ESAI SASTRA

"Suara 16", Belajar dari Suara Ayam Jantan

Seni Budaya | Minggu, 27 Desember 2015 - 01:25 WIB

oLEH MUSA ISMAIL

Berdasarkan pembacaan dan interpretasi yang saya lakukan, cerpen-cerpen Taufik Ikram Jamil (TIJ) memang unik. Cerpen-cerpennya boleh di sebut cerpen kontemporer, terutama jika kita merenungi lapisan maknanya. Meskipun bahasanya terkesan sederhana, tetapi senantiasa memberikan kejutan-kejutan (suspense). Cerpen "Suara 16", misalnya, merupakan salah satu cerpen tersebut yang terbit di Riau Pos (Ahad, 13/12/2015). Sebelum ini, TIJ pun telah melahirkan cerpen unik lainnya, yaitu "Suara 4" dan "Suara 15". Secara sederhana, cerpen "Suara 4" mengisahkan tentang jual-beli suara melalui seorang sales. Cerpen "Suara 15" pula berkisah tentang tokoh bernama Suara. Kedua cerpen ini telah saya bahas dan dimuat di koran ini.

Cerpen  "Suara 16" agak kontradiktif jika dibandingkan dengan ke dua cerpen suara sebelumnya. Kontradiktif cerpen ini terletak pada kejutan akhir yang disampaikan TIJ. Ada pesan religius yang menjadi kejutan dalam cerpen ini. TIJ menjadikan ayam sebagai objek konflik kisahannya. Bermula dari tokoh Saya yang berprofesi sebagai pedagang ayam jantan. Seorang tokoh lelaki dalam cerpen ini, menurut saya, sungguh misterius. Di sinilah salah satu keunikan TIJ mengemas kejutan, baik disengaja atau tidak. Tokoh lelaki inilah menjadi pusat perhatian tokoh Saya. Dalam hubungan dagang, lelaki inilah yang menjadi pembeli aneh yang irasional. Kita tak akan pernah menjumpai pembeli aneh ini dalam kenyataan sehari-hari.

Tokoh lelaki ini hanya membeli ayam jantan dari tokoh Saya. Selanjutnya, ayam jantan tersebut dijual kan kembali ke orang lain melalui tokoh Saya. Aneh, hanya ayam jantan yang dibeli dan dijualkannya kembali. Tentu saja hubungan dagang aneh ini bisa menguntungkan tokoh Saya meskipun penuh per tanyaan. Pertanyaan hakiki dari cerpen ini adalah simbolisasi ayam jantan oleh TIJ dalam cerpennya.

Mengapa ayam jantan? Di sini juga menjadi keunikan TIJ. Keunikan ini sekaligus menjadi kecermatan penulis roman Hempasan Gelombang tersebut dalam menggali aspek Melayu yang religius. Jika selama ini keberadaan ayam jantan cuma dimanfaatkan sebagai hewan perjudian, selain dijadikan makanan, tetapi dalam cerpen "Suara 16", keberadaan ayam jantan menjadi suci. Ayam jantan dalam cerpen ini menjadi pusat penanda interaksi antarmakhluk dengan Allah Taala. Tampaknya, TIJ ingin menuangkan pemahamannya tentang aspek religius melalui ayam jantan dalam cerpennya. Sampai di sini, pembaca awam akan merasa aneh jika membaca dan memahami ide TIJ dalam cerpen ini.

Mengapa cerpen ini mengusung kejutan religius? Misteri lelaki pembeli ayam jantan terungkap di penghujung kisahan. “Saya sudah menemukan ayam jantan yang suaranya pas dengan apa yang diharapkan....” Jual-beli pun dihentikan. Tokoh Saya mendapat bonus dari lelaki itu. Semua ayam jantan yang masih tersisa, diberikan kepada tokoh Saya. Tokoh Saya tercengang. Hanya gara-gara suara ayam jantan, lelaki itu sanggup bersusah-payah. Tokoh Saya menjadi lebih tercengang mendengar jawaban lelaki itu. “Iyalah, Pak. Bukankah suara ayam jantan, apalagi menjelang subuh adalah suara yang paling disukai Allah SWT di muka bumi selain suara orang membaca al-Quran. Jadi apa salahnyajika kita sedikit bersusah payah mencari kesukaan  Allah tersebut, dengan cara memilih-milih di antara suara ayam jantan semampu kita baik dengan harta maupun diri kita,” katanya sambil berlalu, tanpa lupa mengucapkan salam. Dialog di akhir cerpen oleh tokoh lelaki ini menjadi kunci utama ide TIJ. Dialog ini juga menjadi corong kesadaran tokoh Saya (bisa diterjemahkan kita) yang selalu disibukkan oleh pekerjaan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook