Rupiah Terus Melemah, Menko Beri BI Dua Pilihan

Ekonomi-Bisnis | Kamis, 10 Mei 2018 - 11:58 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah pada perdagangan, Rabu (9/5) berada di kurs Rp14.074 atau terdepresiasi 38 poin dari perdagangan sebelumnya Rp 14.036. Rupiah diperdagangkan di kisaran Rp14.144 (kurs jual) dan Rp14.004 (kurs beli).

Kondisi ini terus terjadi awal Maret 2018. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan sebetulnya kondisi melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat normal saja. Sebab, seluruh transaksi valas di negara lain juga mengalami hal yang sama.

Baca Juga :AS Setujui Penjualan Senjata ke Israel Senilai Rp2,3 T

Apabila kondisi ini terus terjadi berlarut-larut, kata Darmin, Bank Indonesia tidak memiliki pilihan lain, selain membiarkan kurs terus melemah atau menaikkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate. “Tekanan itu membuat kita sebenarnya tinggal memilih, biarkan kursnya melemah atau suku bunganya dinaikkan,” ujar Darmin ditemui di Rokan Hilir, Riau, Rabu (9/5).

Dia melanjutkan Bank Indonesia juga sudah mengantisipasi mengenai rencana kenaikan suku bunga. Namun, hal itu baru akan diputuskan saat Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan setiap tanggal 16 atau 17. Sehingga, Bank Indonesia belum dapat menaikkan suku bunganya.

Kendati begitu, Darmin menekankan meski BI belum menaikkan suku bunga acuannya dan nilai rupiah telah menembus batas psikologis pasar yang sudah mencapai Rp 14.000 per USD, kondisi ekonomi dalam negeri tidak masalah. “Walaupun begitu jangan kemudian dibawa-bawa kalau Rupiah  14.000 masalah. Tak masalah,” tuturnya.

Sementara itu, ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai posisi tersebut mempengaruhi psikologis banyak pihak. Menurut Komisaris Independen Bank Permata ini, kondisi tersebut mengingatkannya kepada krisis tahun 1998. Pemerintah perlu menjaga efek psikologis pelemahan ini.

“Memang betul bahwa rupiah melemah tak sendirian, negara lain juga mengalami. Saya mencatat satu angle yang mungkin pemerintah dan BI kurang peka menanggapi hal ini. Sebab secara psikologi membuat nyaman,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (9/5).

‘’Seolah-olah kita deja vu ke-20 tahun lalu. Ini mirip level krisis 98. Ada aspek psikologis yang harus dijaga. Kalau bisa jangan bisa terlampaui,” tambahnya.

Pelemahan yang terjadi memang bukan yang terburuk. Sebab, ada Argentina yang nilai tukarnya tersungkur lebih dalam. Namun, kejadian itu segera diantisipasi Negeri Tango dengan cara menaikkan suku bunganya menjadi 40 persen.(uji/hap/das)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook