KERJA KERAS FTBM MEMBANGUN KECINTAAN MEMBACA (1)

Berjuang hingga Buku Sampai ke Pembaca

Seni Budaya | Minggu, 28 Mei 2023 - 11:30 WIB

Para relawan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) adalah para pejuang literasi sesungguhnya. Tanpa pamrih mereka menggelar lapak baca hingga ke ceruk-ceruk kampung.

“SAYA orang yang tersesat di dunia literasi ini…”


Begitu yang disampaikan Sutriyono (44), Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Riau, saat sama-sama baru duduk di kursi di lantai dua sebuah kedai kopi, Selasa (23/5/2023). Di sebelahnya ada Redovan Jamil, relawan dari lembaga filantropis Dompet Dhuafa (DD) Republika, yang juga salah seorang pegiat literasi dan pengelola TBM. Sambil menunggu kopi yang dipesan datang, perbincangan tentang para pejuang TBM dan bagaimana membangun literasi di Riau langsung tak bisa dihentikan.

Sutriyono mengaku tersesat dalam dunia literasi karena paham bahwa apa yang dilakukannya saat ini –selain bekerja di sebuah perusahaan di Pelalawan— tidak singkron dengan pendidikan formalnya. Dia tamatan SMK 2 Pekanbaru, namun sudah lama hidup dalam pergerakan dunia taman bacaan, dan kini malah menjadi ketua. Namun dia mengaku, kecintaannya kepada buku dan hobi membaca membuatnya tertarik mengabdikan dirinya pada dunia literasi ini.

“Di FTBM ini saya selalu bilang ke kawan-kawan, saya tak mencari orang hebat atau pintar, saya hanya mencari orang yang peduli dan berjuang. Karena yang dibutuhkan dalam gerakan ini ya dua hal itu,” katanya seperti berfilosofi.

Dia merasa bersyukur, banyak orang baik yang sefrekuensi yang datang membantu. Mereka datang silih-berganti. Terutama dari kalangan mahasiswa yang ikut apa yang dia lakukan. Para mahasiswa itu, katanya, memang selalu datang dan pergi, sesuai dengan waktu mereka kuliah. Setelah selesai kuliah, biasanya mereka mencari pekerjaan untuk hidup mereka, dan membangun rumah tangga. Ada dari beberapa mereka yang masih aktif dalam dunia gerakan TBM dan literasi, tetapi banyak juga yang sibuk dengan pekerjaannya yang tak sempat lagi melakukan kegiatan tersebut.

Sutriyono bercerita, FTBM Riau dibentuk karena keresahan. Secara legal hukumnya berdasarkan SK yang diberikan oleh FTBM Pusat, terbentuk pada 2019. Awalnya dia terjun ke FTBM ini, pada 2017, dia mulai membuka lapak baca sendiri pada setiap Car Free Day (CFD) atau hari tanpa kendaraan, di Taman Kacamayang. Awalnya mengisi waktu sambil menyalurkan hobi baca dari jam 06.00-09.00 WIB. Awalnya tak banyak yang melirik lapak bukunya. Namun setelah beberapa kali, banyak orangtua yang membawa anak-anaknya datang membaca dan mewarnai.

Dia mengaku  hobi membaca sejak SMP. Awalnya bukan cerpen atau novel berat, dia suka baca cerita Kho Ping Ho, Wiro Sableng dll, di taman-taman bacaan berbayar. Kemudian, setelah menikah, dia tinggal di Tanjungpinang (Kepulauan Riau), punya keluarga, ada anak yang mulai tumbuh dan besar. Di dalam keluarganya, anak sudah ditanamkan membaca. Sudah ditanamkan juga ke anak-anaknya, beli apa pun, selain mainan, asal buku, mahal pun dibelikan. Ringkasnya, dia kemudian diskusi dengan istrinya di Tanjungpinang untuk menjadikan rumahnya sebagai taman bacaan. Kemudian mereka mengajak pemuda di kawasan tempat tinggal dan mendirikan TBM Raja Ali Haji.

Lalu, karena mendapatkan pekerjaan di Riau dan dia tinggal di  Pekanbaru, dia juga melakukan hal yang sama. Dia berpikir, anak-anak butuh bacaan, saat mereka tumbuh remaja mereka perlu wadah untuk melakukan sesuatu. Makanya di Pekanbaru, dia buka lapak, memberikan ruang baca di setiap Ahad pagi. Awalnya yang dia bawa buku-buku agak berat, karena koleksi di rumah. Seiring waktu, banyak orang tua bertanya kok buku anak-anaknya sedikit. Dengan keyakinan bahwa energi positif akan menarik frekuensi yang sama, lalu beberapa teman-teman tertarik untuk bergabung.

“Lalu pelan-pelan, saya berpikir menyisihkan uang belanja untuk membeli buku bacaan anak-anak. Setelah itu banyak juga teman yang membantu menambah koleksi buku,” kata lelaki yang mengelola TBM Oemar Bakrie di Pekanbaru ini.

Seiring berjalannya waktu, kawan-kawan dari berbagai TBM ngajak ngumpul, ngobrol, dan diskusi. Kemudian para pengelola dan relawan TBM itu banyak yang mengusulkan agar TBM-TBM ini terikat. Agar tak berserakan, terus menjadi bola liar, bagaimana kalau dibentuk sebuah komunitas atau forum. Mereka kemudian mencari informasi dan tahu bahwa skala nasional, sudah ada FTBM.

Dari sana, mereka kemudian sama-sama berproses. Prosesnya panjang, bukan ujug-ujug. Mulai 2018 dia usulkan pendirian dan bertanya lagi ke para pengelola TBM, terutama yang tinggal di Pekanbaru, apakah rencana membuat komunitas atau forum dilanjutkan.  Kemudian mereka kenal dengan salah seorang orang tua yang pernah menjadi sekretaris FTBM Riau,  Adimir (almarhum). Dia punya Pusat Kegiatan Belajar Masyrakat (PKBM) di Rumbai. Sutriyono kemudian menjumpainya dan ngobrol panjang. Dia berharap Adimir yang menajadi ketua karena memiliki link di mana-mana dan tentu saja pengalaman. Adimir juga asesor untuk sekolah non-formal, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Namun Adimir justru mendorong  dan mem-back-up dirinya untuk menghidupkan kembali FTBM itu. Setelah itu dia mencari tahu, ternyata  salah satu asesor Badan Akreditasi Nasional (BAN) Kementrian Pendidikan Nasional (sekarang Kemendikbudristek) adalah Ketua Forum TBM Indonesia, yakni Firmansyah, dosen di  Universitas  Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten. Sutriyono kemudian banyak berhubungan dengan Firmansyah dan diberi banyak masukan, termasuk diberi contoh AD/ART bagaimana mendirikan FTBM di daerah.

“FTBM ini adalah wadah bagi teman-teman pengelola TBM untuk mengembangkan diri. Minimal para pengelola TBM yang kebanyakan ibu-ibu, bisa belajar bersama dan membuat donatur percaya untuk menyumbangkan bukunya kepada pengelola. Kemudian bagi yang suka menulis, kami carikan teman-teman yang paham menulis untuk mengajarkannya. Ini juga bagian dari membangun dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM),” ujar Sutriyono lagi.

Salah satu upaya yang dilakukan FTBM Riau adalah  mengadvokasi para pengelola TBM dengan mencarikan orang-orang yang peduli dan mau mendonasikan buku. Karena masalah TBM/pustaka pribadi ini, adalah berhubungan dengan pengadaan buku. Para donator bisa mengirimkan buku hingga buku sampai tangan mereka. FTBM Riau  juga berkolaborasi dengan teman-teman daerah sehingga terbentuk kepengurusan daerah. Sampai saat ini sudah ada 7 pengurus kabupaten/kota, yakni Pekanbaru, Inhil, Rohul, Kuansing, Pelalawan, Kampar, Dumai.

Menurut Sutriyono, dan itu sering disampaikan kepada para pengelola TBM, bahwa literasi bukan hanya bicara  baca-tulis. Karena bagaimanapun mereka berhadapan langsung dengan masyarakat yang dampak sosialnya lebih besar. Dia selalu menjelaskan kepada mereka, bahwa  harus lebih peka dengan kondisi sosial di daerah sekitar masing-masing. Tapi juga tak bisa dilepaskan pada kemampuan sumberdaya pengelola, karena berbeda-beda. Ada yang pengelolanya memang orang berpendidikan literasi tapi ada yang hanya ibu-ibu yang peduli. Dia berharap TBM ini menjadi rumah yang membuat pemerintah bisa mencari tahu masalah sosial di sekitar TBM tersebut. Misalnya, ternyata lewat TBM ini diketahui banyak anak-anak yang belum bisa membaca di usia sekolah. Ketika datang ke TBM, baru tahu ternyata, di usia sekolah, misalnya sudah kelas 2-3 SD, ternyata belum bisa membaca.

Apakah pemerintah peduli dengan hal-hal seperti itu? Menurut lelaki kelahiran Pekanbaru tahun 1979 ini, sejauh ini pemerintah  belum sampai ke sana, tetapi  dengan adanya TBM ini minimal mendapatkan informasi hal tesebut. Sebagai contoh,  ada TBM Iqro di KM 16 di pinggir Pekanbaru arah Pelalawan, yang dikelola oleh Muzakir. Dia mantan pustakawan di Perpustakaan Provinsi Riau. Awalnya belum berniat membuka TBM di rumahnya, namun setelah kenal dengan FTBM Riau, dan ngobrol, akhirnya buka TBM di rumahnya. Sampai sekarang sudah masuk tahun kelima.

Karena mendirikan TBM itu dia baru tahu ada banyak anak usia sekolah sampai 9 tahun, ternyata belum bisa membaca. Tahunya, setelah mereka datang ke TBM, membaca terbata-bata. Kondisi ini ada di Pekanbaru sebuah kota besar, belum di desa-desa di kabupaten, atau malah di ceruk-ceruk kampung. Akhirnya mau tak mau empati sosial itu muncul.

“Kami berharap teman-teman seperti itu, jadi di TBM bukan hanya bicara literasi baca-tulis. Mestinya di TBM ini sudah multiliterasi karena kami langsung berhadapan dengan persoalan sosial di sekitar,” ujar Sutriyono lagi.

Sutriyono mengucapkan terima kasih dengan banyak pihak yang selama ini membantu TBM dan FTBM Riau. Dari kalangan swasta atau yayasan, ada beberapa yang membantu. Misalnya untuk pengadaan buku  adalah Yayasan Bunda Suci. Yayasan ini dikelola oleh Alex, yang sekarang pindah kerja di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka banyak menyumbang buku dan alat tulis yang  dikirim ke TBM-TBM di daerah-daerah. Kemudian juga berkomunikasi dengan Gramedia Pekanbaru dan mendapat bantuan buku lewat CSR mereka. (Bersambung)

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook