Sudah enam ekor gajah dilaporkan tewas di Kabupaten Pelalawan dalam tiga bulan terakhir. Tiga di antaranya berasal dari kawasan Hutan Tesso Nilo. Apa yang melatarinya?
(RIAUPOS.CO) - Udara Selasa (20/6) pagi itu cerah. Matahari bersinar benderang, namun tidak terlalu terik menusuk kulit. Dari balik rimbun pepohonan, beberapa akor satwa berbelalai panjang, gajah sumatera keluar menampakkan diri.
Sesekali terdengar suara kecil mereka mempermainkan belalai saat mahout (pawang gajah) yang ada di pungguknya mengajak mereka bercengkerama. Houuuuf...houuf..pr..pr... Tak ada rasa cemas, walau saat itu Riau Pos berada di perlintasan gajah liar dan harimau sumatera yang jaraknya berkisar satu kilometer dari camp World Wide Fund for Nature (WWF). Keberadaan satwa besar itu seakan menjadi pelindung yang menjadi tameng keberanian.
Sambil berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang kini sudah bisa dilalui kendaraan bermotor roda empat, Iwan, salah seorang mahout bercerita tentang kondisi kawasan hutan seluas 83.068 hektare tersebut. Termasuk pengalamannya sebagai pawang gajah serta pertemuan dengan makhluk buas seperti harimau.
"Sudah dua kali ketemu, yang pertama sekali harimaunya besar, saat saya sedang memandikan gajah di sungai, satunya lagi relatif lebih kecil. Terpantau dan langsung melintas dari badan jalan ketika berpapasan. Memang mengerikan, tapi inilah tugas kami," kata Iwan saat beristirahat tidak jauh dari menara pemantau kebakaran hutan yang terletak di depan kantor milik pengelola TNTN.
Perlintasan yang dilalui gajah sumatera, baik liar maupun gajah yang sudah dijinakkan dijelaskan Iwan persis sama. Bila gajah yang telah dijinakkan yang saat ini dikelola oleh Flyng Squad WWF memanfaatkan rute yang telah dibuat oleh gajah-gajah liar selama berpuluh tahun lalu, harimau atau yang lazim disebut "datuk" oleh para warga di sekitar.
Patroli Gajah
Saat berkunjung ke Flying Squad WWF, para mahout sedang bersiap-siap untuk melakukan patroli mengitari kawasan hutan. Kendaraan yang digunakan bukanlah mobil atau kendaraan roda dua layaknya mototrail atau sejenisnya, melainkan gajah.
Riau Pos memang sudah memberitahukan rencana kedatangan ke lokasi konservasi gajah tersebut beberapa hari sebelumnya. Sehingga, kesempatan langka untuk bisa menelusuri jejak perjalanan gajah di dalam areal kawasan hutan Tesso Nilo menjadi momen berharga.
Indro, gajah jantan bergading panjang berusia 30 tahun, memimpin sebanyak tujuh ekor gajah memasuki rimbunnya tutupan kawasan hutan yang sebagian dulu sempat berbatasan dengan kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) beberapa industri di sektor kehutanan.
Indro memang tergolong unik, walau usianya lebih muda dibandingkan gajah jantan lainnya seperti Rahman yang berusia sekitar 32 tahun. Namun dia tetap berada di depan. Menurut Pikri, mahout yang menjadi pawangnya, Indro memang tidak suka berada di bagian belakang dan memang mempunyai kebiasaan berada di depan tanpa ada gajah lain yang menghalangi. Bila ada yang di depannya, Indro cenderung marah.
Kondisi tersebut, diakui Junjung. Menurutnya sudah menjadi hal yang lumrah saja bagi kawanan gajah jantan dewasa. Itu sebagai pertanda dia gajah dewasa dan siap memimpin. Begitupun, memang ada beberapa hal yang unik dari Indro. Salah satunya dia memang tidak suka dilihat hadap-hadapan dengan gajah lainnya.
Hampir dua jam perjalanan menyusuri kawasan hutan dengan populasi flora dan fauna paling lengkap dari seluruh taman nasional yang ada di Indonesia ini. Bukan hanya gajah dewasa, juga ikut dalam rombongan patroli gajah ini Imbo, gajah berusia 1,5 tahun yang namanya diberikan oleh duta WWF untuk gajah, Nadine Chandrawinata.
Imbo berjalan persis di belakang Indro. Sementara di belakangnya, sang induk, Lisa (30 tahun). Langkah kecil Indro serta polah malas-malasan yang dia lakukan tak jarang membuat sang induk merasa terganggu karena kesulitan melintas. Beberapa kali Lisa mengeluarkan suara memecah keheningan hutan yang di dalamnya masih terlihat bekas-bekas tebangan liar tersebut.
Namun, disanalah letak ketangguhan dari kawanan gajah ditempa. Menurut Junjung, Koordinator mahout WWF, semakin sering berjalan, semakin jauh, anak-anak gajah seusia Imbo akan semakin bagus kesehatannya. "Seperti orang berolahraga, sehabis olahraga, biasanya tubuh segar. Begitu jugalah Imbo. Jadi, tak heran bila kemudian setiap melakukan patroli, anak-anak gajah seperti Imbo, Nela, Teso selalu diikutsertakan. Memang, yang paling kecil sekarang ini Imbo ini," papar Junjung.
Patroli gajah yang dilaksanakan pada dasarnya merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh WWF bersama gajah-gajah di flying squad. Sepekan, biasanya dilaksanakan dua kali dan biasanya pada rute-rute berbeda. Tujuannya selain untuk mengontrol keberadaan gajah-gajah liar di dalam kawasan hutan, juga untuk memastikan adanya temuan-temuan baru terhadap kondisi kawasan hutan seperti aktivitas illegal logging, kematian satwa atau temuan jenis-jenis satwa langkah yang menjadi penghuni kawasan hutan ini.
Pikri yang menjadi mahout Indro "gajah yang Riau Pos tumpangi" menyebutkan, sering melalui patroli ini terdeteksi temuan gajah mati atau jenis satwa lain yang selama ini belum terpantau. Meski begitu, selalu, selama proses patroli berlangsung, ada-ada saja temuan, misalnya, jejak kaki tapir, babi hutan, burung-burung.
Namun, kebanyakan yang dinantikan adalah menyusuri kebedaan gajah-gajah liar yang mendiami hutan Tesso Nilo. "Mungkin karena konsentrasi kita untuk gajah, sehingga, kadang kita berharap bisa menemukan populasi gajah di kawasan ini," jelas Pikri.
Data yang dikeluarkan pengelola Balai TNTN, sebagaimana disampaikan Kepala Balai, Kuppin Simbolon, saat ini populasi gajah sumatera di wilayah Riau masih tergolong besar. Khusus untuk di TNTN sendiri, setidaknya pihaknya memperkirakan ada 90-100 ekor gajah.
Gajah-gajah itu sering muncul, namun tidak hidup dalam satu kelompok besar. Data yang diperoleh dari pemantauan WWF, sebut Kuppin, ada beberapa kelompok, ada yang jumlah satu kelompoknya mencapai 25 ekor, 20 ekor, 15 ekor, 10 bahkan 5 ekor.
"Karena punya beberapa komunitas, biasanya saat patroli, sering berpapasan, termasuk dengan gajah-gajah tunggal. WWF sendiri pernah melaporkan menemukan kawanan gajah dengan jumlah mencapai 25 ekor di sepanjang Sungai Tesso Nilo,"sebut pejabat yang baru bertugas mengepalai balai TNTN dua bulan terakhir ini.
Rute yang ditempuh saat Riau Pos menyusuri kawasan hutan tersebutsebenarnya termasuk rute pendek. Karena, biasanya bila rutenya panjang, setidaknya perlu waktu lebih dari lima jam berada di dalam kawasan hutan. Kondisi tersebut hampir memakan waktu sama bila terjadi konflik termasuk mengusir gajah ke dalam kawasan.
"Kalau masuknya pagi, pulangnya bisa petang. Tapi yang pasti, walau melintasi jalan-jalan setapak milik gajah, tetap saja, tidak pernah nyasar atau salah jalan," timpal Junjung.
Gajah memang termasuk satwa unik. Tidak saja bertubuh besar dan mempunyai fisik yang kuat, karena bisa menjelajah sejauh ratusan kilometer per hari, binatang berbelalai yang oleh WWF sudah ditingkatkan status kelangkaannya menjadi "Kritis" ini juga punya insting yang kuat tentang rute atau home range yang dia lalui. "Sekali melintas, mereka bisa mengenali kawasan tersebut walau telah ditutupi oleh rimbunnya tutupan hutan," jelas Junjung.
Riau Pos mencoba mengamati hal tersebut dari perilaku Indro saat membuka jalan yang telah tertutup semak belukar yang sepintas oleh kasat mata terlihat sudah mentok atau buntu. Ternyata, setelah dilalui, terlihat jelas tapak-tapak jalan yang sudah pernah dilintasi tersebut.
Hanya saja, terkadang, dikarenakan luasnya kawasan hutan, tidak setiap saat bisa menemukan kawanan gajah liar. Sama halnya dengan ketika rombongan Riau Pos melintasi rute singkat perlintasan gajah sumatera. "seperti kawanan yang 20 ekor, dari beberapa kali penelusuran kita, biasanya melintas di Desa Lubuk Kembang Bunga hanya sekali setahun. Sekarang mungkin saja ada di Baserah tau lokasi lain," papar Junjung.
Terluas, Terlengkap
Taman Nasional Tesso Nilo awalnya memiliki luas sekitar 38.576 hektare. Melalui Keputusan Menhut nomor 663/Menhut-II/2009 Kawasan yang sebelumnya berstatus Hutan Produksi Terbatas yang meliputi wilayah Pelalawan dan Indragiri Hulu mengalami perluasan hingga menjadi 83.068 hektare.
Sebagai kawasan hutan, Tesso Nilo dianggap sebagai salah satu kawasan hutan yang punya keanekaragaman hayati sangat lengkap baik flora maupun fauna. Data terakhir yang dimiliki Balai TNTN, sebagaimana dijebutkan Kepala TNTN, Kuppin Simbolon, ada sekitar 360 jenis tumbuhan per hektare tergolong dalam 165 marga dan 57 suku. Di kawasan ini, juga ditemukan tak kurang 82 jenis tanaman obat, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang dan serangga. Sehingga, tak heran bila menelusuri kawasan hutan ini, akan terdengar keras di manapun derik suara serangga dari balik rerimbunan pepohonan.
Untuk satwa besar, selain gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), juga ada harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), ungko (Hylobates agilis) beruang madu (Helarctos malayanus), macan dahan (Neofelis nebulosa), tapir (Tapirus indicus).
Meski sulit terlihat, namun, sejumlah warga mengaku sering melihat keberadaan mahkluk hidup tersebut ketika masuk ke dalam kawasan hutan maupun saat melintas di sekitar pemukiman masyarakat yang mengepung hutan Tesso Nilo. "Di sekitar kawasan ini ada 22 desa, beberapa diantaranya berada di dalam kawasan dan bahkan ada yang berada di tengah sehingga membelah hutan," ujar Kuppin.