Suku Laut yang Digerus Musim

Feature | Senin, 30 Januari 2023 - 00:53 WIB

Suku Laut yang Digerus Musim
Kondisi rumah di Desa Kuala Selat dengan pelantar papan, beberapa waktu lalu. (MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS.CO)

Sejak ratusan tahun lalu, orang Suku Laut bergantung pada hasil laut. Tapi laut pula yang memporak-porandakan kehidupan mereka. Musim utara dan perubahan iklim membuat kehidupan mereka berubah, bahkan terancam punah ranah.

Laporan MUHAMMAD AMIN, Kuala Selat

AIR pasang rob terus saja naik. Syamsuri (40) terus pula memperhatikan air yang meninggi tidak biasa ini. Sebab, belum ada tanda-tanda air berhenti naik dari garis pantai. Padahal rumahnya berada 50 meter dari bibir pantai. Rumahnya juga memiliki tongkat alias berpanggung setinggi 1,5 meter. Tapi semuanya seakan tidak berarti. Laut tempatnya dibesarkan dan kawasan kehidupan leluhurnya itu terus saja mengirimkan air hingga mulai menyentuh rumahnya. Air laut memang naik dengan pelan sejak pukul 12.00 WIB, Rabu (25/1). Beruntung tidak ada hantaman gelombang hari itu.

“Kalau disertai hantaman gelombang, hancur sudah rumah kami,” ujar Syamsuri.

Air pasang rob baru berhenti naik pada sekitar pukul 15.00 WIB dan kemudian berangsur surut. Laut sempat menggenangi lantai papan rumahnya setinggi sekitar 10 cm. Beberapa rumah tetangganya yang  lebih rendah bahkan terendam hingga 30 cm hingga setengah meter.

Rupanya, pasang rob hari itu memang luar biasa. Tak hanya merendam kawasan-kawasan yang lazim terendam seperti di Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, tempat Syamsuri ini, banjir rob juga melanda ibu kota Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Tembilahan. Nyaris semua kawasan di Tembilahan terendam air. Bahkan rumah dinas Bupati Inhil, Muhammad Wardan terendam air laut sedalam betis orang dewasa.

Banjir rob atau kerap juga disebut pasang keling kali ini terjadi pada tanggal 3 hari bulan. Tiap bulan memang ada jadwal air pasang, yakni pada tanggal 15 hari bulan dan 1 hari bulan. Biasanya berlangsung tiga hingga empat hari, 14, 15, 16, 17, dan 1, 2, 3, 4 hari bulan. Biasanya tidak setinggi ini. Syamsuri sendiri sudah 12 tahun tinggal di tempatnya sekarang dan baru kali ini ada pasang rob setinggi ini. Yang lebih dikhawatirkan dia sebenarnya bukan pasang rob saja, tapi masa musim utara yang belum selesai. Musim utara paling dikhawatirkan nelayan dan mereka yang tinggal di pesisir. Musim utara terjadi pada Desember hingga Februari setiap tahun. Musim lainnya yang juga mengerikan adalah musim tenggara pada Agustus hingga September. Biasanya gelombang musim utara ini terjadi pada siang hari, sehingga “tsunami kecil” ini tidak serta merta menyeret manusia ke laut. Mereka masih bisa memprediksi dan menyelamatkan diri. Tapi sisanya sudah diseret laut. Rumah, pelantar, kebun, lapangan sepakbola, mangrove, tanggul, semuanya pernah dihantam gelombang musim utara yang ganas.

“Besok dan beberapa hari ke depan kami harus terus berjaga-jaga. Mudah-mudahan tak ada gelombang musim utara,” ujarnya berharap.

 

Orang Laut yang Naik ke Darat

Syamsuri merupakan satu dari sedikit orang Suku Laut di Desa Kuala Selat. Dia bahkan termasuk ras murni orang Suku Laut di Kuala Selat. Kenapa ras murni? Sebab, orang Suku Laut di Kuala Selat sudah banyak yang berakulturasi, kawin campur dengan puak lainnya di Kuala Selat. Hanya ada lima kepala keluarga (KK) asli dari Suku Laut yang tersisa di Kuala Selat. Mereka adalah Syamsuri, Bujang, Keti, Nakom, dan Musa. Kelimanya menikah dengan sesama orang Suku Laut. Salah satu yang terjaga dari keaslian orang Suku Laut adalah bahasa Suku Laut. Adapun jika sudah bercampur dengan yang lainnya, biasanya bahasa mereka tidak akan diturunkan ke anak cucu. Banyak yang merasa malu dan sungkan menggunakan bahasa Suku Laut ini. Makanya, pelan-pelan bahasa ini pun punah karena kehilangan penuturnya.

“Kalau saya tidak malu menggunakan bahasa Suku Laut. Saya tetap ajarkan ke anak-anak saya dan kami gunakan juga sehari-hari,” ujar Syamsuri, yang juga ketua RT 02, Dusun I Hidayah, Desa Kuala Selat ini.

Kendati dalam hal berbahasa, beberapa orang Suku Laut masih bisa bertahan, tapi dalam cara hidup tidak lagi. Orang Suku Laut dulunya tinggal di tengah laut dengan jarak lima hingga enam kilometer dari bibir pantai. Kebanyakan laut di Inhil memang dangkal. Pada jarak tiga kilometer dari bibir pantai, beberapa kawasan hanya berkedalaman satu meter, sehingga jika tidak paham, banyak kapal yang kandas. Pada jarak lima kilometer dari bibir pantai, kedalaman laut bisa jadi hanya empat hingga lima meter saja. Mereka pun bisa mencacakkan tiang pancang untuk membuat rumah di tengah laut itu.

Di masanya sejak tahun 1975 hingga tahun 2000-an, orang Suku Laut tinggal di perairan Kuala Selat ini. Mereka beranak pinak dan bercucu piut di atas rumah panggung di tengah laut. Mereka sudah terbiasa dihantam ombak badai musim utara dan tenggara. Ada puluhan kepala keluarga yang tinggal di rumah-rumah bertiang pancang orang Suku Laut di masanya.

Saat masih tinggal di laut, mereka dipimpin seorang pemuka suku yang kharismatik bernama Mato Lani. Mato pula yang mewariskan kegigihan masyarakat Suku Laut, mulai cara hidup, tingkah laku, bahasa, bahkan sastra dan senandung Suku Laut. Banyak warisan budaya Suku Laut yang mereka pelihara di komunitas ini selama bertahun-tahun. Bahkan dalam menangkap ikan pun mereka memiliki ciri khas sendiri.

Mereka memiliki tempat favorit yang justru sangat menantang, yakni di perairan Tanjung Datuk. Bahkan di waktu-waktu paling berat yakni musim utara, ikan yang didapat justru paling banyak. Mereka bisa istirahat panjang jika baru melaut dari perairan Tanjung Datuk. Tapi jika pun sedikit “malas” berlayar jauh, mereka tinggal mengambil ikan di laman rumah mereka yang sudah dipasang bubu atau belat. Ikan yang diambil dari bubu ini cukup untuk sekali makan. Setelah dipasang kembali dengan umpan, ikan yang masuk ke bubu juga kembali akan penuh pada jam makan berikutnya. Kehidupan yang begitu simpel.

Sampai sebuah tsunami kecil menghantam rumah-rumah mereka. Tentu bukan tsunami akibat gempa tektonik apalagi vulkanik. Gelombang besar ini hanya terjadi karena musim utara yang kali ini tidak terduga besarnya. Perubahan iklim menyebabkan gelombang musim utara berubah dari setinggi rata-rata dua hingga tiga meter menjadi empat hingga lima meter. Bahkan bisa mencapai enam meter. Gelombang itulah yang kemudian menghancurkan rumah-rumah orang Suku Laut. Beberapa kali mereka pindah ke tempat yang lebih dangkal hingga akhirnya mereka pun menyerah pada musim utara yang terus menggerus fondasi rumah dan kehidupan laut mereka.

Pada tahun 2005, Departemen Sosial RI membangunkan rumah-rumah baru bagi komunitas Suku Laut ini. Orang Laut atau dalam bahasa lain Orang Kuala, juga disebut masyarakat Suku Duanu, diidentifikasi sebagai komunitas adat terpencil (KAT) di masa itu. Ada 55 kepala keluarga (KK) yang dipindahkan ke tempat baru ini. Mereka pun akhirnya mengakhiri kehidupan di laut dan tinggal sepenuhnya di darat.

Di tempat baru, mereka membentuk komunitas baru dan tatanan hidup yang juga baru. Bisa dikatakan, warga pertama Desa Kuala Selat adalah orang-orang Suku Laut ini. Mereka dipindahkan sudah jauh dari garis pantai, sekitar 2 km. Tapi tentu saja kehidupan dari laut masih mereka lakukan. Mereka masih terus berlayar dan mencari ikan, memasang belat dan juga gumbang yang lebih besar.

Di beberapa tempat lainnya, mereka juga mencari kerang. Terkadang, mencari kerang laut lengkap dengan dendang Suku Laut. Mereka menggunakan papan seluncur dengan aktivitasnya yang disebut menongkah. Jika air mulai surut, aktivitas menongkah kerang pun dimulai. Mereka memungut kerang, sambil berseluncur dan berdendang.

Sejak pindah ke darat, orang-orang Suku Laut mulai berinteraksi dengan masyarakat lainnya secara intensif. Di darat, masyarakat berkebun kelapa atau komoditas lainnya. Ada orang Melayu, Bugis, Banjar, Minang, hingga Tionghoa. Seiring waktu, interaksi antarpuak pun makin intensif. Bahkan terjadi nikah campuran antara orang Suku Laut dengan masyarakat dari puak lainnya. Cara kehidupan masyarakat Suku Laut pun berubah. Mereka tak hanya hidup dan berinteraksi dengan laut, tapi juga pekerjaan di darat.

“Kami sudah mulai berkebun juga. Hanya saja kebanyakan sebagai buruh,” ujar Suri, panggilan akrab Syamsuri.

Saat ini, kehidupan masyarakat Suku Laut bisa dikatakan serbaprihatin. Mereka tidak lagi memiliki peralatan tangkap ikan dan perahu yang memadai. Keahlian mereka melaut justru dimanfaatkan masyarakat lainnya. Para tauke yang bermodal besar menjadikan mereka anak buah kapal (ABK) untuk berlayar di laut lepas.

 

Abrasi yang Menggerus Peradaban

Syamsuri masih mengenang kehidupan masa kecilnya di laut sebelum mereka pindah ke darat, yang relatif jauh dari garis pantai. Masa kecil hingga remajanya dihabiskan di laut. Kini, semua kehidupan laut itu telah berubah. Hak hidupnya yang paling asasi telah hilang. Bahkan hak mereka secara komunitas pun telah pelan-pelan tergerus. Tak ada lagi kehidupan di atas laut.

Apakah masalahnya selesai dengan kepindahan mereka ke darat? Ternyata tidak. Syamsuri yang merupakan generasi baru orang Suku Laut tak lagi tinggal di perumahan yang disiapkan pemerintah di awal. Dia memiliki rumah baru yang dibuatnya 12 tahun lalu, sekitar 400 meter dari garis pantai. Tapi abrasi yang parah terus-menerus terjadi. Hempasan gelombang menyebabkan pengikisan dan keruntuhan tanah. Garis pantai pun sedikit demi sedikit bergerak ke darat. Rumah, masjid, lapangan sepakbola, permakaman, kebun, tak sedikit yang sudah hilang digerus air.

“Setelah 12 tahun, rumah saya tinggal sekitar 50 meter dari garis pantai. Padahal dulunya waktu dibuat masih 400 meter,” ujar Syamsuri.

Kecemasan pun meliputi orang-orang Kuala Selat, termasuk masyarakat adat Suku Laut. Mereka sudah benar-benar kehilangan identitas sebagai orang laut. Para penutur bahasa Suku Laut mulai meninggal. Di antaranya pemimpin kharismatik mereka, Mato Lani, beberapa tahun lalu. Anak-anak muda pun banyak tidak paham atau tak diajari bahasa suku ini. Kehidupan di atas laut pun tidak lagi mereka miliki.

Sebenarnya, di Kabupaten Inhil masih ada komunitas Suku Laut yang tinggal di atas laut dengan rumah-rumah bertongkat itu. Mereka antara lain tinggal di Desa Bekawan, Kecamatan Mandah, dan Desa Concong Luar, Kecamatan Concong. Tapi di Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman ini, kehidupan tinggal di laut seperti akan tinggal cerita. Hanya kenangan belaka. Gelombang musim utara telah benar-benar merampasnya.

“Malah kami yang terus dikejar air dan harus makin naik ke darat,” ujarnya.

Parahnya abrasi juga disampaikan penduduk Kuala Selat lainnya Bakhtiar. Kepala Dusun I Hidayah ini menyampaikan, dalam setahun, abrasi di Kuala Selat mencapai 20 hingga 30 meter. Beberapa wilayah bahkan bisa mencapai 40 meter abrasi dalam setahun.

“Saya sudah tiga kali pindah rumah karena rumah-rumah sebelumnya terkena abrasi dan tidak bisa diselamatkan lagi,” ujar Bakhtiar.

Pada umumnya, masyarakat Kuala Selat yang tinggal dekat dengan pantai hidup di atas rumah bertongkat. Selain rumah, ada juga pelantar atau tempat berjalan menuju fasilitas bersama, misalnya dermaga kapal, masjid, atau tempat penjemuran ikan. Semuanya ditopang tiang-tiang pancang setinggi dua hingga empat meter. Tapi jika ada gelombang musim utara yang dahsyat, maka papan-papan pelantar itu pun tersapu air. Tentu berikut semua yang ada di atasnya. Tinggallah tiang-tiang pancang yang jadi saksi bisu keadaan itu.

Ada beberapa dusun di Kuala Selat. Selain Dusun I Hidayah atau disebut juga Dusun Pasar, ada juga Dusun II Kampung Baru atau Dusun Maju, Dusun III Cahaya Alam, dan Dusun IV Dendang Kecil. Dusun-dusun ini pelan-pelan makin mengecil akibat digerus abrasi yang makin tak terkendali. Tak hanya dusun-dusun, bahkan semua batas Desa Kuala Selat bisa habis karena “dimakan” laut. Batas dengan desa sebelah, yakni Desa Penjuru Jaya semakin mendekat.

“Ada yang tinggal 1 km lagi dari desa sebelah. Jadi Desa Kuala Selat ini bisa saja habis nantinya karena kalau abrasi mencapai batas desa, tentu Kuala Selat tak tersisa lagi,” ujar Bakhtiar.

Dua kali dalam setahun, saat musim angin utara dan angin tenggara, mereka harus menerima nasib. Akan ada rumah, kebun, atau fasilitas umum yang dibawa ombak. Semuanya berimplikasi pada garis batas desa yang juga kian tergerus.

Berbagai upaya dilakukan masyarakat dan perangkat desa. Misalnya tahun 2020 lalu, dibuat tanggul yang digunakan untuk mengantisipasi abrasi. Tanggul dibuat sepanjang 1,5 km, terutama untuk melindungi kebun kelapa masyarakat yang disinyalir makin dekat ke bibir pantai. Saat dibangun, tanggul ini masih berjarak 200 meter dari garis pantai. Tapi dengan cepat garis pantai pun makin mendekat akibat dihantam abrasi.

 Selain tanggul, ditanam juga mangrove. Bahkan Kepala Desa Kuala Selat Imam Taufik memiliki program penanaman sejuta mangrove. Dalam beberapa saat, hijauan di air dangkal menjadi hamparan yang menyejukkan mata. Memang, saat air tenang, mangrove ini hidup dengan baik. Tapi begitu datang hantaman gelombang utara dan angin tenggara, mangrove pun tersapu hingga ke akarnya. Bahkan hampir tidak ada yang tersisa.

Musibah lebih besar juga menimpa tanggul yang dibuat. Tanggul itu pun turut ambruk disapu gelombang pada saat pasang rob tanggal 6 hingga 8 Desember 2021 lalu. Seluas 1.900 hektare kebun kelapa masyarakat rusak akibat terjangan air ini. Kebun ini tersebar di Parit Sinar Danau, Parit Berkat, Parit Indra Jaya, Parit Cahaya Alam, Parit Bintang, dan Parit Dendang Kecil. Selain kebun kelapa yang sudah rusak, seluas 30.000 hektare kebun kelapa lainnya juga terancam mati karena air asin juga sudah mulai merendamnya.

Jebolnya tanggul ini merupakan rangkaian panjang runtuhnya harapan masyarakat  Kuala Selat sejak desa ini ada. Kepala Desa Kuala Selat pertama Masnur menceritakan bagaimana proses abrasi sejak dia menjadi kepala desa di masa persiapan desa ini. Masnur bahkan hingga empat kali harus pindah rumah akibat rumahnya terus digerus abrasi.

Kendati berbagai bangunan itu dibuat di atas tonggak kayu yang kokoh, tetap saja hantaman gelombang musim utara bisa merontokkannya. Akibat abrasi selama puluhan tahun, beberapa bangunan besar di atas tonggak kayu telah musnah. Di antaranya adalah satu masjid, dua klenteng, satu bangunan SD, satu kantin, satu lapangan sepakbola, dan puluhan rumah. Dalam perkembangan berikutnya, lebih banyak lagi bangunan bahkan kebun yang masuk ke laut. Selama 16 tahun menjadi kepala desa di Kuala Selat, sejak tahun 2000 hingga 2016, Masnur menjadi saksi abrasi yang seakan tidak pernah selesai.

“Bisa habis desa ini jika tak diantisipasi,” ujar Masnur.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Inhil, Azwir Zarni menyebut, abrasi di Kuala Selat terjadi akibat gelombang kuat. Kejadiannya bisa dua hingga tiga kali dalam setahun. Hanya saja dia tidak bersedia menyampaikan secara lebih rinci soal antisipasi masalah abrasi ini.

Berdasarkan informasi yang didapat dari masyarakat setempat, pembuatan tanggul sepanjang 1,5 km bukan dilakukan Dinas LHK Inhil, melainkan dari desa setempat. Padahal, garis pantai Desa Kuala Selat setidaknya 14 km. Mereka memerlukan tanggul yang kokoh dengan anggaran yang juga besar. Tidak cukup dengan dana desa. Selain itu juga diperlukan pemecah ombak.

 

Perubahan Iklim dan Antisipasi Abrasi

Akselerasi abrasi di perairan Kuala Selat dan kawasan pesisir Riau lainnya memang dahsyat dalam beberapa tahun terakhir. Disinyalir, percepatan abrasi ini terjadi akibat perubahan iklim akibat pemanasan global. Es yang mencair di kutub menyebabkan volume air laut bertambah. Selain itu, perubahan panas juga membuat tekanan udara meningkat dan memicu terjadinya gelombang tinggi.

Akademisi dan aktivis lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim (Suska) Riau, Dr Elviriadi menyebut, perubahan iklim harus diatasi secara bersama lintas negara. Kontribusi Indonesia dan Riau khususnya sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim ini. Salah satunya dengan menghambat laju deforestasi dan melakukan reboisasi secara bersamaan.

Selain itu, mitigasi bencana juga menjadi bagian dari penanganan masalah. Perlu edukasi soal mitigasi bencana, tentang masalah lingkungan dan kesiapan masyarakat. Bencana ekologis di daerah harus dicarikan solusinya per wilayah. Dalam kasus di Kuala Selat, dia menyarankan dibuat pemecah ombak di kawasan-kawasan yang memiliki abrasi parah. Abrasi di banyak wilayah di Inhil, termasuk di Kuala Selat, hampir sama dengan beberapa wilayah di Bengkalis, Rupat, dan Meranti.

“Itu bisa diantisipasi dengan pemecah ombak, bukan sekadar tanggul yang berbentuk dinding,” ujar Elviriadi.

Sejauh ini, yang banyak dilakukan pemerintah adalah membuat dinding atau turap. Jika ombak kecil, turap ini bisa efektif. Tapi untuk gelombang besar, air bisa menggerus fondasi turap dan akhirnya turap pun ambruk, lalu jatuh ke laut.

Mitigasi bencana abrasi memang cukup kompleks. Secara umum, setidaknya ada dua, yakni dengan memperkuat tebing pantai dan memperlambat laju abrasi secara alamiah dengan treatment tertentu. Memperlambat laju abrasi secara alamiah dilakukan dengan menanam kembali mangrove dan terumbu karang.

Sedangkan tebing pantai diperkuat dengan membuat dinding pelindung sejajar atau sea wall. Ini sering juga disebut turap yang biasanya didesain miring, menyesuaikan dengan kondisi pantai. Bisa juga dibuat bulkhead. Berbeda dengan turap biasa, bulkhead terbuat dari baja yang ditanam vertikal mengikuti garis pantai. Selain itu, ada juga teknik jetty, yakni melindungi abrasi dan sedimentasi di muara sungai dengan menambah alur muara sungai menggunakan beton.

Pada kasus gelombang yang besar, diperlukan teknik groin. Teknik ini dilakukan dengan cara membuat material batu besar yang menjorok dari garis pantai menuju ke tengah laut. Semacam tanjung buatan. Tanjung merupakan daratan yang menjorok ke laut. Tanjung buatan ini dinilai efektif memecah gelombang besar. Di pantai Padang, misalnya, selain ada dinding laut (sea wall), dibuat juga groin ini.

“Ada juga di Rupat dibuat beberapa buah oleh tim ahli dari Jepang. Sejauh ini efektif memecah gelombang laut,” ujar Elviriadi.

Dia menyebut groin dengan batu bergonjong. Batu-batu gunung yang besar setidaknya berdiameter setengah hingga satu meter disusun menjorok dari arah pantai menuju ke tengah laut. Makin besar batu, makin kokoh groin. Lebar susunan batu antara dua hingga tiga meter. Tinggi menyesuaikan dengan tinggi garis pantai. Adapun panjang tanjung buatan ini dari garis pantai idealnya 20 meter.

Perlu beberapa groin atau tanjung buatan ini untuk memecah gelombang besar. Pembuatannya bisa berjarak masing-masing groin 100 meter. Makin dekat, misalnya jarak satu groin dengan groin lainnya 50 meter, maka makin baik untuk memecah gelombang laut. Saat gelombang besar datang, ia akan pecah karena menghantam groin ini sehingga yang sampai ke pantai hanyalah ombak kecil.

“Terjadi juga perputaran aluvial yang kemudian membentuk sedimentasi baru di sekitar batu-batu bergonjong ini. Malah daratan bisa bertambah di sekitarnya karena endapan pasir dan lumpur,” ujar Elviriadi.

Di Malaysia, pantai-pantainya sudah memiliki pemecah ombak seperti ini. Hanya saja tentu perlu biaya besar. Tapi pembuatan turap sebenarnya juga memerlukan biaya besar. Bahkan lebih besar. Menurut Elviriadi, jika anggaran terbatas, bisa saja didahulukan pemecah ombak ini dibandingkan turap. Untuk kasus Kuala Selat dan beberapa kawasan pesisir Riau lainnya, yang diperlukan justru pemecah ombak.

“Tentunya tak cukup hanya APBD kabupaten. Perlu sinergi dengan provinsi bahkan Nasional. APBN perlu menganggarkan ini. Kalau tidak, kondisinya akan makin parah,” ujar Elviriadi.***

 

Editor: Edwar Yaman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook