JAKARTA (RIAUPOS.CO) - KINERJA neraca perdagangan Indonesia mempertahankan surplus. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Januari 2023, neraca perdagangan surplus 3,87 miliar dolar AS. Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah menjelaskan, ekspor mencapai 22,31 miliar dolar AS lebih besar jika dibandingkan dengan impor sebesar 18,44 miliar dolar AS.
''Neraca perdagangan Indonesia sampai Januari 2023 membukukan surplus selama 33 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,'' ujarnya pada konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/2).
Surplus tersebut ditopang komoditas nonmigas yang mencatatkan hasil positif 5,29 miliar dolar AS. Sumbernya adalah bahan bakar mineral (HS 27), lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15), serta besi dan baja (HS 27). Sementara, neraca migas tercatat defisit 1,42 miliar dolar AS. ''Menurut negara, ada tiga kawasan penyumbang surplus neraca perdagangan nonmigas terbesar pada bulan lalu. Yaitu, Amerika Serikat (AS), Filipina, dan India,'' paparnya.
Ekspor pada Januari tercatat 22,31 miliar dolar AS. Jumlah itu terkoreksi 6,36 persen month-to-month (MtM), tetapi masih naik 16 persen year-on-year (YoY). Penyebabnya, harga komoditas unggulan RI yang melandai. Secara siklus, memang ekspor awal tahun menurun jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. ''Kondisi bulan lalu juga melanjutkan penurunan pada Desember 2022,'' ujarnya.
Impor pada Januari mencapai 18,44 miliar dolar AS. Jumlah itu turun 7,15 persen MtM, tetapi naik 1,27 persen YoY. Siklusnya dengan ekspor, impor menurun pada awal tahun.
Terpisah, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan surplus neraca perdagangan menyusut tahun ini. Sejalan dengan harga batu bara yang turun 37,69 persen year to date (YtD) pada akhir Januari 2023. Bahkan per 14 Februari 2023 anjlok 44,06 persen YtD.
Hal itu secara signifikan akan memengaruhi kinerja neraca perdagangan. Sebab, ekspor bahan bakar fosil, terutama batu bara, menyumbang sekitar 9,83 miliar dolar AS atau 51,4 persen terhadap peningkatan surplus perdagangan 2022.
Meski menyusut, surplus perdagangan bisa bertahan lebih lama sebelum berubah menjadi defisit. Seiring sikap Cina yang membuka kembali perekonomiannya yang akan menopang permintaan eksternal. ''Indikator utama terbaru juga menunjukkan ekonomi global pada 2023 hanya mencatat perlambatan. Bukan resesi,'' jelasnya kepada JPG.
Pertumbuhan impor diperkirakan dapat lebih tinggi daripada ekspor. Didukung penguatan permintaan domestik menyusul pencabutan PPKM dan keputusan untuk melanjutkan proyek strategis nasional. ''Hanya, pertumbuhannya pada 2023 tidak akan setinggi 2022,'' jelasnya.(dee/bil/han/c14/dio/esi)
Laporan JPG, Jakarta