Angkat Budaya Melalui Pendidikan
Haryono mengakui, sudah sangat sulit mengangkat kembali budaya, tradisi dan kearifan lokal masyarakat Suku Laut. Banyak budaya yang pelan-pelan tergerus. Bahasa salah satunya. Bahkan menggerakkan kembali Orang Laut untuk berbahasa asli mereka pun tak tanggung sulitnya.
Setelah generasi tua tak bisa lagi dibangkitkan kebanggaan berbahasa Suku Laut-nya, maka generasi muda adalah sasaran berikutnya. Menjaga generasi berikutnya agar tak melupakan bahasa mereka dianggap jauh lebih penting. Cara terbaik adalah dengan pendidikan.
"Dengan memasukkannya pada program pendidikan, maka kita bisa menyelamatkan generasi muda dan identitas Orang Laut," ujar antropolog Universitas Riau ini.
Pihaknya berhasil meyakinkan Dinas Pendidikan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) dan Provinsi Riau untuk membuat mata pelajaran muatan lokal ini. Mata pelajaran itu sudah mulai diterapkan sejak tahun 2017. Dandi adalah salah satu siswa angkatan pertama di SMA 1 Concong. Saat ini, selain kurikulum, juga sudah ada buku ajar, buku referensi, silabus, LKS, kamus, dan perangkat pembelajaran lainnya.
Sebenarnya ada tujuh kecamatan yang dihuni komunitas ini di Inhil. Concong, Kuindra, Mandah, Kateman, Sungai Batang, Kuala Enok, dan Kuala Patah Parang. Hanya saja, baru di Concong bisa dibuat mata pelajaran ini. Keterbatasan anggaran dan guru jadi penyebab.
Guru? Ya, kendati merupakan Orang Laut, banyak juga guru-guru di sana yang tidak menguasai bahasa Suku Laut. Mereka harus dilatih lagi, diberikan wawasan, dan pemahaman tentang budaya dan bahasa Suku Laut. Proses ini tentu memakan waktu. Kecamatan Concong yang menjadi pilot project dianggap berhasil dan akan diteruskan pada sekolah di kecamatan lainnya. Ditargetkan pada 2019 ini semua kecamatan di Inhil sudah terealisasi. Pada 2020, ditargetkan ada lomba bahasa dan budaya Suku Laut antarsiswa tingkat Kabupaten Inhil.
"Rencana atau road map ini tentu tak bisa dijalankan sendiri. Tergantung Dinas Pendidikan juga," ujar lulusan Magister Antropologi Universitas Negeri Padang ini.
Pada 2020 pihaknya akan menyusun pula buku yang berisi aksara Suku Laut. Dari kajian antropologi, pihaknya telah menemukan belasan prasasti lama Suku Laut. Prasasti itu berisi aksara Suku Laut yang berbeda dengan aksara Latin. Aksara itu nantinya akan diajarkan juga di kalangan siswa. Dimulai dari para guru. Sejauh ini, hampir tidak ada yang bisa membaca aksara Suku Laut itu.
Prasasti berisi aksara Suku Laut ini kebanyakan terbuat dari kayu. Biasanya berisi mantera. Yang terlama ditemukan ditulis tahun 1930-an. Yang lebih tua dari itu diperkirakan sudah musnah termakan usia. Ada juga yang terbuat dari kertas, tapi sudah ditulis dengan aksara Latin. Prasasti-prasasti itu banyak ditemukan pada bekas-bekas sampan Orang Laut. Ada juga di dinding-dinding rumah. Selain mantera, ada juga isinya berupa petunjuk melaut, waktu pantang larang melaut, arah angin, dan kebiasaan tua lainnya dalam tradisi Orang Laut.
"Ya, semacam primbon pada orang Jawa atau pelangkah bagi orang Melayu," ujar Haryono.
Sebagai para pelaut tangguh di masanya, orang-orang Suku Laut tentunya memiliki tradisi yang kuat. Inilah yang tergambar dari prasasti yang sudah ditemukan. Pihaknya sedang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Riau untuk membuat replika prasasti itu agar tidak musnah.
"Sebab, kondisinya banyak yang rapuh karena termakan usia," ujar dosen Universitas Riau ini.***