JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi memperpanjang periode restrukturisasi kredit. Kebijakan tersebut diperpanjang selama setahun dari semula yang berlaku hingga 31 Maret 2021. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan, keputusan tersebut sebagai langkah antisipasi terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi.
“Kebijakan perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard. Agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi ditengah masa pandemi ini,” terang Wimboh di Jakarta, kemarin.
OJK akan segera memfinalisasi perpanjangan kebijakan tersebut dalam bentuk peraturan OJK (POJK). Termasuk memperpanjang beberapa stimulus lanjutan yang terkait. Antara lain, pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, dan penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer. Begitu pula, penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA) serta penundaan implementasi Basel III.
Wimboh memastikan, pihaknya selalu mencermati dinamika di sektor jasa keuangan. Juga, akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kestabilan dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional. Per 28 September, realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan mencapai Rp904,3 triliun untuk 7,5 juta debitor.
Sementara itu, Kepala ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, keputusan tersebut tepat untuk memitigasi potensi peningkatan risiko kredit ketika periode relaksasi tidak diperpanjang. Juga mempertimbangkan kondisi arus kas keuangan debitor yang secara umum belum pulih cukup signifikan. Perkiraan tersebut didasari oleh kondisi makro ekonomi Indonesia yang masih belum cukup kuat. Meski, menunjukkan tren perbaikan sejak kuartal II 2020.(jpg)
Jika menilik dari sisi demand (permintaan) masyarakat memang masih lemah. Tercermin dari rendahnya inflasi, penurunan impor, serta lemahnya permintaan kredit perbankan. “Fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19,” kata Josua kepada Jawa Pos kemarin.
Menilik data OJK, pertumbuhan kredit selama September kembali anjlok di level 0,12 persen year on year (yoy). Lebih rendah dari Agustus dengan 1,04 persen yoy. Justru, Dana pihak ketiga (DPK) perbankan naik. Dari 11,64 persen yoy pada Agustus menjadi 12,88 persen yoy. Artinya, masyarakat lebih banyak menabung yang ditambah ekspansi keuangan dari pemerintah.
Selain itu, di tengah tren perlambatan kredit perbankan, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) pada September tercatat di level 3,15 persen. Menurun dibanding bulan sebelumnya 3,22 persen.
“Dengan perpanjangan restrukturisasi kredit yang didukung oleh tren penurunan suku bunga perbankan mengikuti penurunan suku bunga acuan BI dan kebijakan quantitative easing, maka kondisi stabilitas sistem perbankan diperkirakan akan tetap kuat serta mendukung peningkatan fungsi intermediasi perbankan,” urai Josua.
Menurut dia, fungsi intermediasi perbankan diperkirakan akan semakin membaik ke depan. Seiring prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik. Juga, didorong konsistensi sinergi kebijakan baik dari fiskal, moneter, dan kebijakan sektor keuangan lainnya. (han/jpg)