Menulis adalah sebuah kesadaran agar kita tetap merawat ingatan. Sebuah proses melawan lupa, sebuah “penyakit” yang dari waktu ke waktu menggerogoti otak kita karena bertambahnya usia.
Oleh Hary B Koriun
DALAM semesta kosmologi kita, menulis bisa menjadi jalan untuk membuka ruang-ruang baru dan hal-hal baru agar juga tercipta ide-ide baru, meskipun hal itu tidak serta-merta menjelaskan bahwa semua ide yang dibangun itu benar-benar baru secara harfiah. Tetap ada jejak-jejak “lain” yang terus menempel, karena pada dasarnya tidak ada hal yang benar-benar baru di dunia ini.
Terbukanya ruang-ruang yang “dianggap” baru tersebut bisa terjadi jika ada keingian untuk terus mencari, menelisik, menembus, atau bahkan membongkar hal-hal yang selama ini barangkali tak terlihat secara kasat mata. Sesuatu yang biasa ada di depan kita, bukan berarti biasa juga bagi orang lain.
Proses pemahaman satu orang dengan orang lain akan berbeda seiring kemampuannya, instingnya, atau pisau metodologi yang berbeda. Dengan begitulah ide-ide itu muncul, yang kadang menembus batas, atau melompati pemikiran-pemikiran yang biasa dan sehari-hari, yang sering penuh dan kejumutan yang menjemukan.
Dalam dunia menulis, proses mencari, menelisik, menembus, atau membongkar tersebut adalah salah satu cara untuk membangun sebuah dunia lain yang sebelumnya berada dalam angan dan sumir, menjadi sebuah teks. Terks tersebut juga tidak serta-merta menghadirkan kenyataan, tetapi menjadi penunjuk jalan bagi orang yang membacanya dalam memahami ide-ide yang kita bangun dari alam angan-angan, sebuah kosmologi yang tak jelas bentuknya, tetapi jelas ada, meski itu hanya potongan-potongan yang terpisah dan tak beraturan. Penulis yang baik bisa menjadikan potongan-potongan yang tak beraturan itu menjadi sebuah konsep teks yang kemudian bisa dipahami. Bahkan dinikmati.
Cerita pendek (cerpen), dalam hal ini, adalah salah satu jenis prosa-fiksi yang banyak diminati oleh para penulis dalam mengekspresikan ide-ide yang dimiliki penulisnya. Seperti halnya karya fiksi lainnya, cerpen juga memerlukan apa-apa yang saya sebutkan di atas. Cerpen, dengan pendeknya ruang ekspresi, yang banyak disebut sebagai bacaan “sekali duduk”, yang di Indonesia lebih identik dengan koran –makanya muncul istilah “cerpen koran” yang dibatasi ruang ekspresi teks di atas kertas-- sebenarnya adalah salah satu wahana untuk menyampaikan ide-ide yang didapat dari kosmologi yang tak jelas bentuknya itu, menjadi sebuah teks yang lebih jelas, yang memiliki kekuatan tersendiri baik dalam struktur, ideologi yang ingin disampaikan, pilihan kata dan kalimat, hingga teknik bercerita yang kuat dan berbeda dengan prosa lainnya. Istilah power of short menjelaskan hal itu, bahwa cerpen punya ciri khas yang seharusnya tidak ditemukan di karya-karya prosa lainnya.
Pendeknya, kekhasan cerpen ini, menjadi sebuah bentuk yang menjelaskan bahwa cerpen bukanlah karya panjang yang dibikin pendek, bukan ringkasan sebuah novel, naskah drama, biografi, otobiografi, atau yang lainnya.
***
ADA 20 cerpen yang terbit dalam Kumpulan Cerpen Balian, Roh Leluhur yang Diundang ini. Ditulis oleh 19 pengarang yang semuanya dari Riau. Minimal tinggal dengan KTP Riau, sebagai persyaratan untuk mengikuti Lomba Cerpen Festival Sastra Sungai Jantan (FSSJ) yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kabupaten Siak. Ini adalah untuk pertama kalinya --sepengetahuan saya-- sebuah kabupaten di Riau mengadakan lomba penulisan cerpen.
Selain cerpen, juga diperlombakan genre naskah drama dan puisi. Dari sisi penyelenggaraan lomba ini, kita perlu memberi apresiasi yang tinggi. Untuk tingkat umum, rasanya sudah lama sekali tak ada lomba serupa ini di Riau. Yang ada dan sering dilakukan adalah lomba untuk tingkatan sekolah yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau dan lembaga lain.
Saya, juga kita, bisa membayangkan, seandainya lembaga pemerintah daerah di kabupaten/kota di Riau menyelenggarakan lomba serupa ini setiap tahunnya, sudah ada 12 lomba. Ini belum lembaga, sanggar, komunitas, dan sebagainya yang mungkin juga bisa menyelenggarakannya. Jika itu, terjadi akan banyak iven dan pasti akan banyak karya yang lahir dari iven-iven itu yang juga akan menjadi kekayaan kesusasteraan Riau.
Dari iven FSSJ saja bisa terlihat banyaknya naskah yang masuk, dan kemudian dipilih 20 naskah yang dibukukan. Dari 19 penulis yang karyanya masuk dalam antologi ini, hanya beberapa penulis yang karyanya penah tersiar di beberapa media atau sudah berkutat cukup lama dalam dunia tulis-menulis. Mereka antara lain Ahmad Ijazi, Cikie Wahab, Deni Afriadi, Alvi Puspita, Rian Harahap, dan Eko Rahil. Nama-nama lain seperti Lusi Arfani, Kitty Andriani, Dodi Dosh, Essy Fenbriati, Darwin, Bella Syakita, Wan Malinda, Nur Zakaria Ahmad, Risti Mora Langkuti, Hendri Joni, Robiatul Adawiah, Kisnawati Tiandiani, dan Nur Rizka Ahmad relatif nama baru dalam dunia penulisan cerpen di Riau.
Artinya, 13 nama baru yang masuk dalam kumpulan cerpen ini, plus nama lainnya yang mengikuti lomba tapi karyanya tak masuk 20 cerpen yang dibukukan, adalah “kekayaan” baru dunia kepenulisan di Riau, terutama cerpen, yang jika mendapatkan tempat dan ruang untuk mengasah diri, akan menjadi kekuatan baru dunia sastra di Riau. Cara mengasah diri adalah terus menulis dan ikut bersaing dalam publikasi di berbagai media atau buku, lomba, dan sebagainya.
Apakah publikasi penting? Jika karyanya tidak dipublikasikan, apakah yang bersangkutan tak bisa disebut penulis atau pegiat sastra?
Dalam sebuah diskusi sastra, ada seorang peserta yang bertanya tentang itu. Dia berpendapat bahwa bagi seorang penulis, tugasnya adalah menulis. Meskipun setelah itu tulisannya dimasukkan ke dalam laci, dia tetap punya karya, dan bisa dikatakan seorang penulis. Dia tidak setuju bahwa seseorang baru bisa disebut penulis kalau karyanya sudah dipublikasikan di media.
“Hebat sekali redaktur media bisa menentukan seseorang bisa disebut penulis atau sastrawan hanya berdasarkan pilihan dia?” katanya, protes.