DARI KERAMIK, PERHIASAN, HINGGA KAPAL RUSIA

Natuna, Harta Karun di Dasar Lautan dan Pencurian

Feature | Senin, 10 Februari 2020 - 00:07 WIB

Natuna, Harta Karun di Dasar Lautan dan Pencurian
Wisatawan di kawasan Pulau Setanau, Natuna. Berbagai benda bersejarah dari beragam zaman berada di lautan Natuna menyusul tenggelamnya kapal-kapal pengangkutnya. (HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS)

Setidaknya ada 24 titik kapal tenggelam yang membawa berbagai barang berharga di lautan Natuna. Karena pengawasan lemah, para penjarah yang justru diuntungkan.

LAPORAN dari warga itu sampai juga ke Hadisun. Ada tiga warga Cina yang bermaksud melakukan penyelaman. Sampai di situ sepertinya semuanya wajar.


Kabupaten Natuna nun di utara Indonesia yang terdiri atas ratusan pulau memang punya banyak spot penyelaman.

Namun, ada yang memicu kecurigaan. Tindak tanduk tiga orang tersebut tak tampak seperti turis. Mereka juga tidak tinggal di hotel. Tetapi, memilih menyewa sebuah rumah penduduk di tepi pantai.

Hadisun, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna dan jajarannya pun bergerak. Tiga orang itu ditemui.

Sulitnya komunikasi dengan mereka tak menyurutkan putusan instansi yang berwenang. "Mereka kami usir karena kemungkinan besar akan mencuri BMKT," papar dia kepada Jawa Pos kemarin.

BMKT adalah benda muatan kapal tenggelam. Natuna kaya akan harta karun di dasar laut itu.

Versi pemerintah setempat, ada 24 titik BMKT yang tersebar di 17 pulau dan karang di sekitar wilayah kabupaten di Kepulauan Riau tersebut. Itu yang baru diketahui sejauh ini. Diprediksi masih banyak lagi titik kapal tenggelam lainnya.

Itu dimungkinkan karena Natuna yang berbatasan dengan Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Kamboja itu punya lautan yang ramai jadi perlintasan perdagangan dunia. Sejak dulu.

Terutama di era "Jalur Sutra". Itu adalah jalur imajiner perlintasan perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan "Timur" dengan "Barat". Persisnya antara Asia Timur dan Tenggara dengan Asia Selatan, Persia, Semenanjung Arab, Afrika Timur, serta Eropa Selatan.

Kapal-kapal yang tenggelam itu membawa serta berbagai barang yang antara lain karena kandungan sejarahnya, demikian berharga. Mulai keramik, perhiasan, peralatan rumah tangga, sampai bongkahan emas.

Berkali-kali nelayan setempat menemukan keramik. Sejauh ini, dari hasil penelitian, diketahui bahwa keramik-keramik yang telah ditemukan berasal dari Dinasti Qing, Sung, dan Ming di Cina.

"Pernah suatu kali saya dengar warga ada yang menemukan rantai emas dan bongkahan emas," kata Wan Tarhusin, salah seorang sejarawan Natuna.

Sayang, tak ubahnya gula yang selalu mengundang semut, bertebarannya harta karun di lautan Natuna itu juga memikat perhatian para pencuri. Kisah tiga warga Cina di atas hanyalah satu dari sekian banyak di antaranya.

Pernah suatu kali, tutur Hadisun, ada sebuah perusahaan asal Jakarta yang mengajukan izin pengangkatan BMKT di kawasan Serasan. "Oleh Pemkab tentunya diserahkan ke pemerintah pusat. Kalau diizinkan pusat, silakan saja," tuturnya.

Tapi, izin dari pemerintah pusat tidak turun. Kabarnya memang ada moratorium untuk pengangkatan BMKT.

Tak lama berselang, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) mengecek lokasi BMKT tersebut. Apa yang didapat? BMKT di titik tersebut sudah habis.

Tak ada lagi barang yang tertinggal. "Hanya tinggal puing belaka," ujarnya.

Zulkifli Flora, salah seorang nelayan Natuna, juga mengaku sering mendengar adanya penyelaman untuk mengambil barang dari dalam laut. Dari besi hingga barang berharga lain. "Namun, semua itu hanya jadi cerita."

Hadisun mengakui, pengawasan terhadap BMKT memang menghadapi jalan terjal. Kewenangan untuk BMKT berada di KKP. "Pemkab yang dekat tidak punya kewenangan apa pun," tuturnya.

Hasilnya mudah ditebak. Ke-24 titik BMKT itu rawan pencurian. Banyak yang sudah rusak. Dicuri orang tak bertanggung jawab.

Aset negara hilang. Barang kebudayaan yang tak ternilai harganya raib entah ke mana. "Data itu pun kami dapat dari KKP," ujarnya.

Kapal-kapal yang tenggelam di lautan Natuna bermacam-macam asalnya. Ada, misalnya, kata Wan Tarhusin, kapal Inggris yang tercatat tenggelam pada 1848. Juga, kapal Rusia pada 1941.

"Ada pula kapal pembawa delegasi India ke Konferensi Asia-Afrika (di Bandung pada 1955, Red)," kata Wan.

Catatan dari buku petualang Cina I Tsing memperlihatkan, dahulu, pada abad ketujuh, Natuna yang kala itu bernama Nan Toa dikuasai Sriwijaya. Di masa Majapahit, namanya diubah menjadi Serindit.

Kemudian berubah lagi menjadi Nalma dalam peta abad ke-17. Kini kepulauan di Jalur Sutra itu dikenal sebagai Natuna.

Wilayah Natuna yang luas juga menyulitkan pengawasan. Kabupaten yang beribu kota di Ranai itu memiliki 154 pulau. Dan, hanya 27 yang berpenghuni.

Karena kewenangan ada di pusat, pemerintah setempat hanya bisa mendata. Jadi, tak ada pengawasan yang spesifik.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook