TELATAH RAMADAN OLEH M NAZIR KARIM KETUA MUI RIAU

Takwa dan Bermanfaat

Begini Ceritanya | Selasa, 28 April 2020 - 10:15 WIB

Takwa dan Bermanfaat
M Nazir Karim (Ketua MUI Riau)

TUJUAN puasa adalah mencapai ketakwaan. Ketakwaan adalah memelihara diri dari segala yang membahayakan dan menyengsarakan hidup, dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ketakwaan dapat dipandang sebagai ukuran derajat kemanusiaan manusia. Semakin tinggi ketakwaan seseorang, semakin tinggi derajat kemanusiaannya.

Ketakwaan dalam arti sebenarnya mencerminkan bukan hanya ketakwaan pribadi, tetapi juga ketakwaan yang mampu melahirkan kebajikan komunitas, yang berguna bagi orang banyak. Dapat dikatakan bahwa manusia yang mulia di mata Allah adalah manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak. Orang yang tidak bermanfaat bagi orang banyak bukan orang saleh dan bukan pula orang bertakwa.


Manfaat bagi orang banyak adalah ukuran atau bukti kebaikan, yang sekaligus adalah ukuran ketakwaan dan kesalehan. Nabi Muhammad mengatakan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi harus diingat bahwa semua perbuatan yang dilakukan untuk kesalehan harus disertai dengan niat untuk mengabdi kepada Tuhan. Jika suatu perbuatan tidak disertai niat untuk mengabdi kepada Tuhan, akan timbul godaan kuat untuk pamer diri (riya’).

Puasa yang berhasil mencapai tujuannya, yaitu ketakwaan, melahirkan sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kesabaran, ketabahan, kepedulian sosial, kedermawanan, kasih sayang, keramahan, dan toleransi. Puasa yang lebih tinggi kualitasnya bukan hanya menahan diri dari perbuatan yang membatalkannya, tetapi juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan tercela seperti: berbohong, menipu, memfitnah, bergunjing, mendengar yang tidak bermanfaat, melakukan kekerasan, menghina, dan mencaci-maki.

Pesan takwa dalam puasa ini perlu dipahami di tengah gejala menguatnya sentimen di kalangan barat terhadap Islam. Bahwa Islam adalah musuh Barat pasca keruntuhan komunisme di Eropa Timur. Jauh masa sebelum keruntuhan komunisme, sentimen permusuhan itu sebenarnya juga telah ada, tetapi penguatan sentimen itu belum mendapat tempat, sebab ketika komunisme masih berdiri kokoh, barat mempunyai dua musuh, Islam dan komunisme.

Praktis, penguatan sentimen itu mendapat tempat, sehingga intensitas terhadap Islam sebagai sebuah agama, umat dan komunitas sosial semakin tinggi. Barat yang telah mencapai suatu bangunan peradaban yang tinggi dengan modal kapitalisme dan imperialisme, menganggap peradaban mereka adalah superior dan Islam adalah inferior.

Dalam pandangan Barat, Islam adalah agama teroris, terkebelakang dan tidak beradab. Islam tidak lagi dilihat sebagai agama yang menawarkan kemuliaan, ketinggian, keharmonisan dan kebersamaan. Terlepas dari permusuhan itu, yang jelas dunia telah memecah Islam menjadi dua dimensi asumsi. Dimensi pertama adalah Islam dalam dimensi keselamatan dan keamanan. Kedua Islam dalam wujud terorisme. Dimensi Islam dalam bentuk kedua ini benar-benar telah mengakar dalam benak sebagian besar masyarakat Barat, Eropa dan segelintir masyarakat Asia. Mereka melihat Islam adalah terorisme.

Terorisme yang mereka tuduhkan terhadap Islam tersebut pada dasarnya merupakan pembajakan terhadap nilai ajaran jihad dalam Islam. Bom-bom yang diledakkan dengan jelas menunjukkan ideologi kekerasan yang dililitkankan dengan keagungan ajaran agama Islam. Islam oleh pengusung ideologi terorisme, dijadikan sebagai legitimasi teologis dan justifikasi untuk kekerasan yang mereka lakukan.

Kasus bom bunuh diri dan deretan pemboman lain di wilayah nusantara dengan kentalnya sentimen agama dalam lima tahun terakhir, selalu berakar pada konsep “jihad” di dalam Islam. Jihad kerap diartikan sebagai perjuangan fisik yang berbuntut pada penghalalan atas penyerangan, kekerasan, bahkan permusuhan terhadap pihak lain. Sebenarnya, terorisme dalam bentuk yang ultim seperti kasus bom bunuh diri, hanyalah sisi parsial dari ekstremisme beragama.

Bila Islam dilihat dari terorisme, maka Islam bukan lagi Islam yang berasal dari kata aslama yang berarti keselamatan. Tetapi Islam yang berasal dari azlama yang berarti aniaya dan kegelapan. Pada akhirnya kata ini akan merujuk pada kekejaman, kekerasan dan kebencian. Bila Islam telah dipandang berasal dari kata azlama ini, maka bunyi Islam telah berubah. Islam bukan lagi berbunyi Islam tetapi berbunyi Izlam, yang sesuai dengan asal katanya, azlama. Orang yang menganut paham izlam ini disebut muzlim. Bunyi izhlam dan muzhlim itu, tidak dapat dipungkiri memiliki bunyi sangat mirip dengan bunyi Islam itu sendiri. Sangat tipis perbedaan bunyi kedua kata ini.

Padahal agama keselamatan bagi umat manusia. Sebab Islam berasal dari kata aslama yang berarti menyerahkan diri dengan ikhlas dan mengikhlaskan sebuah perbuatan atau pekerjaan. Islam juga bisa berarti keselamatan dari sesuatu hal yang membahayakan, menyengsarakan atau gangguan dan ancaman. Arti yang seperti ini diambil dari kata salima min. Selain itu, Islam juga bisa berarti sejahtera, kesejahteraan atau tempat sejahtera. Makna ini diambil dari kata salam.

Dari makna kebahasaan di atas, kita bisa melihat bahwa Islam bisa berarti sebagaimana sebuah agama, yaitu agama Islam, dan bisa juga menjelma sebagai sikap jiwa dan kepribadian seseorang, yaitu kepribadian dan jiwa yang Islam. Kepribadian dan jiwa yang Islam itu adalah kepriabadian dan jiwa yang menyelamatkan, mengamankan, mensejahterakan, membahagiakan dan menjadi pelopor kebebasan. Dalam muatan ajarannya, semua makna itu telah dipenuhi oleh Islam. Artinya, makna kekebasan ini tidaklah muluk-muluk, dan tidak pula bersifat teori belaka. Dalam berbagai hukum dan aturannya, semua ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Islam itu kerujuk pada makna tersebut di atas. Islam lahir untuk membebaskan manusia dari segala macam bentuk penindasan, Islam lahir untuk menyejahterakan, membahagiakan dan memberi jaminan keamanan bagi umat manusia. Dan banyak lagi jaminan Islam bagi tegaknya hak-hak azazi manusia.

Pengembangan dari aturan Islam seperti itu adalah bahwa seseorang yang mengaku muslim harus bisa mengemban tanggung jawab seperti itu. Seseorang muslim harus menyelamatkan, mengamankan, menyejahterakan, membahagiakan dan membebaskan manusia lain. Nabi Muhammad saw telah menegaskan hal ini. Dalam sebuah hadits ditegaskan bahwa seorang muslim itu adalah orang yang selamat dari lidah dan tangannya dari perkataan buruk dan perbuatan buruk. Muslim adalah orang yang memberi makan pada fakir miskin. Muslim adalah orang yang selalu mengucapkan salam (memberikan kebaikan) pada semua orang, baik yang dikenal ataupun yang tidak dikenalnya.

Muslim yang paling baik adalah orang yang menyebarkan perdamaian pada seluruh manusia. Muslim itu tidak boleh bertindak zalim dan tidak pula boleh dizalimi. Muslim itu bukanlah pencercah dan pengutuk, tetapi muslim itu adalah pemuji dan penyantun pada semua orang. Inilah dimensi Islam itu, yaitu dimensi keselamatan dan keamanan bagi umat manusia. Ini berarti Islam adalah agama anti teroris. Untuk membangun asumsi seperti itu terhadap Islam, tentu kita harus pandai-pandai membawa Islam itu sendiri. Sebab sebagaimana tipisnya perbedaan bunyi antara Islam dan Izlam, dunia juga sulit membedakan mana perbuatan pribadi muslim dan mana pula perbuatan prinsip Islam. Sehingga bila ada seseorang yang kebetulan melakukan perbuatan jahat, maka diasumsi pula Islam itu yang jahat.

Takwa yang diamanatkan oleh puasa adalah penciptaan pribadi-pribadi muslim yang menyejahterakan, membahagiakan, mengamankan, menyelamatkan dan membebaskan dirinya dan manusia lain. Takwa tidak mengajarkan pribadi-pribadi yang berbuat aniaya, teror dan perbuatan jahat lain. Di saat wabah Covid-19 saat ini melanda dunia, maka orang yang bertakwa harus bermanfaat bagi umat. Bukan sebaliknya, menjadi ancaman bagi yang lain. Bermanfaat bukan hanya dalam bentuk sedekah, infak, tetapi pemikirannya banyak memberikan solusi dan yang paling lemah, bagi orang yang bertakwa adalah mendoakan sesame umat Islam.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook