabupaten Bengkalis.
Tampil di Kick Andy
Sebagai mahasiswa, Indra tak lepas dari aktivitas produktif. Dia melakukan riset tentang pemanfaatan kompos untuk padi organik. Indra dan teman-temannya serius menggarap pemanfaatan bahan organik untuk pupuk ini dengan melakukan pemberdayaan petani di Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Dia bahkan membeli setengah hektare lahan padi untuk penelitian dan pembinaan petani dengan proyek beras sehat.
Ada 5 hektare lahan padi petani yang masuk bagian dari pembinaan yang dilakukan Indra dan teman-temannya saat kuliah. Kepeduliannya pada petani ini dilakukan sejak tahun 2013 lalu, di masa-masa akhir kuliah S1-nya di Unri. Dia bahkan tinggal di Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, selama lebih kurang setahun dan berkecimpung dalam dunia petani secara mendalam.
Kepeduliannya pada petani ini membuat dia diundang pada acara Kick Andy pada tahun 2013 itu. Bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa, dia membantu mencarikan berbagai solusi pertanian, sehingga petani itu tidak hanya melakukan kegiatan pertanian secara sendiri saja. Sebab secara tradisional, banyak petani yang bingung dengan ekosistem dan bisnis pertanian. Mereka kekurangan modal, tergantung pada tengkulak, kerap gagal panen, dan tidak tahu harus mengadu ke mana. Pembinaan yang dilakukan pemerintah memang kemudian masuk secara bertahap.
Selain itu, konsep beras organik yang disampaikannya kepada petani juga membuat dia mendapatkan respek dari manajemen talk show terkenal sebuah stasiun televisi, Kick Andy. Dia diundang hadir dalam acara yang selalu menampilkan sosok-sosok inspiratif itu. Indra Purnama diusung sebagai salah seorang pemuda yang inspiratif kala itu.
Dia menyebutkan, kekhawatirannya pada pertanian konvensional adalah banyaknya residu bahan kimia pada beras hingga tanah. Bahkan, residu bahan ini bisa mencapai 10 kali lipat di ambang batas standar global. Residu pestisida ini yang menurutnya berbahaya bagi kesehatan untuk semua generasi. Sudah banyak petani yang mengidap kanker karena ini. Begitu juga banyak generasi muda yang tidak berkembang pikirannya, anak yang terancam stunting, tidak tumbuh baik, dan bermasalah secara fisik serta mental, akibat terlalu banyak mengkonsumsi residu pestisida.
“Barangkali saya diundang Kick Andy karena saya dapat menggugah petani untuk peduli lingkungan ketika itu, dan tidak banyak anak muda yang melakukannya,” ujar Indra.
Mendalami Pertanian di Negeri Sakura
Kecemerlangan Indra dalam belajar menuntunnya untuk mendapatkan beasiswa unggulan dari Kemendikbud RI. Dia memilih untuk melanjutkan kuliah S2 di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta di bidang Kimia Lingkungan. Indra juga masih penasaran, dan tidak lepas dari penelitiannya soal pertanian. Sebab ilmu pertanian berkaitan juga dengan unsur-unsur kimia, maka dia mendalami bidang kimia.
Dia masih terus penasaran, kenapa pertanian organik yang dilakukannya tidak terlalu berhasil. Dari analisanya ketika itu, mereka tidak melakukan penyemprotan pestisida, dan ini mengakibatkan semua hama datang ke padi organik yang mereka tanam. Sebab hama-hama itu tidak bisa datang ke tempat penanaman padi yang lainnya yang penuh dengan pestisida. Indra terus mencari tahu dan menambah wawasannya soal ini.
Dia bahkan sempat mendapatkan beasiswa berupa short course (kursus singkat) selama 2 bulan ke Hokkaido, Jepang. Dari sana dia tahu, bahwa sebenarnya petani Jepang masih menggunakan pestisida, tapi benar-benar terukur. Pestisidanya tidak diberikan serampangan, yang membuat residunya bertahan lama di lahan pertanian dan kemudian juga masuk ke dalam tanaman padi secara massal.
Kesempatan emas juga didapatnya ketika dia bisa melanjutkan S2 di Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Tokyo, Jepang. Dia mengambil Bidang Kimia dengan kajian tentang pestisida di sana. Kesempatan baginya untuk mendalami pertanian dan bahan-bahan kimia di salah satu negara yang benar-benar memperhatikan pangan untuk masyarakatnya.
Jepang memang merupakan salah satu negara dengan perhatian yang sangat tinggi pada bahan pangannya. Para petani harus benar-benar menerapkan standar operasional prosedur (SOP) dalam menghasilkan bahan pertaniannya. Sebab, bahan pangan itu akan dikonsumsi oleh masyarakat secara luas dan berdampak sistemik bagi generasi berikutnya. Para petani yang bekerja juga harus menerapkan standar keamanan maksimal ketika menggunakan bahan-bahan kimia. Produksi pertanian seperti beras atau buah-buahan juga diperiksa kadar senyawa pestisida dan bahan kimia yang terkandung di dalamnya. Tidak serampangan.
Indra kemudian berkesempatan melanjutkan pendidikan doktornya di Tokyo Metropolitan University, Tokyo. Dia mengambil spesifikasi di Departemen Kimia Terapan. Sebenarnya dia ingin meneruskan di Tokyo University of Agriculture and Technology pada pendidikan S3-nya. Akan tetapi di sini tidak ada beasiswa untuk bidang pertanian atau agrikultur. Makanya dia pindah ke universitas lain dengan kajian yang agak berbeda, tetapi masih bisa berkaitan dengan dunia pertanian.
Kembali untuk Mengabdi
Sebenarnya dengan telah menempuh pendidikan S2 dan S3 di Jepang, tawaran dari Negeri Sakura dan beberapa negara lainnya berdatangan. Hanya saja, dia tidak ingin masa depan cerah yang sudah ada di depan mata itu hanya bisa dinikmatinya sendiri.
Dia prihatin dengan nasib masyarakat Indonesia yang bisa terancam jika mereka terus-menerus mengkonsumsi bahan pangan yang terpapar residu pestisida dengan jumlah banyak. Dari berbagai penelitian yang dilakukannya dan juga bahan bacaannya dari penelitian lain, residu pestisida yang ada pada padi petani di Indonesia mencapai 10 kali lipat lebih tinggi di ambang batas yang dibolehkan secara global.
Dia menyebut, petani Jepang sebenarnya masih menggunakan pestisida. Hanya saja, mereka sangat disiplin dalam menerapkan penggunaan pestisida kimia ini. Sehingga residunya tidak melekat pada tumbuhan dan tanah karena sudah tergerus oleh air dan mekanisme alam lainnya. Ini berbeda dengan mayoritas kinerja petani di Indonesia yang terlalu serampangan menggunakan pestisida. Mereka tak peduli pada dampak jangka panjangnya.
Hal inilah yang membuat Indra prihatin, dan akhirnya setelah berdiskusi panjang dengan istrinya, dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan mengabdi sebagai dosen di Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru. Dia juga kembali pada pembinaan petani di Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak untuk membina petani organik dengan produksinya beras aman. Dia tidak selesai pada sekadar tampil di acara talk show Kick Andy.
Berbeda dengan kondisi sebelumnya saat dia masih S1 yang semuanya murni organik tanpa pestisida, kali ini dia menyampaikan konsep organik dengan pestisida yang aman. Hal seperti itulah yang dilakukan para petani Jepang dan terbukti secara ilmiah relatif aman.
Selain menggunakan pestisida nabati dan mengembangkan penelitian tentang pestisida nabati ini, dia juga menyampaikan tentang pentingnya mengontrol dan mengawasi benar penggunaan pestisida ini. Sebab bahaya pestisida kimiawi ini banyak sekali. Tak hanya pada konsumen kelak, tapi juga pada petani sendiri.
Dalam praktiknya, para petani kerap menganggap remeh penggunaan bahan kimia ini dengan tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) saat bekerja. Mereka abai menggunakan masker, sarung tangan, baju lengan panjang, kacamata, sepatu bot, dan alat pelindung diri lainnya. Akibatnya banyak petani yang mengalami penyakit kanker dan sudah meninggal. Diduga akibat terpapar bahan kimia seperti ini dalam jangka waktu panjang.
Sebab kebiasaan petani adalah tidak menggunakan APD, lalu di tengah-tengah kesibukan itu tanpa membersihkan diri terlebih dahulu, tidak mencuci tangan dengan sabun, langsung mengambil rokok dan mengisap senyawa pestisida itu bersama-sama rokok. Atau mereka langsung makan tanpa mencuci tangan dan membersihkan diri terlebih dahulu. Sementara residu bahan kimia itu sudah menempel pada tangan, pakaian, dan tubuh mereka. Residu bahan kimia juga melekat pada tanah dan air di lahan pertanian.
Selama tahun 2022 hingga 2023 ini, Indra melakukan banyak penelitian di bidang pertanian. Setidaknya dia melakukan tiga penelitian di bidang pertanian, yakni pertanian padi dengan pestisida terkontrol, penelitian tentang menghilangkan pestisida dari tanah atau air yang terpapar, dan penelitian pestisida hayati dari ekstrak berbagai tanaman. Di antaranya daun rambutan. Selain daun rambutan, beberapa tanaman lokal juga memiliki kadar pestisida nabati yang bisa dikembangkan. Ada daun jambu, sungkai, tembakau, dan lainnya. Dia bahkan mengembangkan penelitian pestisida nabati ini dengan rekannya sesama ilmuwan yang ada di Prancis dan Mesir. Penelitian ini juga melibatkan laboratorium di Mesir karena tentang residu bahan kimia pestisida, di sana cukup lengkap.
Masa Depan Bangsa, Belum Menarik bagi Petani
Indra mengakui pertanian organik sepenuhnya yang relatif lebih aman bagi konsumen belum begitu menarik bagi petani. Sebab hasilnya tidak begitu memadai dibandingkan dengan pertanian menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Konsep beras aman yang ditawarkannya ini dapat menghasilkan 4 ton padi dalam satu hektare lahan.
Sedangkan pertanian konvensional dengan pestisida kimia penuh bisa menghasilkan 7 hingga 8 ton padi per hektare dengan varietas sama. Harga jualnya tentu akan berbeda. Disparitas harga ini belum dapat dipahami konsumen Indonesia secara umum.
“Masih kalangan terbatas yang mau menggunakan beras aman yang kami produksi. Sebab, harganya lebih mahal,” ujar Indra.
Padahal menurutnya masa depan bangsa dipertaruhkan dengan pangan penuh risiko ini. Residu bahan kimia pada produk pertanian akan berdampak luas pada masa depan bangsa. Dia mengingatkan bahwa pertanian organik dengan salah satu produknya beras aman ini merupakan masa depan pertanian Indonesia. Sebab selain mencukupi bahan pangan, diperlukan pangan yang sehat, dan ini sudah diberlakukan secara ketat di negara-negara maju seperti Jepang.
“Kita juga mengarah ke sana. Selain kuantitas produksi, kualitas pangan tak kalah penting,” ujar Indra.
Selain mengajak petani-petani lawas, dia juga mengajak anak-anak muda untuk berkiprah. Para petani milenial diimbau untuk juga turun ke sawah. Perlu diperbaiki mindset mereka. Petani tak selalu identik dengan kumuh dan orang tua. Kaum milenial juga bisa meretas masa depan yang baik di dunia pertanian. Dia juga berpesan kepada generasi Z dan kini telah berubah pula menjadi generasi stroberi untuk bisa berkiprah dengan kerja keras, agar memiliki masa depan yang lebih baik.
Jika gagal sekali, maka harus mengulang lagi sehingga tidak cepat putus asa. Generasi stroberi sekarang justru ditandai dengan sikap pragmatis, ingin cepat, instan, malas-malasan, dan usaha yang ringan.
“Padahal kalau kita ingin masa depan cemerlang, maka usaha harus dilakukan dengan keras. Termasuk para petani milenial yang juga harus menunjukkan kiprahnya untuk sekarang dan masa depan,” ujar Indra.
Ketua Kelompok Tani Sri Tanjung Mulia, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Kasmijan, mengakui bahwa pertanian organik dengan beras sehat yang diproduksinya bersama Indra Purnama dan rekan-rekannya bermanfaat bagi mereka. Dia sudah menyadari penuh tentang bahaya residu bahan kimia, terutama dalam pestisida.
Mereka pun sudah berusaha menggunakan pupuk kompos atau pupuk organik lainnya. Demikian juga, mereka sudah terbiasa menggunakan pestisida nabati dari bahan tembakau, sirih, nangka, sirsak, dan lainnya. Kelompok tani yang berjumlah 25 orang ini juga sudah memiliki konsumen khusus untuk padi aman yang mereka gunakan. Hanya saja beras dengan jenama Beras Aman Basila ini belum bisa dipasarkan secara umum. Sebab harganya memang relatif mahal. Mereka menjual Rp20 ribu per kg dan jika dalam skala besar bisa Rp16 ribu per kg. Sementara beras konvensional dengan varietas logawa misalnya, harganya Rp10.500 hingga Rp11 ribu per kg, dan varietas inpari Rp12 ribu per kg. Jadi lebih murah dan lebih diminati konsumen.
“Kebanyakan beras aman ini saya konsumsi sendiri karena saya tahu lebih aman bagi kesehatan. Atau bisa juga diberikan kepada keluarga terdekat,” ujar Kasmijan.
Setidaknya, dengan adanya pembinaan ini, mereka sudah saling mengingatkan di antara para petani sendiri, terutama ketika menggunakan bahan pestisida kimia. Sebab mereka selalu tahu risikonya. Hanya saja, memang terkadang petani masih abai menggunakan alat pelindung diri ini. Sebenarnya, petugas penyuluh lapangan (PPL) juga sudah mengingatkan tentang pentingnya menggunakan APK. Sekarang biasanya mereka selalu memakai masker, topi, dan baju panjang. Hanya saja kacamata dan sepatu bot sering tidak.
“Kalau dulu bahkan tidak ada pakai apa-apa sama sekali. Pakai masker pun tidak,” ujarnya terkekeh.***
Editor: E Sulaiman