Tetap Dikeluhkan Meski Hanya Naik Sekitar Rp2.000

Ekonomi-Bisnis | Selasa, 12 Juli 2022 - 11:18 WIB

Tetap Dikeluhkan Meski Hanya Naik Sekitar Rp2.000
Petugas pangkalan elpiji menyusun tabung elpiji nonsubsidi yang sudah kosong. Pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga elpiji nonsubsidi mulai Ahad (10/7/2022). (EVAN GUNANZAR/RIAU POS)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji nonsubsidi, Ahad (10/7). Kebijakan ini membuat masyarakat mengeluh meski hanya naik Rp2.000. Pasalnya, belum lama ini harga elpiji dan BBM nonsubsidi juga sudah naik.

Salah seorang warga pengguna elpiji nonsubsidi 12 kilogram (kg) Santi mengaku sangat keberatan bila harga gas harus dinaikkan lagi. Menurutnya, pemerintah harus bisa memberikan kelonggaran terhadap masyarakat yang tidak menggunakan gas subsidi untuk pulih dalam hal perekonomian.


Apalagi, saat ini masyarakat tengah mencoba bangkit akibat pandemi Covid-19 yang sempat melanda semua sektor termasuk perekonomian masyarakat. "Jelas keberatan. Kalau bisa jangan lah dinaikkan lagi. Sekarang saja sudah sulit," katanya.

Bahkan dikatakan Santi lagi, saat ini dirinya berkeinginan untuk menggunakan gas elpiji 3 kilogram karena merasa harganya yang masih ramah di kantong. "Kalau mahal seperti ini ya kita pindah saja lagi ke tabung melon (elpiji 3 kg) karena harganya yang masih terjangkau," tambahnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Wanti. Menurutnya  pemerintah hanya menambah beban masyarakat dengan menaikan kembali harga jual elpiji  nonsubsidi  5,5  kg dan 12 kg. Pasalnya saat ini seluruh harga keperluan rumah tangga  tengah  melonjak sehingga sangat menyengsarakan masyarakat.

Meskipun naik hanya Rp2.000 per kilogram, tetap saja masyarakat merasa keberatan terhadap kebijakan tersebut. "Pokonya kalau sudah dinaikkan harganya tetap keberatan kecuali harga kebutuhan semuanya dinormalkan atau dimurahkan. Ini semuanya dinaikkan," tuturnya.

Sementara itu, Head Communication and Relation PT PPN Sumbagut, Agustiawan mengatakan, pihaknya melihat akan ada shifting atau peralihan dari konsumen elpiji nonsubsidi ke subsidi, tetapi ia berharap peralihan ini tidak signifikan. "Kenaikan harga gas Rp2 ribu per kilogram, paling sekitar Rp11 ribu untuk tabung 5,5 kilogram. Saya rasa masih cukup mampu untuk itu," ujarnya, Senin (11/7).

Terkait harga BBM, Agustiawan memprediksi perubahan harga ini juga tidak akan berdampak signifikan bagi para penggunanya. "Prediksi kami nggak ya. Harga pertamax nggak naik, ditahan di Rp12.750, artinya  sejauh ini kita melihat tak terlalu signifikan dampaknya. Porsi penjualan pertamax turbo, dexlite, dan pertamina dex tidak terlalu besar karena yang besar itu pertalite dan bio solar," ungkapnya.

Pengamat Anggap Wajar
Sementara itu, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menuturkan, Pertamina sebagai badan usaha memang memiliki hak menaikkan harga.

‘’Sederhananya, kalau Pertamina belinya dengan harga yang naik, ya dia jualnya naik. Kalau belinya pas harga turun, ya dia jualnya turun. Seharusnya ya naik turun sesuatu hal yang wajar,’’ ujarnya kepada Jawa Pos (JPG), Senin (11/7).

Sejauh ini, BBM nonsubsidi memang digunakan oleh kalangan menengah ke atas. Porsi penggunaan BBM non subsidi ada di kisaran 6 juta hingga 7 juta kiloliter. Sementara, untuk BBM subsidi seperti pertalite saja, penggunannya mencapai sekitar 28 juta hingga 30 juta kiloliter.

Dengan perbandingan yang kontras itu, dampak kenaikan harga BBM nonsubsidi diprediksi tidak akan terlalu banyak. ‘’Kalaupun ada dampaknya, relatif bisa di-manage,’’ ujarnya.

Komaidi melanjutkan, kinerja keuangan Pertamina juga tentu akan terbantu. Dibanding apabila tidak menaikkan harga. ‘’Karena Pertamina juga kan belinya di saat harga naik,’’ jelasnya.

Senada, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyebut kebijakan itu terbilang wajar. ‘’Bagi Pertamina, kenaikan harga BBM nonsubsidi bisa memperbaiki cash inflow,’’ ujarnya.

Sama halnya dengan harga elpiji non subsidi. Fahmy menilai kenaikan harga memang harus dilakukan. Pertamina harus menjual disesuai harga keekonomian. Sebab, penggunanya pun merupakan masyarakat kalangan menengah ke atas yang mampu.

Secara umum Fahmy menilai, kebijakan kenaikan BBM dan elpiji nonsubsidi tidak akan memicu lonjakan inflasi. Sebab, jumlah konsumennya pun proporsinya kecil. ‘’Kebanyakan golongan menengah ke atas. Biasanya orang kaya tidak suka gejolak,’’ katanya.

Fahmy juga menyinggung terkait BBM subsidi. Menurutnya, kebijakan Pertamina yang akan melakukan pembatasan pembelian pertalite memang diperlukan. Sebab, kebijakan itu bisa membantu menurunkan beban subsidi untuk APBN.

Menurutnya, Pertamina bisa saja menyederhanakan kriteria pembatasan. Penggunaan MyPertamina pun dinilai tidak perlu. Sebab, jika kriteria disederhanakan misalnya pertalite dan solar hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum, maka hal itu disebutnya lebih sederhana.

Sejauh ini, Fahmy menyebut untuk harga pertamax juga masih ada di bawah harga keekonomian. Pertamina masih mematok harga pertamax Rp12.500 per liter. Padahal, untuk bensin dengan oktan atau RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar Rp17.000 per liter. Secara keekonomian harga pasar telah mencapai Rp17.950.


Meski begitu, Fahmy berharap jika Pertamina bisa mematok harga pertamax mendekati pertalite. Dengan begitu, masyarakat bisa bermigrasi dari pertalite ke pertamax yang lebih ramah lingkungan.

‘’Harga pertamax masih di bawah harga keekonomian, belum sepenuhnya mengikuti harga pasar. Penetapan harga pertamax di bawah harga keenomian sangat tepat. Bahkan masih perlu diturunkan mendekati harga pertalite. Tujuannya untuk mendorong migrasi dari pertalite ke pertamax pada saat pembatasan pertalite diterapkan,’’ jelasnya.

Sementara itu, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menjelaskan kenaikan harga BBM nonsubsidi dilakukan pemerintah salah satunya menimbang kondisi harga minyak dunia.

Ya, harga minyak beberapa waktu terakhir terus menunjukkan tren kenaikan. Harganya tembus di atas 110-120 dolar AS per Barel. BBM umum alias BBM Non Subsidi mengikuti aturan Kepmen ESDM No. 62 Tahun 2020. Dalam aturan tersebut memang diatur kapan harga perlu dievaluasi.

Evaluasi harga keekonomian BBM dipengaruhi oleh banyak hal. Minyak mentah dunia, kurs rupiah, dan lain-lain. Kalau pajak, PPN, dan semacamnya itu biasanya tetap. Harga minyak dunia ini memang mengambil porsi paling besar dalam penentuan harga BBM.

Selain faktor harga minyak mentah dunia yang sedang meningkat, nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar juga jadi alasan kuat harga BBM nonsubsidi harus naik. Kurs rupiah yang melemah akan meningkatkan biaya pokok produksi.

Namun perlu diketahui bahwa kenaikan harga yang ditetapkan Pertamina untuk tiga BBM nonsubsidi kali ini nilainya relatif masih di bawah nilai keekonomian yang seharusnya. Bisa dibandingkan dengan SPBU swasta yang menjual BBM jenis yang sama dengan harga yang lebih tinggi. Sebab, harga mereka memang menyesuaikan harga minyak mentah dunia.

‘’Menurut perspektif saya, Pertamina cenderung menahan kenaikan harga sedikit lebih rendah dari yang seharusnya karena dua alasan utama. Pertama, adalah menjaga daya beli masyarakat tak terkecuali masyarakat pengguna BBM ron tinggi. Kedua, yang terpenting adalah menghindari migrasi besar-besaran dari pengguna BBM ron tinggi ke jenis BBM yang lebih rendah. Disparitas harga yang terlalu tinggi bisa memicu migrasi tersebut,’’ ujarnya.

Memang potensi migrasi cenderung kecil, meski tetap harus diwaspadai. Persentase pengguna pertamax turbo, pertamina dex, dan dexlite, sangat sedikit sekali. Dampak positif bagi aspek keuangan Pertamina juga dipastikan tidak akan terlalu signifikan. Pengguna pertamax turbo dan Ron 95 lainnya, yang hanya sekitar 5 persen dari total konsumsi BBM nasional.

‘’Di saat yang sama, harga gas elpiji nonsubsidi juga naik. Tapi jika ditanya apakah ini semua akan berdampak pada inflasi Juli 2022, maka jawabannya adalah tidak terlalu signifikan. Sama seperti pengguna BBM nonsubsidi, pengguna elpiji 12 kg juga sangat segmented,’’ ujarnya.

Hanya 6 persen dari total penggunaan elpiji secara nasional. Berdasarkan data Pertamina, porsi pengguna elpiji nonsubsidi itu hanya 7,4 persen dari total pengguna elpiji secara nasional. Jadi 92 atau 93 persennya adalah pengguna elpiji 3 kg.

Pemerintah dan Pertamina perlu terus melakukan sosialisasi mengenai subsidi tepat sasaran. Setidaknya memberikan penjelasan bahwa penerima subsidi hanya untuk masyarakat yang tidak mampu.

Program pembatasan BBM subsidi seperti saat ini harus diteruskan dan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Tidak kalah penting adalah perlunya reformasi subsidi dari berbasis barang ke berbasis orang harus disegerakan.(ayi/anf/agt/dee/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook