Hutan dan lahan yang terbakar, juga dibakar, serta kini menimbulkan bencana kabut asap yang dahsyat dan panjang, ternyata bukan terjadi begitu saja. Ada ajang bisnis di dalamnya, ada transaksi licik mendapatkan lahan, mulai dari mengklaim, menggerakkan penggarap dan pembakar, lalu menjualnya!
Itulah bagian yang terungkap dari laporan di laman BBC Indonesia, yang ditulis wartawannya Isyana Artharini, akhir September lalu. Di tengah musibah bencana jerebu yang kini kian parah menyerbu, informasi yang disampaikannya patut kita baca lagi untuk dapat memberi pencerahan kepada kita tentang lika-liku permainan terkait hutan dan lahan di Riau yang dampak negatifnya berulangkali mendera masyarakat.
Berikut petikan lengkap laporannya yang aslinya berjudul ‘’Siapa ‘Aktor’ di Balik Pembakaran Hutan dan Lahan?’’ itu:
ADA sedikitnya 20 aktor yang terlibat di lapangan dan mendapat keuntungan ekonomi dari pembakaran hutan dan lahan. Sebagian besar dari jaringan kepentingan dan aktor yang mendapat keuntungan ekonomi ini menyulitkan langkah penegakan hukum.
Aksi pemerintah memenjarakan atau menuntut individu serta perusahaan yang diduga membakar lahan tak akan cukup untuk mencegah kabut asap berulang.
Fakta dan kesimpulan ini terungkap dalam penelitian tentang ’Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan’ dari peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo.
Kerumitan di lapangan, menurut Herry, terjadi karena para pelaku pembakar hutan, baik masyarakat maupun kelas-kelas menengah dan perusahaan selalu berhubungan dengan orang-orang kuat, baik di tingkat kabupaten, nasional, bahkan sampai tingkat ASEAN.
"Tidak mudah bagi bupati yang akan menuntut (pembakar hutan), bisa jadi yang punya (kebun) kelapa sawit, membakar hutan, berhubungan dengan partai tertentu yang kuat di daerah, sehingga bupati atau gubernur tidak gampang juga (bertindak), harus melihat konstelasi politik," kata Herry pada BBC Indonesia, Rabu (23/9).
Aktor-aktor tersebut, berdasarkan hasil penelitiannya, bekerja seperti bentuk "kejahatan terorganisir".
Ada kelompok-kelompok yang menjalankan tugas berbeda, seperti mengklaim lahan, mengorganisir petani yang melakukan penebasan atau penebangan atau pembakaran, sampai tim pemasaran dan melibatkan aparat desa.
Namun tak hanya di tingkat pusat, pemilik lahan bisa saja kerabat penduduk desa, staf perusahaan, pegawai di kabupaten, pengusaha, atau investor skala menengah dari Jakarta, Bogor, atau Surabaya.