JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Wabah COVID-19 mulai menyebar awal tahun lalu dan bermula dari kota di Wuhan, Cina. Namun, globalisasi dan konektivitas transportasi membuat wabah itu menyebar cepat ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Founder Rumah Perubahan yang kini mengembangkan platform Mahir Academy, Prof. Rhenald Kasali mengatakan, selain aspek kesehatan yang menjadi prioritas, semua pihak juga harus memitigasi dampak ekonomi akibat wabah Korona.
"Kalkulasi saya, setidaknya butuh Rp 100 triliun untuk mengatasi dampak corona ini," ujarnya dalam keterangannya, Kamis (26/3).
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu menyebut, dana tersebut dibutuhkan untuk penanganan aspek kesehatan maupun aspek ekonomi untuk meringankan dampak wabah corona, khususnya terhadap masyarakat masyarakat berpenghasilan rendah, pekerja informal, dan sektor UMKM.
"Kita tahu dana APBN terbatas, karena itu butuh dukungan luas semua pihak termasuk masyarakat melalui kerelawanan sosial," ucapnya.
Menurutnya, bisnis apapun dalam situasi ini pasti mengalami gangguan dan menghadapi masa sulit. Meski demikian, tidak dapat dibenarkan jika ada pelaku usaha yang mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain, misalnya dengan menjual produk atau jasa kesehatan di atas harga wajar.
"Saat ini, sikap terbaik adalah mengedepankan kemanusiaan dan nyawa manusia," ucapnya.
Rhenald mengatakan, pandemi corona mengirim sinyal keras kepada bangsa-bangsa di dunia untuk mereformasi sejumlah sistem. Yang pertama adalah sistem kesehatan dalam menangani wabah dan sistem arus informasi untuk mengkomunikasikan langkah penanganan wabah kepada masyarakat luas.
Berikutnya, sistem keuangan negara yang memungkinkan diambil terobosan-terobosan cepat, sistem penanganan lingkungan untuk membatasi penyebaran virus atau bakteri dari fauna dan flora kepada manusia, serta sistem lalu lintas data dan investasi-investasi baru dalam bidang penanganan wabah.
Rhenald menyebut, sinyal keras wabah corona ini sebenarnya sudah dimulai dengan sinyal-sinyal lembut munculnya berbagai kasus serangan penyakit. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sepanjang kurun waktu 1980-2013 ada 12 ribu kasus outbreak. Beberapa yang memiliki dampak besar adalah Ebola, MERS, dan SARS.
"Konektivitas transportasi antar negara yang kian terbuka membuat wabah yang dulu sifatnya lokal dan regional, kini menjadi global," sebutnya.
Dengan kondisi seperti ini, ke depan potensi ancaman wabah sangat mungkin terjadi lagi. Karena itu, semua negara harus mulai mendesain sistem kesehatan untuk penanganan wabah.
Menurut dia, pemimpin di tingkat pusat dan daerah harus mendesain prosedur standar penanganan wabah. Termasuk memerintahkan pengalihan sumber daya seperti kampus, gedung olahraga, sekolah, dan yang lain untuk kepentingan darurat seperti rumah sakit dan tempat karantina.
"Semua pihak harus berkolaborasi, agar kita siap saat datang ancaman wabah berikutnya," tutupnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal