MILAN (RIAUPOS.CO) - Indonesia dan Malaysia berjuang bersama untuk memerangi gencarnya kampanye serta pandangan negatif terhadap produk minyak sawit di Eropa. Para produsen minyak sawit di dua negara itu perlu sertifikasi keberlanjutan agar tetap bisa masuk ke Benua Biru tersebut.
Dua negara produsen minyak sawit terbesar di dunia itu hadir dalam European Palm Oil Conference (EPOC) 2015 di Hotel Klima, Milan, Kamis (29/10). Indonesia diwakili Ketua Eksekutif Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Bayu Krisnamurti.
Bayu mengatakan, ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa memang tidak terlalu besar. Yakni, 3,5 juta sampai 4 juta ton per tahun. Angka itu berada di urutan keempat setelah India, Cina, dan Pakistan. Namun, bagi Indonesia dan Malaysia, berjuang melawan kampanye negatif di Eropa menjadi penting karena kawasan tersebut memegang peran penting di pasar global.
Berbagai negara di Eropa menuntut hal berbeda satu sama lain terhadap produk sawit. Italia, misalnya, lebih menuntut penjelasan dari aspek kesehatan atau nutrisi yang terkandung dalam minyak sawit. Sedangkan mayoritas negara lain lebih menaruh perhatian pada keberlanjutan aspek lingkungan.
Segala hal atas berbagai isu negatif itu dijawab. Dimulai dengan penjelasan bahwa Indonesia hanya menggunakan 5,6 persen dari total lahan hutan untuk sawit. Termasuk juga dari sisi kesehatan.
Minyak sawit sangat diperlukan karena tidak mungkin hanya mengandalkan sumber minyak sayur lainnya seperti rapeseed oil (minyak kanola), sunflower oil (minyak bunga matahari), dan soybean oil (minyak kedelai). Sebab, produktivitas ketiganya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan sawit. Selain itu, diperlukan lahan yang jauh lebih luas.
“Pada 35 tahun mulai dari sekarang, populasi dunia akan mencapai 9,6 miliar orang dan terjadi kenaikan 200 juta ton keperluan minyak sayur (per tahun). Sedangkan pilihan sumbernya terbatas,” ungkapnya saat menjadi keynote speaker dalam iven itu.
Indonesia, papar Bayu, akan memenuhi permintaan sertifikasi dari Eropa meskipun perlu waktu untuk mencapai seluruhnya. Sebab, 42 persen produksi sawit Indonesia yang mencapai total 32 juta ton per tahun berasal dari petani rakyat. Hingga kni, dari total 4 juta petani sawit, baru 50 ribu petani saja yang sudah tersertifikasi.
“Jika dibandingkan dengan 2010, baru ada 800-an petani yang sudah tersertifikasi,” terang Bayu.
Meski begitu, komitmen bahwa produk sawit Indonesia akan memenuhi standar Eropa terus diupayakan sekaligus dibuktikan bahwa komoditas itu tidak seburuk persepsi masyarakat di negara yang bukan produsen sawit.
Secretary General Associazione delle Industrie delle Dolce e della Pasta Italiane (AIDEPI) Mario Piccialuti mengatakan, di bawah asosiasinya terdapat 125 perusahaan Italia yang bergerak di produksi pasta, es krim, cokelat, serta bahan keperluan sarapan (mentega dan sebagainya). Seluruhnya memerlukan minyak sawit.
Piccialuti mengatakan, dua tahun terakhir media dan banyak pihak di Eropa terus mengkritisi minyak sawit yang dianggap tidak ramah lingkungan. Italia memang salah satu importer minyak sawit di Eropa. Pada 2014, Italia mengimpor 1,7 juta ton atau mewakili 11 persen dari total impor negara tersebut.
AIDEPI, menurut dia, menyadari akan kebutuhan dan keunggulan minyak sawit sehingga berkonsentrasi melawan anggapan yang sudah diskriminatif itu. Langkah pihaknya dimulai dengan penelitian yang mendalam terhadap kekurangan dan kelebihan produk sawit, baik untuk produksi pangan maupun nonpangan.
Akhirnya, per 14 Oktober 2015, di Italia terbentuk semacam persatuan perusahaan pengguna minyak sawit yang diberi nama Italian Union for Sustainable Palm Oil. Struktur pengurusnya terdiri atas AIDEPI, Italian Association of Oil Industry, Ferrero, Nestle Italiana, dan Unigra.(sof/jpg)