Inovasi “Asuransi” ala sang Bidan
Ketika itu, Oktober 2008, Rosmiati ditempatkan sebagai bidan pegawai tidak tetap (PTT) di Desa Tunggal Rahayu Jaya. Dia pun melihat fenomena angka kematian ibu dan bayi yang relatif tinggi di sana. Sebagai satu-satunya bidan di desa berpenduduk 1030 jiwa dengan 274 kepala keluarga (KK) itu, maka dia merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa ibu dan calon bayinya.
"Sangat sedih rasanya kalau ada ibu dan bayi yang meninggal," ujarnya.
Untuk itulah, mulai Januari 2009, dia merencanakan program tabungan ibu bersalin (TIB). Mulai dari perencanaan hingga aplikasi di lapangan dilakukannya sendirian. Tapi tentu saja dia melibatkan perangkat desa dan kader Pos Yandu serta PKK setempat untuk membantu. Program TIB ini dimaksudkan agar kaum ibu yang sudah diketahui hamil mulai menabung untuk biaya persalinan. Tidak ditentukan berapa jumlahnya per bulan, tapi dianjurkan tetap ada. Penghasilan penduduk Desa Tunggal Rahayu Jaya yang kurang begitu baik menyebabkan awalnya mereka enggan mengikuti program ini. Jangankan menabung, untuk keperluan sehari-hari saja mereka berat. Kebanyakan, penduduk Desa Tunggal Rahayu Jaya bekerja sebagai buruh pengangkut kelapa. Inhil memang merupakan kawasan perkebunan kelapa terbesar di Indonesia. Tapi, tak banyak yang memiliki kebun sendiri. Sebagian justru bekerja sebagai buruh pada beberapa perkebunan kelapa. Yang terbesar adalah PT Pulau Sambu di Guntung, sekitar dua jam perjalanan dari desa itu. Selain sebagai buruh perkebunan kelapa, ada juga yang bekerja sebagai petani, terutama sayur-sayuran.
Kendati awalnya berat, tapi pelan-pelan warga akhirnya bersedia menyisihkan uangnya untuk TIB ini. Rosmiati tidak menetapkan berapa jumlah per bulan. Tapi dia mematok angka minimal, yakni Rp350 ribu selama masa kehamilan. Angka minimal ini penting agar tidak terjadi kendala saat kondisi mendesak, yakni biaya transportasi ketika bumil dirujuk ke rumah sakit.
"Kalau pun tidak dipakai saat melahirkan, paling tidak pasti dipakai satu kali saat USG (ultrasonografi, red) di RS Raja Musa di Guntung," ujar Rosmiati.
Dalam standar pelayanan bumil, USG memang harus dilakukan minimal satu kali selama masa kehamilan, yakni saat bulan ketujuh. Itu pula yang ditekankan Rosmiati setiap kali memberikan penyuluhan kepada bumil. Sebab, dari USG itu dapat diketahui bagaimana kondisi bayi, kondisi ibu, dan kemungkinan persalinannya.
Dalam praktiknya, program ini memang banyak memberi manfaat kepada warga. Sebab, kendati biaya kesehatan, termasuk melahirkan sudah dijamin BPJS, tapi tidak dengan biaya transportasi. Inilah yang kerap menjadi kendala. Teknis penyimpanan dana itu sederhana. Bumil atau suaminya menyetorkan dana seberapa yang ada kepada tim yang dibentuk, yang terdiri dari kader Pos Yandu dan PKK. Rosmiati sendiri yang menyimpan uangnya. Banyak yang akhirnya menyimpan uang lebih dari Rp350 ribu. Maksimal ada yang punya tabungan hingga Rp2,5 juta. Uang itu dikembalikan utuh kepada para bumil ketika mereka memerlukannya.
Selain program TIB, Rosmiati juga menginisiasi program lainnya yakni tabungan dana sehat (TDS). Program ini dilaksanakan setahun berselang. Program “asuransi” ala bidan desa ini adalah iuran sebesar Rp2 ribu per bulan per KK. Sangat kecil. Tapi dampaknya besar. Sebab, dana ini digunakan untuk bantuan transportasi bagi setiap warga yang sakit yang perlu dirujuk ke RS Raja Musa di Guntung atau RS Puri Husada Tembilahan. Jumlahnya Rp500 ribu sekali diberikan. Berbeda dengan TIB, yang khusus untuk bumil, program ini untuk semua penyakit. Sebagai bidan desa, Rosmiati sebenarnya sama dengan mantri di zaman dulu, yakni mengobati semua jenis penyakit, tidak hanya melahirkan. Mulai demam hingga sakit gigi ditanganinya. Mulai dari bayi hingga lansia diurusnya. Tapi tentu tak semua bisa ditangani bidan desa. Dalam situasi tertentu, diperlukan rujukan ke rumah sakit.
"Nah, selain membuat surat rujukan, kami juga memberikan uang dari dana sehat itu," ujarnya.
Sama seperti program TIB, awalnya program tabungan dana sehat juga mendapat penolakan dari sebagian warga. Tapi, kemudian pelan-pelan warga mau menjalani karena merasakan benar manfaatnya. Sebenarnya, pihak desa juga punya dana sosial desa untuk bantuan biaya transportasi bagi yang sakit. Tapi harus diajukan dulu. Beda dengan dana sehat yang bisa langsung diberikan ketika ada yang perlu dirujuk.
Jika dikalkulasi per bulan, maka dari iuran Rp2 ribu per KK itu akan dikumpulkan dana sebesar sekitar Rp548 ribu. Tidak tiap bulan juga ada yang dirujuk ke rumah sakit.
"Kadang ada satu, kadang tak ada. Tapi pernah juga sampai tiga orang per bulan," ujar Rosmiati.
Inovasi Berbuah Penghargaan
Berkat dua program ini, tentu saja warga merasa terbantu. Tidak sedikit yang menyampaikan rasa terima kasihnya. Bagi Rosmiati, yang terpenting adalah membantu sesama dan menyelamatkan nyawa-nyawa. Selama beberapa tahun berikutnya program ini terus berjalan.
Tanpa sepengetahuan dirinya, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Cabang Inhil mengajukan namanya dalam program SATU Indonesia Awards dari PT Astra International Tbk. Rosmiati yang merupakan Ketua IBI Ranting Teluk Belengkong diajukan karena program-program yang dibuatnya dianggap cukup fenomenal di tingkat Kabupaten Inhil. Tapi dia sendiri tidak tahu bagaimana prosesnya. Sampai kemudian tim dari SATU Indonesia Awards datang untuk memverifikasi program-program yang dijalankannya. Setelah melalui proses verifikasi itu, dia dinyatakan layak mendapatkan penghargaan sebagai penggerak kesehatan ibu dan anak. Penghargaan diberikan pada 20 Oktober 2012.
Akan tetapi, ketika itu, Rosmiati sedang hamil tua dan dalam proses melahirkan. Dia sendiri tak datang dalam pemberian penghargaan tersebut. Tapi dia bersyukur dan berterima kasih atas penghargaan itu.
"Sebagai rasa syukur saya, anak saya yang lahir ketika itu saya beri nama Astra," ujarnya sambil tersenyum.