Di masa sulit, apapun dilakukan orang untuk memenuhi keperluan keluarganya. Apalagi di saat pandemi Covid-19 saat ini, ekonomi masyarakat khususnya di Kota Duri terancam. Namun, lain halnya yang dilakukan seorang ayah di Kota Duri ini.
Laporan RPG Duri
DURI (RIAUPOS.CO) - SIANG itu langit Kota Duri terasa panas, dari kejauhan Zainal tak lelah menyusuri Jalan Hang Tuah, dari pintu ke pintu, warung, rumah dan ruko, ia menjajakan kuenya.
Tampak sesekali ia menyeka keringatnya, apalagi di masa pandemi kini semakin mengkuatirkan. Bisa dibayangkan bila kue dagangannya hanya laku tiga atau lima kue. Dia pulang ke rumah, mengantongi rupiah hanya beberapa lembar uang ribuan.
Belum kering keringat pria paruh baya itu, ketika singgah di Yong Kopi. Kalau itu ia terlihat mengenakan topi warna abu-abu, untuk sekedar menutupi kepalanya dari sengatan matahari. Ia menenteng keranjang kue. Di dalam keranjang plastik warna merah itu, ada sala, lontong, kerupuk jengkol, kue talam, onde-onde, kadang juga risoles.
Hari itu di meja nomor tujuh, ada pelanggan membeli dua kue talam seharga 12 ribu rupiah. Nampak wajah ceria, dari raut mukanya, meski siang itu dagangannya masih tersisa beberapa.
Dia dipanggil akrab Ajo Zainal, juga biasa dipanggil Da Nal, usia 60 tahun, pria keturunan Pariaman yang mengaku menekuni usaha 25 tahun, berjualan kue kampung dan jajanan lain, dengan berjalan kaki, mengelilingi kota Duri, dari pagi hingga sore hari.
Berjualan dengan berjalan kaki, di tengah kemajuan teknologi dan informasi adalah sesuatu yang langka. Menurutnya, dengan jalan kaki ia lebih bebas berjualan, meski terasa melelahkan. Ia juga harus bertarung di tengah pandemi, agar usahanya tidak terhenti dan cukup untuk menafkahi anak dan istri.
Rute perjalanannya, pagi mulai keliling hingga siang. Tengah hari pulang, untuk sejenak istirahat, makan dan salat. Lalu pukul 13.00 WIB siang kembali berjalan kaki menjajakan kue dagangannya, hingga pukul 18.00 WIB.
Pekerjaannya yang menuntut kekuatan pada kaki untuk berjalan hingga selama 25 tahun itu. Pria keturunan Pariaman, lahir di Tanjung Batu, Kondur, menghabiskan masa kecilnya di Bengkalis, Pekanbaru dan Dumai. Lalu menyelesaikan pendidikan menengahnya di Kabupaten Kampar.
Ia mengaku, dulu pernah kerja di PT Supraco. Berhenti tahun 2002 karena ada pengurangan tenaga kerja. Itulah awalnya ia memutuskan untuk berjualan keliling, meski ketika masih kerja, setiap pulang kerja atau hari libur, dia sudah terbiasa jualan di pasar.
"Sekarang karena pandemi, pendapatannya sekitar 60 – 70 ribu per hari. Sebelum pandemi, dapat meraup keuntungan seratus ribuan," ujarnya.
"Pernah disuruh ganti usaha sama orang, tapi seperti terus terhalang, karena ipar saya usaha ganti ini, ganti itu, akhirnya macet juga," keluhnya.
Ia bercerita, suatu hari ada orang yang menyuruh datang ke rumahnya dan menawarinya sepeda motor, untuk berjualan, tapi ia tolak. Karena dilarang sama istri. Merasa hawatir kalau pakai motor, nanti terjadi apa-apa. Orang itu bersedia memberinya uang muka motor, meski ia harus bayar angsurannya sendiri.
Di hari lain, ada orang Batak yang baik hati, mau memberi uang berapapun, asal dia mau ganti usaha lain, tidak lagi jualan jalan kaki. Meski akhirnya ditolaknya juga. "Suatu hari, saya ajak istri, untuk mau berjualan di tepi jalan, tapi istri tetap nggak mau. Itulah sebabnya saya jualan dengan jalan kaki, sampai kini," ujarnya.(***)