Ke mana petugas penyuluh lapangan pertanian, kenapa masih ada petani Teluk Lanus gagal panen. Ke mana dokter, kenapa hanya ada perawat dan bidan di Teluk Lanus. Kenapa warga MCK dengan air gambut. Sudah begitu lama warga Teluk Lanus mendambakan air bersih.
SIAK (RIAUPOS.CO) -- MESKI bukan berada di pulau, namun untuk bisa sampai desa atau Kampung Teluk Lanus, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, memerlukan waktu 6-7 jam menggunakan kapal motor. Tidak ada jalan darat. Dulu diwacanakan bakal ada, bahkan ada jejaknya di Kampung Tanjung Pal, namun sampai kini tak ada kabar kapan jalan itu dilanjutkan untuk membuka isolasi Teluk Lanus yang paling ujung dan terjauh jika tidak ingin disebut terisolir.
Keberangkatan dari Buton, juga tidak bisa setiap hari. Dua sampai tiga hari baru ada kapal dengan ongkos Rp120 ribu. Ongkos Rp120 ribu itu untuk satu orang berikut satu unit sepeda motor. Artinya, warga Teluk Lanus yang pulang dan pergi biasanya bawa sepeda motor. Sepeda motor itu untuk kendaraan selama berada di luar Teluk Lanus.
Lelah iya, karena sepanjang perjalanan hanya duduk dan tiduran di geladak kapal kayu bermesin yang sarat muatan, baik sembako maupun barang kebutuhan lainnya. Untuk membunuh kejenuhan, berupaya bercengkerama dengan penumpang lainnya. Kapal biasanya berangkat sekitar pukul 08.00 atau paling telat pukul 08.30. Sampai Teluk Lanus sekitar pukul 15.00 atau bahkan lebih lama, tergantung ombak dan cuaca. Lamanya perjalanan, tak heran hampir semua penumpang membawa bekal. Terutama bekal makan siang. Meski beli sendiri-sendiri, biasanya saat makan dilakukan secara bersama-sama dan berbagi lauk.
Para penumpang saling kenal, karena kapal itu khusus ke Teluk Lanus. Jika ada wajah baru, seisi kapal akan tahu dan akan bertanya lebih jauh, terutama tentang tempat tinggal dan tujuan ke Teluk Lanus. Hal itu pula yang dilakukan seorang lelaki paruh baya, yang sejak kapal berangkat dia mengaku sangat mengantuk. Nama lelaki paruh baya itu Arjuna. Untuk menghilangkan rasa kantuknya dia membuka cerita, kalau dia adalah seorang pedagang.
Menurutnya, dia dimintai tolong oleh pihak dinas untuk menyalurkan bantuan kepada warga masing masing senilai Rp150 ribu, tapi dalam bentuk beras dan telur. "Saya salah seorang pemilik warung di Teluk Lanus. Saya mendapatkan kepercayaan untuk menyalurkan bantuan sosial atau biasa disebut dengan beras sejahtera (rastra, red)," ungkap lelaki berkumis itu.
Harga-harga relatif tinggi di Teluk Lanus. Selain harus bayar biaya angkut saat berangkat maupun ketika sudah sampai. Ada juga biaya kapal yang membawa barang barang. Air galon misalnya, dihargai Rp10 ribu, sementara gas tiga kilogram dihargai Rp32 ribu sampai Rp33 ribu. Demikian juga dengan harga bensin di atas harga normal.
Pelabuhan Teluk Lanus tinggi dan megah, namun belum dipasang kanopi agar pelabuhan lebih teduh. Untuk penumpang lansia, ibu hamil atau pun anak di bawah umur harus ada yang membantu, karena tangga pelabuhan relatif curam. Perlu ekstra hati-hati untuk menaikinya. Memasuki Kampung Teluk Lanus, terlihat jalan rigit (kaku) atau biasa disebut orang jalan semenisasi dengan lebar sekitar 2 meter lebih. Jalan ini belum mengelilingi kampung dengan 505 kepala keluarga (KK).
Menurut Penghulu Teluk Lanus Irwan Syahroni, ada sekitar 12 km lagi yang mendesak disemen seperti ini, untuk memudahkan warga beraktivitas dan mengangkut hasil pertanian.
"Jalan ini memang harus dibuat sesuai spesifikasinya. Sehingga tahan lebih lama," ungkap Roni.
Meski hanya dilintasi sepeda motor, di beberapa titik jalan sudah hancur, sehingga menyulitkan warga melintasinya. Adapun luas wilayah kampung 55 km persegi, sedangkan permukiman 21 km persegi. Selebihnya ada persawahan dan lokasi pertanian sekitar rumah yang luasnya setengah hektare. Di kampung ini ada tiga dusun. Dusun satu sampai tiga. Dusun satu banyak warga tempatan dan merupakan dusun tua. Di dusun inilah, sekolah dan pustu dan direncanakan dibangun kantor desa baru serta fasilitas olahraga yang lengkap. Saat ini baru ada lapangan sepakbola dan voli.
Dusun dua dan tiga banyak diisi warga baru dan pendatang, meski akhirnya sekarang sudah berbaur. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya sama seperti di wilayah transmigrasi. Sebab mayoritas warga adalah transmigran mandiri. Maksud transmigran mandiri di sini, karena pernah hanya 68 KK di kampung itu. Agar kampung bisa lebih ramai, dibukalah transmigrasi mandiri. Warga yang berminat diberikan lahan untuk bertani di sawah yang telah disiapkan. Dan setengah hektare untuk tapak rumah.
Menggiurkan iya, namun tak banyak yang bertahan. Sebagian atas kemauan sendiri meninggalkan Teluk Lanus. Sebagian lainnya dipaksa pergi karena menyalahi aturan. Aturan baku salah satunya harus membawa anak dan istri ke Teluk Lanus. Boleh bekerja di luar Teluk Lanus, tetapi anak dan istri harus tinggal menjaga rumah. Jauhnya akses ke Teluk Lanus, ditambah tidak adanya angkutan jika harus bepergian mendadak, membuat para transmigran mandiri itu menyerah.
Tapi sekarang, lahan gambut itu berubah jadi permukiman penduduk yang ramai dan di beberapa lokasi ada sarang walet dan persawahan. Sarang walet ternyata tidak hanya satu, tapi hampir belasan jumlahnya. Menurut Irwan Syahroni, pihaknya akan membuat peraturan kampung (perkam) untuk mengatasi agar jumlah sarang walet di sekitar pemukiman tidak terus bertambah. "Saya ingin, wilayah itu bebas dari sarang walet. Terlalu dekat ke permukiman. Saya khawatir kesehatan dan kenyamanan masyarakat terganggu," ungkap Roni.
Untuk kehidupan sehari-hari warga bercocok tanam di sawah. Luas sawah ratusan hektare, namun belum semuanya menghasilkan gabah maksimal. Ada puluhan hektare yang selalu tergenang dan tidak bisa ditanami. Padahal telah dilengkapi irigasi dan pintu air. Ternyata salah satu penyebab hasil panen tak maksimal dan sebagian gagal panen adalah karena air laut juga masuk ke persawahan, menyebabkan tanaman tidak tumbuh sempurna. "Hal ini menjadi permasalahan bagi kami, selain habitat buaya di sekitar persawahan yang tentu meresahkan warga ketika bertani," ungkap Roni.(bersambung)
Laporan MONANG LUBIS, Siak