SIAK (RIAUPOS.CO) - Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Abetnego Panca Putra Tarigan kunjungi Kabupaten Kampar untuk menerima masukan konflik agraria yang terjadi di Riau.
Abetnego dalam beberapa hari terakhir sudah bertemu dengan Gubernur Riau Syamsuar, Kakanwil BPN Riau dan Bupati Kampar dan perwakilan masyarakat. Kenapa Kampar, karena mewakili tipologi permasalahan di Riau.
Demikian dikatakan Abetnego di Ekowisata Imbo Putui pada akhir pekan lalu. Hadir para datuk, anak kemanakan, Direktur Eksekutif Yayasan Bahtera Alam Harry Oktavian dan Syafredo yang akrab disapa Redo dari WRI, serta sejumlah perwakilan dari dinas terkait, Penghulu Petapahan, dan perwakilan dari kecamatan, serta Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Adat Imbo Putui.
Lebih jauh dikatakan Abetnego, dia punya kepentingan melihat perkembangan dan dinamika di lapangan, konflik lahan transmigrasi, masyarakat dengan perusahaan dan sebagainya.
"Tim kami bergerak ke sejumlah provinsi, mulai Bengkulu, Banten, Jawa Tengah dan NTB," terang Abednego.
Persoalan agraria akan dijawab dan direspon oleh pemerintah karena Presiden konsen atas hal ini.
"Tidak hanya dalam perspektif hak atas tanah, tapi juga kesejahteraan.
Sejauh mana hutan dan lahan memberikan dampak positif, tidak hanya materi tapi mendorong sosial budaya terjaga dan terpelihara," jelasnya.
Ada banyak masyarahat di Riau hidup di dalam kawasan hutan dan pemerintah mencarikan jalan keluarnya sesuai dengan UU Cipta Kerja dan peraturan pemerintah.
"Makanya saya bertemu bupati dan gubernur supaya mengambil peran aktif, menyiapkan kebijakan," jelasnya.
Tidak sedikit persoalan langsung ke Jakarta, sehingga kepala daerah tidak tahu persoalan. Mekanisme yang disiapkan pemerintah berkaitan dengan kepala daerah, sebab subjeknya yang tahu pemerintah daerah. Meski peran pemerintah pusat sangat dominan, namun tetap bisa dihubungkan menjadi satu proses penyelesaian, sehingga bisa digerakkan secara bersama-sama.
Pada banyak kasus ketika pemerintah daerah tidak gerak, ketika ada keputusan pemerintah pusat, pemerintah daerah tidak punya keputusan berupa kebijakan.
"Mendagri sudah mengirim surat ke Bupati dan Gubernur menyelesaikan konflik. Tinggal menunggu apakah pemerintah daerah bergerak atau tidak," jelasnya.
Selama.ini, ada potensi ekonomi yng terkunci atas tidak jelasnya status hukum lahan yang dikuasai. Pemerintah tidak bisa mengutip pajak karena tidak ada suratnya.
Pada 2022 ada akselerasi upaya percepatan penyelesaian, termasuk Hutan Adat Inbo Putui ini, dari hukumnya sudah final.
Sementara sebelumnya Direktur Eksekutif Yayasan Bahtera Alam Harry Oktavian bersama Reda dari WRI menjelaskan banyak industri yang mengancam masyarakat maupun hutan adat. Untuk Hutan Adat Imbo Putui dulu 400 hektare dan perusahaan mengambil sebagian. Dan ini memang harus ada jalan keluarnya. Kehadiran Deputi II KSP Abednego menjawab hal itu dan diharapkan segera ada solusi.
"Tidak kalah penting kami bersama LAM, mengidentifikasi 308 komunitas adat di Riau. Kami berbicara dengan pemerintah provinsi sebagai upaya menjaga dan penyelamatan masyarakat adat," terang Harry.
Harry juga menjelaskan sejumlah permasalahan yang dihadapi komunitas adat di aliran Sungai Subayang, Talang Mamak dan Sakai serta lainnya, terutama yang ada di Batin Solapan Sebanga, karena hutan adatnya dilintasi tol berada di tiga kabupaten.
Sementara Redo membahas Imbo Putui, sebelumnya memiliki luas 400-an hektare
dan yang eksis 251 hektare. Berpindah tangan ke perusahaan 167 hektare.
"SK hutan adat ini diserahkan langsung oleh Presiden. Bentuknya pengakuan bukan izin. Banyak rencana yang akan dibuat di sini, karena ini seperti.lab atau pustaka. Dan yang pertama dibuat ekowisata," jelasnya.
Laporan: Monang Lubis (Siaksriindrapura)
Editor: E Sulaiman