Donor Darah Berjalan, Suami Siaga, hingga Ambulans Desa
Mendapatkan Satu Indonesia Award tidak membuat Rosmiati stagnan atau berhenti melayani dan berinovasi. Dia melihat masih ada beberapa masalah krusial dalam pelayanan kesehatan yang perlu dibenahi. Apalagi, selain mendapatkan sejumlah dana sebagai hadiah, dia juga mendapatkan beberapa peralatan medis untuk menunjang kinerjanya sebagai bidan desa. Di antaranya alat untuk menentukan golongan darah.
Makanya kemudian dia membuat program baru yakni donor darah berjalan, tak berapa setelah itu. Setiap ibu hamil yang berisiko tinggi diminta mencari pendonor darah jika sewaktu-waktu perlu tindakan medis yang memerlukan donor darah. Para pendonor ini berjumlah minimal empat orang. Mereka melakukan perjanjian (MoU) dengan ibu hamil dan keluarganya untuk siap menjadi pendonor darah ketika masa kelahiran tiba. Biasanya ditentukan dua pekan sebelum persalinan, para calon pendonor ini akan diberi tahu tentang kesiapan mereka mendonor dan berangkat. Jika kondisinya memang diperlukan pendonoran darah, maka empat pendonor ini akan berangkat bersama ibu yang akan melahirkan menuju rumah sakit rujukan. Donor dilakukan di rumah sakit rujukan.
"Jadi karena dilakukan di rumah sakit, makanya saya sebut donor darah berjalan," ujar Rosmiati.
Pada tahun 2015, Rosmiati menerapkan program suami siaga. Para suami tak boleh ke mana-mana dua pekan sebelum masa persalinan. Dalam kelas kelas ibu hamil yang dilaksanakannya bersama kader Pos Yandu dan PKK, para suami harus ikut. Sebagai mayoritas buruh kelapa, banyak suami yang lebih memprioritaskan kerja dibandingkan siaga jelang kelahiran bayi.
"Ini kami tekankan benar, bahwa untuk proses persalinan, harus suami yang mengantarkan," ujarnya.
Sejalan dengan program suami siaga, dilaksanakan juga program ambulans desa. Ambulans desa tidak berbentuk mobil, tapi pompong pengangkut kelapa yang dialihfungsikan sebagai pengangkut pasien. Dengan demikian, pasien tidak perlu menyewa pompong untuk membawa pasien yang melahirkan.
Pihaknya selaku bidan desa melakukan perjanjian kerja sama dengan seorang tauke (bos) kebun kelapa yang punya lima pompong. Ada juga pompong milik perorangan lainnya. Setidaknya, saat ini sudah ada tiga unit pompong yang siap dialihfungsikan sewaktu-waktu sebagai ambulans desa.
"Keluarga pasien tidak lagi mengeluarkan biaya besar. Cukup bensin saja. Itu pun kita bantu dengan program tabungan dana sehat," ujarnya.
Selain tiga program tambahan itu, plus dua program inovasi sebelumnya, berbagai program rutin kebidanan tentu saja tetap dilaksanakannya. Bidan desa tak hanya bertugas membantu kelahiran, tapi semacam petugas medis lengkap, penyuluh kesehatan, dan lainnya. Dia juga membuat kelas balita, selain kelas ibu hamil. Selain itu, dia juga memberikan edukasi kepada pelajar, lansia dan kelompok masyarakat lainnya.
Fenomena Dukun Beranak
Tidak mudah bagi bidan-bidan desa dalam menjalankan tugasnya, apalagi di daerah terpencil. Sebelumnya, di tempat Rosmiati bertugas, yang membantu kelahiran adalah dukun beranak. Masyarakat pun percaya kepada mereka.
Sebagai bidan baru, yang tamat dari Akademi Kebidanan (Akbid) Lenggogeni Padang, 2007, tentu saja Rosmiati agak gamang menjalankan tugas itu seorang diri, mulai 2008. Minim pengalaman, status yang hanya bidan PTT (pegawai tidak tetap), tantangan di lapangan membuatnya makin gamang. Tapi tekadnya untuk mengabdi pada kemanusiaan membuat langkahnya pasti.
Awalnya, para dukun bayi tidak menerima kehadirannya di Desa Tunggal Rahayu Jaya. Mereka takut lahannya diambil. Padahal, tidak seperti itu yang digariskan Kementerian Kesehatan. Dukun bayi adalah mitra bagi bidan.
"Tapi tetap saja ditolak. Sekitar enam bulan masa penolakan itu," kenang Rosmiati.
Masyarakat pun awalnya demikian juga. Mereka lebih memilih mendatangi dukun beranak terlebih dahulu ketika akan melahirkan. Jika ada masalah, baru mereka datang ke bidan. Pelan tapi pasti, Rosmiati bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagai orang asli Inhil, tepatnya di Desa Pengalihan, Kecamatan Keritang, dia mudah melakukan pendekatan. Dia juga tidak canggung dengan kondisi alam yang sulit, karena sudah terbiasa sejak kecil di desanya, yang lebih kurang sama.
Pendekatan kemitraan yang diterapkannya pelan-pelan bisa diterima tiga dukun beranak di desa itu. Rosmiati mengikutsertakan mereka dalam pertemuan, membagi tugas ketika membantu kelahiran, dan bentuk kemitraan lainnya.
"Alhamdulillah, sekarang bisa bermitra dengan baik," ujarnya.
Sebagai bidan PTT, masa pengabdiannya cukup lama. Kontrak PTT-nya diteken untuk tiga tahun dan kemudian diperpanjang. Setelah tiga kali diperpanjang atau sembilan tahun masa pengabdian, dia akhirnya diangkat sebagai PNS pada Maret 2017. Dia pun ditempatkan di Desa Pengalihan Kecamatan Keritang sebagai bidan koordinator hingga saat ini. Baginya, pengabdian harus dilakukan di mana pun, kapan pun, kepada siapa pun, ada atau tidak ada penghargaan.
Ketua PKK Indragiri Hilir Zulaikhah Wardan menyebutkan bahwa bidan desa merupakan ujung tombak kesehatan dan kesejahteraan keluarga di pedesaan bersama PKK. Makanya, pihaknya menaruh perhatian besar kepada bidan desa dan PKK ini. Dia berharap terus ada sinergi antara bidan desa dan PKK. Dia mengapresiasi bidan-bidan desa yang berinovasi, termasuk Rosmiati, yang bahkan mendapatkan penghargaan nasional. Dia berharap akan muncul Rosmiati-Rosmiati lainnya untuk mewujudkan Inhil yang semakin baik.
Zulaikhah menyadari bahwa kondisi geografis Inhil memang sulit. Infrastruktur masih belum merata. Pemerintah Kabupaten Inhil tetap melakukan pembangunan infratruktur dasar seperti jalan desa dan jembatan antardesa secara masif. Tapi tetap saja belum bisa terpenuhi seluruhnya karena banyaknya parit, sungai, dan desa-desa yang terisolir. Untuk itu, memang diperlukan terobosan. Salah satunya soal transportasi atau ambulans desa.
“Pemerintah Kabupaten Inhil sudah mulai juga menganggarkan untuk bantuan transportasi rujukan kesehatan ini,” ujarnya.***
Laporan: Muhammad Amin