KISAH RAHMADI DAN RIDWAN, PENERIMA BANTUAN CSR PERTAMINA UP II SUNGAI PAKNING

Tak Lagi Memantik Api

Feature | Jumat, 29 Oktober 2021 - 10:55 WIB

Tak Lagi Memantik Api
Ketua Kelompok Madu BienenRahmadi saat mengambil madu ternak lebah milik Ridwan di Desa Tanjung Leban beberapa waktu lalu. Kelompok peternak madu ini mendapat pembinaan dan bantuan dari PT Pertamina UP II Sungai Paking. (GEMA SETARA RIAUPOS.CO)

Dulu, madu lebah  dipandang sebelah mata oleh masyarakat di Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis. Walaupun mereka tahu akan khasiatnya, namun karena faktor risiko  yang harus dihadapi, membuat masyarakat tidak meliriknya. Saat madu ada harga, masyarakatpun berbondong-bondong ke hutan untuk memburunya. Ini memicu persoalan lain, geografis wilayah yang dikelilingi hutan gambut, membuat para pencari madu menjadi kambing hitam terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla)

Laporan GEMA SETARA, Tanjung LebanS


SIANG mengarak petang, panas mentari perlahan membingkai teduh. Riau Pos bersama CDO Pertamina RU II Sungai Pakning, Dewi Asri menuju ke Desa Tanjung Leban, tepatnya di sentra peternakan lebah miliki kelompok Madu Biene. Dari Kilang Pertamina UP II Sungai Pakning, perjalanan ke lokasi memerlukan waktu sekitar satu jam dengan menggunakan kendaraan roda empat.

Satu jam perjalanan, Riau Pos tiba di lokasi, tepatnya di rumah Ridwan. Di rumah tersebut sudah menunggu Rahmadi sebagai ketua kelompok Madu Biene. Di halaman rumah yang sederhana itulah, Ridwan beternak madu lebah kelulut (kelenceng). Kotak-kotak itu dia tempatkan di bawah pohon-pohon kelapa sawit miliknya.

‘’Pokok (pohon, red) itu tak  menghasilkan buah lagi do bang. Dia sebagai peneduh saja, sekarang saya lebih mengandalkan ternak lebah ini sebagai pendapatan ekonomi keluarga. Alhamdulillah semua menghasilkan madu yang baik,’’ ujarnya.

Bersama Rahmadi, Ridwan pun menunjukkan cara memanen madu lebah dengan peralatan yang sederhana. ’’Cubo lah bang,’’ kata Ridwan kepada Riau Pos dengan dialek lokal setempat. ‘’Usah lagi, dah penah mencubo bang, masam,’’ ujar Riau Pos. ‘’Bedo ni bang, kalau produksi kami di sini manis, cubolah,’’ ujarnya.

Riau Pos mencoba madu yang dibaru di panen Ridwan, memang rasanya manis, agak berbeda dengan madu kelulut yang pernah Riau Pos rasa, lebih dominan asam. ‘’Ini lain bang, pakan lebah-lebah di Tanjung Leban ini berasal dari bunga-bunga pohon bakau (mangrove, red) yang berada di sepanjang bibir pantai desa kami, makanya rasa madunya lebih dominan manis,’’ ujarnya.

Rahmadi bercerita, dahulunya dia bersama lima rekan lainnya memang mengais rezeki dari madu lebah. Mereka berburu madu langsung ke dalam hutan di desanya. Bukan perkara mudah bagi mereka untuk menemukan sarang lebah tersebut. Rahmadi dan kawan-kawan terkadang harus berburu sampai ke tengah hutan belantara.

Tidak hanya itu, terkadang mereka juga harus mengalah dengan beruang madu dan satwa lain yang lebih dahulu memanen madu yang mereka temukan. ‘’Walaupun sarang itu sudah milik kita, namun kalau sudah beruang  mengambil madu itu duluan, mau tak mau kami mengalah saja. Itu rezeki beruang berarti,’’ ujarnya.

Risiko lainnya, mereka harus menghadapi ‘’sang datuk’’ (harimau sumatera, red). Karena hutan di daerah itu memang habitatnya ‘’sang datuk’’, tempat dia tinggal. ‘’Walau kami belum pernah jumpa, namun kalau jejak dan suara aumannya sudah beberapa kali terlihat dan terdengar,’’ ujar Ridwan menambahkan.

Dikatakannya, kalau dalam perjalanan berburu madu  mereka berjumpa dengan jejak harimau maupun mendengar suaranya, kelimanya  dipastikan tak akan melanjutkan perjalanannya. ‘’Bagi kami itu sudah tanda-tanda, lebih baik putar pulang ke rumah,’’ ujarnya.

Disebutkan, Ridwan lagi, risiko yang paling sering mereka hadapi tentunya di sengat lebah itu sendiri. ‘’Kalau itu sudah ‘makanan’ setiap mengambil madu bang. Bahkan saya pernah sampai lari tunggang langgang terjun ke laut untuk menyelamatkan diri dari serbuan lebah,’’ ujarnya bercerita.

Dikambing Hitamkan

Persoalan lain yang selalu mereka hadapi, tambah Rahmadi lagi adalah persoalan hukum. Khususnya saat terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sebagai kawasan yang dengan hutan gambut yang cukup luas, persoalan karhutla ini memang menjadi momok yang menakutkan. Tidak hanya bagi desa tersebut tetapi bagi Provinsi Riau secara keseluruhan.

‘’Kami pencari madu, khususnya kelompok yang saya pimpin sangat menjaga kelestarian lingkungan saat berburu. Kalau kelompok lain saya tidak tahu. Mengapa saya katakan demikian, saat kami berburu madu ke hutan, ada aturan tidak tertulis antara kami berenam, selama dalam perjalanan tidak dibenarkan merokok. Merokok hanya dibenarkan saat istirahat, itupun harus membawa air untuk membuang puntung rokok,’’ ujarnya.

Artinya, puntung rokok tidak dibuang sembarangan,  selesai merokok puntung dimasukkan ke dalam air yang di bawa tadi, tujuannya agar sisa rokok tadi langsung mati. ‘’Kampung kami ini memang dikelilingi tanah gambut, makanya sangat rentan dengan karhutla, terlebih saat musim kemarau tiba,’’ ujarnya.

Tindakan menjaga lingkungan yang mereka lakukan selama berburu madu ini, tambah Rahmadi lagi sudah mereka sampaikan kepada kelompok pencari madu lainnya, termasuk masyarakat yang pergi memancing ke dalam hutan. ‘’Namun, apakah mereka melaksanakan anjuran yang mereka sampaikan atau tidak, kami tidak tahu,’’ ujarnya.

Rata-rata, tambahnya kalau masyarakat kampung ini pasti akan menjaga lingkungan setiap pergi mencari madu maupun pergi memancing, hanya saja, citra pencari madu kampung ini tercoreng karena ulah oknum-oknum yang datang dari luar yang tidak peduli dengan lingkungan. Mereka membuang puntung rokok yang masih menyalai secara sembarangan, akibatnya karhutla pun terjadi.

‘’Kami menjadi kambing hitam. Padahal kami masyarakat kampung ini sangat peduli dengan lingkungan, mencari madu itu mata pencarian kami untuk menghidupi anak dan isteri. Kalau hutan terbakar, sama artinya membunuh mata pencarian kami sendiri,’’ tuturnya.

Begitu juga saat mengambil madu. ‘’Walau kami menggunakan obor yang dibuat dari daun kelapa untuk pengasapan guna mengusir lebah, namun percikan api dari daun kelapa itu tetap kami jaga, kalau percikan apinya sampai ke tanah langsung kami padamkan. Begitulah kami menjaga lingkungan kampung ini,’’ ujarnya.

Mengapa sampai sedetil itu dilakukan, itu tadi, kalau hutan terbakar, habislah mata pencarian masyarakat kampung ini. ‘’Tidak hanya itu, kalau hutan terbakar satwa-satwa yang ada di hutan pun akan terancam,’’ tuturnya.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook