Apa yang dibayangkan dari wilayah pedalaman? Apalagi minimnya fasilitas yang jauh dari peradaban modern. Kebanyakan orang cuma merindukan alam, bukan untuk bertugas. Apalagi menjalani sisa hidup. Namun tidak bagi Samsul Bahri, guru SDN 10 Lukun di Dusun Keridi Desa Batin Suir, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti.
SELATPANJANG (RIAUPOS.CO) -- Menetap di Selatpanjang, pusat kabupaten, Samsul dan beberapa guru lain terpaksa bolak-balik dari laut ke sungai, bang. "Memang tidak terpikir ketika itu tiba-tiba saja insting saya perintah langsung terjun setelah beberapa orang guru di atas perahu menjerit ketakutan saat perahu oleng," ungkapnya.
Kondisi yang sama tidak jarang dialami ketika dia dan beberapa orang guru menuju ke sekolah, maupun pulang. Bahkan ketika ombak tinggi datang, mereka sering merapat ke panglong (rumah tempat membuat arang) terdekat. "Seperti tadi pagi (kemarin, red), hampir satu jam kami merapat ke panglong yang ada di pinggir sungai, karena itu gelombang tinggi," ujarnya.
Jika harus melalui jalur darat, memerlukan waktu hampir tiga jam lamanya karena harus memutar. Perahu milik kepala sekolah. Tambat dan berangkat dari pelabuhan Desa Banglas Barat, Selatpanjang. Sama halnya diceritakan kepala sekolahnya, Suardi. Perahu tersebut dibelinya menggunakan uang pribadi seharga Rp8 juta. Tak jarang mereka membuka perbekalan dan makan bersama, karena tidak ada kesempatan bagi mereka untuk sarapan di rumah. Dikatakan Suardi, kapal pompong miliknya itu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju ke tempat mengajar.
"Kalau pompong ini rusak, kami bersama para guru dipastikan tidak bisa pergi mengajar, karena ini merupakan satu satunya transportasi menuju ke sana," kata Suardi.
Selama mengabdi, banyak suka duka pria yang menjadi guru sejak 1988 ini. Mulai dari perahunya tenggelam, mesin rusak di tengah perjalanan, sampai dengan kipas perahu tersangkut sampah yang berada di dasar sungai.
"Apalagi kalau kipas perahu tersangkut, terpaksa saya sendiri dan guru laki-laki yang menyelam ke bawah dasar sungai," kata Suardi.
Hambatan perjalanan menuju sekolah tempat mendidik anak-anak Suku Akit. Tidak sampai di situ, setelah menyusuri sungai yang ditempuh selama sejam, perjalanan panjang sudah menanti dengan kondisi jalan berlumpur yang membenamkan hingga di atas mata kaki. Agar bisa melewati jalan tersebut, mereka juga harus melepas sepatu dan menyingsingkan celana mereka hingga ke lutut. "Kalau sepatu tidak dilepas, tidak bisa jalan karena lengket oleh lumpur tanah liat. Tidak ada base ataupun semenisasi, hanya tanah liat yang berlumpur," ujarnya.
Perjuangan kepala sekolah yang sudah mengabdi sejak tahun 1996 ini tidak hanya saat menuju sekolah, lahan seluas 3.240 meter persegi tempat sekolah ini berdiri pun dibelinya seharga Rp250 ribu pada tahun 2000 silam. Suardi mengungkapkan, sebelum mengajar di SDN 10 Lukun, Desa Batinsuir, ia mengajar di SDN 6 Desa Lukun, Kecamatan Tebingtinggi Timur. Namun, saat itu ia mendengar jika desa tetangga, Desa Batinsuir tidak memiliki guru dan sekolah untuk mengajar membaca, menulis dan menghitung bagi anak-anak Suku Akit.
"Saat saya mengajar dulu, tanah ini sengaja saya beli untuk dibangun sekolah agar anak-anak di sini bisa bersekolah. Pembangunannya kami ajukan proposal saat menjadi bagian Kabupaten Bengkalis tahun 2002. Kalau tidak kami di sini siapa lagi. Tidak ada yang sanggup bertahan mengajar di sini," ungkap Suardi.
Walaupun demikian ia mengaku jika pihaknya masih berharap besar dukungan dari pemerintah daerah.
"Mudah-mudahan dengan ini, pemerintah daerah bisa lebih memberikan perhatian dari sebelum-sebelumnya," ujarnya.***
Laporan: WIRA SAPUTRA