Komisi II DPRD Riau belakangan rutin memanggil perusahaan yang beroperasi di sejumlah wilayah di Provinsi Riau. Salah satunya adalah PT Safari Riau. Di mana, rapat yang dipimpin Ketua Komisi II Robin Hutagalung itu turut dihadiri Grup Manager PT Safari Riau Indra, Dinas Perkebunan Kabupaten Pelalawan, tokoh pemuda hingga tokoh masyarakat.
Ada banyak persoalan yang dibahas pada saat rapat. Utamanya mengenai polemik yang dialami masyarakat Desa Terantang Manuk, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan. Di mana hasil dari pola Kemitraan Koperasi Premier Anggota (KKPA) yang seharusnya dinikmati masyarakat, namun dinikmati atas nama keluarga pejabat.
Hal itu terungkap saat salah seorang tokoh pemuda yang hadir mempertanyakan hasil dari KKPA tersebut. Sejak awal, perusahaan bersikeras bahwa nama yang terdaftar dalam KKPA tersebut bukanlah masyarakat setempat. Hal itu pun diaminkan oleh Anggota Komisi II DPRD Riau Sugianto yang merupakan legislator asal Pelalawan. Kata dia, ada sekitar 100 hektare lahan KKPA yang dikeluarkan perusahaan di atas namakan keluarga pejabat setempat. Mulai dari pemerintah desa, kecamatan hingga pejabat tinggi yang menjabat sejak 2011 lalu.
"Ini kan berdasarkan nama yang diberikan. Kami cek. Masyarakat juga mengakui bahwa ada nama mereka dalam KKPA yang berjumlah 750 hektare secara keseluruhan. Nah mereka mengakui bahwa 100 hektare ini diberikan secara khusus atas rekomendasi pejabat desa setempat. Bahkan saat ditanyakan, apakah perusahaan tahu siapa nama pemilik 100 hektare lahan itu siap, perusahaan mengaku tidak tahu," ujar Sugianto.
Politisi PKB itu menambahkan, pemberian hasil dari KKPA itu patut diduga merupakan bentuk gratifikasi oleh pihak perusahaan supaya mempermudah seluruh urusan perusahaan di sana. Baik secara administratif maupun urusan lainnya yang berkaitan dengan kepemerintahan. Bahkan, lanjut dia, dalam rapat juga terungkap pembagian hasil KKPA yang semula diakui oleh perusahaan seluas 100 hektare kebun, melainkan lebih dari jumlah tersebut. Itu berdasarkan pengakuan tokoh pemuda yang hadir pada saat rapat.
Termasuk nama pemerintah kecamatan di sana. Ia sendiri tidak mengetahui pasti, apakah uang yang dihasilkan dari pola KKPA tersebut mengakir ke kantong camat terkait atau ke kas daerah. Karena secara hukum, bila ada nama pemerintah kecamatan sebagai penerima hasil KKPA, maka uang yang diterima wajib menjadi pendapat asli daerah (PAD) setempat. Bukan masuk ke kantong pribadi. Hal itulah yang dikatakan Sugi akan terus di telusuri hingga masyarakat sekitar benar-benar mendapatkan haknya.
"Harusnya itu tercatat sebagai aset. Masuk ke APBD. Tidak ada istilah aset atau pendapatan kecamatan," sambungnya.
Sementara itu, Grup Manajer PT Safari Riau Indra saat dikonfirmasi Riau Pos membantah tudingan di atas. Ia memastikan bahwa daftar nama penerima hasil KKPA berasal dari usulan pemerintah desa setempat. Bahkan untuk mendapatkan nama penerima tersebut, melalui hasil urung rembuk bersama seluruh stakeholder terkait, mulai dari masyarakat setempat, tokoh adat hingga pemerintah desa. Setelah urung rembuk disepakati, maka munculah nama-nama yang direkomendasikan pemerintah desa untuk mendapatkan hasil dari KKPA tersebut.
Sedangkan untuk pola kemitraan sendiri, penerima KKPA menerima 15 persen dari total penjualan hasil kebun. Sisanya dikeluarkan untuk biaya produksi dan biaya-biaya lainnya yang di anggap perlu. Dirinya mengakui bahwa jumlah KKPA yang dikelola mencapai 750 hektare secara menyeluruh. Begitu juga dengan dugaan gratifikasi yang dialamatkan kepada pihaknya.
Menurut Indra, gratifikasi sendiri lazim dikerjakan dengan cara sembunyi-sembunyi. Namun yang terjadi penunjukan penerima KKPA dilakukan secara terbuka dengan melibatkan masyarakat hingga tokoh adat setempat. "Tidak ada gratifikasi. Kalau gratifikasi pasti dilakukan sembunyi. Ini tidak. Kami undang semua masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat hingga pemerintah desa. Nah nama-nama tersebut juga di rekomendasikan pemerintah desa. Kami tidak tahu nama-nama itu," ujarnya.(adv)