SAJAK

Sajak-sajak May Moon Nasution

Seni Budaya | Minggu, 29 November 2015 - 00:12 WIB

Kami Mata Pedang

risau mengebat dan menjerat tangan kami,

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

geram-dendam dan gamang meradang dalam diri,

kami padamu datang, dengan bilah-bilah pedang

pedang inilah kami, pedang dari sejarah masa yang pahit,

yang bermuasal dari punggahan para budak moyangmu,

tawanan perang, perang-perang panjang, dari hikayat,

kitab-kitab pengetahuan, tentang sirah pedang pada abad lampau

ketahuilah, amis darah yang simbah,

di tubuh-tubuh kaum penyembah itu,

menyisakan bau di segenap penjuru,

yang kelak dikerumuni anak-anak klerek,

sisa pertempuran moyangmu dahulu

hunderbluss yang kehabisan mesiu,

bambu yang ketumpulan matanya,

pedang kami, menembus jurang dan jorong,

menghunus yang tak termbus pedang,

membelah lembah, menggapai sungai,

memacak di pinggang gunung

    

mata pedang kami mampu mengepung serdadu,

zending-zending eropa yang mengarung pulau-pulau jauh,

membutakan mata para penyeru penyembah

kau dengar, denting pedang kami ialah doa dari surau-surau kampung,

mengelabui tukang tenung di dalam istana yang sibuk bersamadi,

membaca jampi-jampi, menangkal segala ajal yang julur di mata pedang,

menikam-nikam, menyentak-menyentak hingga ke dalam sajak ini.

Pekanbaru, 2015

Dinding Madah Poedjangga

__Rida K Liamsi

dua puluh delapan sajak kaupahatkan di lumbung batu,

sehingga depang dadamu berkilau berkilat di tembok itu,

terlalu rembang memang kau takik inti kata-kata baru,

mengunggah huruf-huruf dari suhuf-suhuf kitab masa lalu,

punggah dan gubahan kata kuderesi dari jangkar jurubatu,

juga silat lidah kapten jung yang pernah menjadi cincu,

menitiskan nyanyian pada kelasi jung tentang laut biru,

kita akan semakin payah tak menenggang lingkaran madah,

Tapi tanah dan air tetap jadi teka-teki kata yang kita pecah,

meski kerap lidah dan mulut kita mengucap segala ungkap patah  

tangan kita serupa tebing dan bambu di gigi sungai yang memiuh,

tak perlu tangas dan belingas panas di depang jantung berdetak riuh,

dalam memilah kata, di bibir dan jari kita yang berpilin dan berpulun,

dalam menjulai segala aksara yang terserak di rimba bahasa yang santun.

Pekanbaru, 2015









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook