OLEH ANWAR NOERIS

Dulu dan Sekarang

Seni Budaya | Minggu, 20 Desember 2015 - 02:34 WIB

Perbincangan sastra Indonesia dalam menyulut semangat kebangsaan sebenarnya telah berdengung lama. Pasca kemerdekaan, karya sastra telah ditulis dan dipelajari oleh masyarakat Indonesia. Toh, meskipun pada waktu itu masih tergolong minor karya-karya sastra di Indonesia. Tapi lubang kecil itu tak bisa menutup kemungkinan masyarakat Indonesia untuk terus bangun dan mempelajari karya sastra.

Para founding fathers kita merupakan pembaca karya sastra yang baik, dari buku-buku sastra barat dan eropa mereka melngkapi kekurangan pengetahuan yang terbatas dari karya sastra yang berada di Indonesia, dari buku-buku itu pulalah mereka menemukan semangat nasionalisme dan perjuangan melawan penjajahan, menghapus bentuk-bentuk penindasan kaunm pribumi. Bahkan ada sebagian dari mereka yang menulis dan mengekspresikan sikap nasionalisme dalam bentuk karya sastra, semisal Muhammad Yamin.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Dalam konteks sejarah tentu kita tidak mau melupakan bangsa yang besar dibangun oleh kesusastraan yang besar dan orientatif. Yunani, sebuah kota kecil yang menjadi kiblat pengetahuan seluruh bangsa dunia, di mana ilmu filsafat dan ilmu-ilmu lainnya berkembang dan membawa perubahan bagi dunia pengetahuan dan kemajuan di Yunani tersebut. Kemajuan itu tentu tidak lepas dari sosok penyair Homerus. Dalam rumusan Batrend Rassel, Homerus adalah sekelompok penyair yang menulis syair-syair kebijaksanaan, ketuhanan, pengetahuan, penyucian batin, yang pada waktu itu telah banyak mengilhami masyarakat yunani untuk terlepas dari masa kelam—kebobrokan.

Kemuadian muncullah Thales, bapak filsafat yang diilhami oleh syair-syair Homerus, Thales sampai berani mengasumsikan subtansi terbesar alam adalah air. Disusul oleh Anaximendros dan Anaximenes dan filsuf-filsuf lainnya, telah mampu memberi jalan terang bagi masyarakat Yunani. Dan samapai kini kota Yunani masih diperbincangkan sebagai kiblat ilmu pengetahuan seluruh dunia.

Jika kita berani melihat kemajuan Yunani, tentunya kita juga mampu menganalisis bangsa Indonesia yang juga tidak kering dari gemerlap kesusastraannya. Pada zaman klonial karya sastra telah matang untuk mengusut persatuan masyarakat Indonesia yang majmuk; beragam etnis dan suku juga agama. Uasaha menyatukan dalam semangat kebangsaan lewat karaya sastra telah ditulis oleh beberapa sastrawan seperti S Hardjosoemarto dan Aman DT Madjoindo dalam roman Rusmala Dewi: pertemuan Jawa dan Andalas (1933).

Student Hidjo (1919) sebuah karya dari Marco Kartodikromo, yang menggambarkan—potret seorang pribumi yang bangkit untuk melawan klonialisme, membentuk keberanian masyarakat Indonesia dengan doktrin kebangsaan yang pada waktu itu karya sastra ini dianggap melawan keras ketentuan-ketentuan klonial. Muhammad Yamin dengan buku puisi Tanah Air (1922) juga memberi stimulasi kesadaran bagi masyarakat Indonesia untuk bersatu demi sebuah kemerdekaan. Nur Sutan Iskandar sebelum proklamasi kemerdekaan juga menulis roman dalam upaya masyrakat Indonesia membidik persatuan dan kesatuan untuk merebut kemerdekaan Indonesia secara penuh dari tangan klonialisme yang di kisahkan dalam Cinta Tanah Air (1944).









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook