Dalam konteks puisi, ketika Sutardji dulu punya kredo “memenggal” makna dari tubuh kata, bukankah sesungguhnya ia hendak memberi kebebasan pada kata untuk hidup tanpa beban. Artinya, kematian di pihak lain, adalah juga (pada saat yang sama) memberi kehidupan di pihak yang lain pula. Dan puisi yang berbahagia, adalah puisi yang tidak menangisi nasibnya sendiri, tidak menangisi kematiannya sendiri, tapi menikmatinya sebagai proses menemukan kehidupan yang lain lagi.
“Aku ingin hidup seribu tahun lagi...” kata Chairil. Seribu tahun, adalah batas mustahil untuk hidup manusia. Tapi yang mustahil itu, kadang adalah “nyawa” berlebih bagi kehidupan. Nyawa berlebih itu, adalah kodrat puisi. Ia selalu bisa bernapas di segala zaman, sebab ia selalu bisa lahir dari rahim zaman apapun. Bahkan pada saat, ia (puisi) tak lagi dipercaya sebagai nyawa kata-kata, tidak lagi dipercaya sebagai jiwa bahasa.
Ketika Caligula memilih utopia, Sutardji memilih memenggal makna, dan Chairil memilih batas paling mustahil bagi kehidupan manusia, maka pada saat itu mereka tengah meyakini bahwa kematian boleh datang kapan saja, dipaksa atau tidak, baik atau buruk. Sebab hidup adalah sekumpulan paradoks yang terus tumbuh dalam jejaring sosial kita. Paradoks yang diam-diam terus kita rasionalisasi sendiri dalam harapan-harapan, dalam mimpi. Mimpi, yang kerap juga membunuh diri kita sendiri.
Maka, upacara “bunuh diri” hari ini, seolah terjadi tiap hari dalam diri kita. Pun, dalam dunia perpuisian kita.***