(RIAUPOS.CO) -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, menanggapi putusan MA terkait vonis bersalah kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pada pemerintah dengan menjelaskan secara gamblang awal mula sejarah gugatan tersebut.
Gugatan tersebut dilandasi kejadian Karhutla tahun 2015. Kejadian yang menghanguskan sekitar 2,6 juta ha lahan dan hutan itu, terjadi kurang dari setahun Presiden Jokowi menjabat. Karhutla sebelumnya sudah rutin massif terjadi selama hampir 20 tahun.
‘’Waktu baru menjabat, Presiden dan kita semua sebenarnya sudah mengikuti gerak hotspot atau titik apinya dengan turun ke lapangan. Tapi sayangnya memang tidak tertolong, titik api sudah membesar di 2015. Karena baru menjabat, tentu kami semua harus pelajari penyebabnya, ada apa nih begini? Kenapa? Dimana letak salahnya? Ternyata banyak yang salah-salah dari yang dulu-dulu, dan Pak Jokowi justru membenahi yang salah-salah itu,’’ jelas Menteri Siti Nurbaya pada media, Sabtu (20/7/2019).
Diungkapkan Menteri Siti, karhutla dulunya ternyata disebabkan persoalan berlapis di tingkat tapak. Mulai dari lemahnya regulasi, sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka.
’’Ada konsensi buka lahan pakai kontraktor dengan menyuruh rakyat untuk bakar, setelah itu mereka lari. Itu memang terjadi dan terus terjadi berulang. Dulu penegakan hukumnya lemah sekali, tata kelola lahannya kacau, ada korporasi besar tapi tak punya peralatan pemadaman, penetapan status yang lamban karena kepemimpinan di daerah lemah, alih fungsi lahan yang bermasalah, izin yang tidak sesuai peruntukan, dan banyak sekali masalah lainnya. Jadi saat kejadian Karhutla 2015 itu, memang luar biasa kita menabung ilmu masalahnya. Instruksi Presiden Jokowi setelah itu jelas: Perbaiki, benahi, jangan ada kejadian karhutla lagi. Apalagi sampai terjadi asap lintas batas ke negara tetangga,’’ ungkap Menteri Siti.
Dalam waktu relatif singkat pasca Karhutla 2015, di bawah instruksi Presiden Jokowi, dikeluarkan berbagai kebijakan dan langkah koreksi besar-besaran untuk pengendalian Karhutla.
Diantaranya dengan keluarnya Instruksi Presiden nomor 11/2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla, Inpres 8/2018 tentang moratorium izin, PP 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor: 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, hingga pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Sementara di KLHK, dikeluarkan kebijakan krusial seperti Peraturan Menteri LHK nomor 32/2016 tentang pengendalian Karhutla, membenahi tata kelola gambut dengan baik dan berkelanjutan melalui pengawasan izin, penanganan dini melalui status kesiagaan dan darurat Karhutla, dan berbagai kebijakan tekhnis lainnya.
’’Jadi paradigma menangani Karhutla berubah total. Kalo dulu, api sudah besar saja belum tentu Pemda-nya ngapa-ngapain. Pemerintah pusat juga gak bisa bantu karena harus nunggu status dulu. Harus nunggu api besar dulu baru dipadamin, itu yang menyebabkan bencana berulang-ulang. Kalau sekarang kita antisipasi dari hulu hingga ke hilir. Terjadi perubahan paradigma dari penanggulangan ke pengendalian. Kebijakannya melibatkan banyak stakeholders, termasuk para pemilik izin konsesi. Semuanya berubah total di bawah pengawasan penuh pemerintah,’’ ungkap Menteri Siti.
Pengendalian yang dimaksud mulai dari tahap perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pasca kebakaran, koordinasi kerja, hingga pada tahap status kesiagaan. Pengendalian Karhutla juga melibatkan TNI/Polri, BNPB, dan lembaga lainnya secara bersama-sama.
KLHK juga menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan keluarnya fatwa haram bagi pelaku pembakaran lahan dan hutan. Selain juga meningkatkan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM) Dalkarhutla hingga ke tingkat tapak.
Hal paling krusial lainnya, untuk pertama kali dilakukan penegakan hukum multidoors bagi pelaku pembakar karhutla, yakni dengan langkah hukum pidana, perdata dan administrasi. Langkah hukum ini tidak hanya menyasar perorangan, tapi juga korporasi.
Dalam kurun waktu 2015-2018 lebih hampir 550 kasus dibawa ke pengadilan baik melalui penegakan hukum pidana maupun perdata. 500 perusahaan dikenakan sanksi administratif terkait pelanggaran yang dilakukan, bahkan ada yang dicabut izinnya. Untuk pengamanan kawasan hutan dan sumberdaya kehutanan lebih dari 713 operasi pengamanan dilakukan dengan melibatkan KLHK, Kepolisian dan TNI.
Kasus karhutla yang berhasil dimenangkan nilainya mencapai Rp18 triliun, dan menjadi nilai terbesar sepanjang sejarah tegaknya hukum lingkungan pasca karhutla 2015.
’’Untuk menegakkan hukum ini sangat tidak mudah. Kita sampai berkali-kali digugat balik, saksi ahli juga sampai digugat, tapi kita tidak gentar. Penegakan hukum ini penting untuk memberikan efek jera, agar tak ada lagi yang berani main-main dengan aturan pencegahan terjadinya karhutla berulang,’’ tegas Menteri Siti.
Dengan berbagai kebijakan dan upaya seperti di atas, hasilnya bisa dirasakan masyarakat terutama di daerah rawan. Indikatornya dapat terlihat dari penurunan hotspot dari tahun ke tahun, dan berkurangnya luasan lahan terbakar, terutama kawasan gambut. Penurunan jumlah hotspot tahun 2018 dibandingkan tahun 2015 mencapai 82,14% (Satelit NOAA) atau 94,58% (Satelit Terra Aqua).
Dengan adanya corrective action terutama pada penetapan status kesiagaan dan keterlibatan lintas instansi, terjadi pengurangan jumlah hari status tanggap darurat karhutla. Bahkan sepanjang tahun 2016-2018, Indonesia tidak mengalami status Darurat akibat Karhutla. Luas area terbakar berkurang menurun hingga 92,5 %. Dari 2,6 juta ha di 2015, menjadi 194,757 ha di 2018.
’’Pada kejadian 2015 dan tahun-tahun sebelumnya, Indonesia selalu mengekspor asap ke negara tetangga. Tapi setelah perubahan besar-besaran di era Presiden Jokowi, Alhamdulillah, tidak ada lagi bencana asap skala nasional dan tidak ada lagi asap lintas batas. Itu dirasakan rakyat di daerah rawan, diakui oleh para pemimpin negara sahabat dan disampaikan di forum-forum resmi internasional,’’ kata Menteri Siti.
Indonesia bahkan menjadi rujukan informasi dan pusat pengetahuan berbagai negara di dunia dalam hal tata kelola gambut, ditandai juga dengan berdirinya International Tropical Peatland Centre atau Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC).
‘’Pemerintahan Presiden Jokowi banyak mendapat pelajaran penting dari kejadian karhutla tahun 2015, dan sudah banyak langkah koreksi yang dilakukan, baik dalam bentuk kebijakan maupun regulasi berlapis. Indonesia yang tadinya dikenal gambutnya sering terbakar, sekarang justru jadi rujukan negara lain untuk belajar,’’ kata Menteri Siti.
Dengan aturan berlapis dan sanksi hukum yang tegas, kepatuhan korporasi dalam pengendalian karhutla juga meningkat. Dalam mengurai kasus Karhutla yang demikian rumit, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, ditegaskan hadir bagi setiap lapisan masyarakat.
Perihal gugatan yang kemudian dilayangkan kepada Pemerintah, Menteri Siti mengatakan pihaknya menghormati setiap proses hukum. Demikian pula dengan langkah PK yang dilakukan, juga merupakan upaya mempertegas kembali bahwa pemerintah sudah melakukan banyak perubahan menangani Karhutla pasca kejadian 2015.
’’Hikmah dari karhutla 2015, Presiden Jokowi dan seluruh jajaran pemerintah membuat langkah koreksi yang signifikan, hasilnya ada dan nyata. Dalam 4 tahun terakhir, dengan segala tantangan yang sangat tidak mudah, kita mampu menghindari berulangnya kembali bencana Karhutla seperti yang dulu-dulu,’’ tutup Menteri Siti.
Sebagai catatan, Karhutla di Indonesia sebenarnya telah menarik perhatian global sejak kebakaran dahsyat tahun 1982/1983 dan 1997/1998. Pada tahun 1997, Karhutla bahkan sampai menghanguskan sekitar 10-11 juta ha hutan dan lahan di Indonesia. Karhutla dalam skala yang luas juga terjadi lagi pada tahun 2007, 2012 dan 2015, hingga menyebabkan pencemaran kabut lintas batas di wilayah ASEAN. Baru pada tahun 2016, 2017 dan 2018 di masa pemerintahan Presiden Jokowi, Karhutla berhasil diatasi signifikan dan tidak ada asap lintas batas seperti tahun-tahun sebelumnya.(ADV)