OLEH ANWAR NOERIS

Dulu dan Sekarang

Seni Budaya | Minggu, 20 Desember 2015 - 02:34 WIB

Narasi besar kesusastraan Indonesia telah memberi andil semangat nasionalisme, bahwa negara Indonesia yang binneka dan penuh keberagaman pemahaman terus dibina oleh karya sastra, sampai hari ini. Toh, meskipun beberapa persoalan yang tak kunjung reda menyelimuti bumi pertiwi, dari rezim pemerintahan yang otoriter sampai system pemerintahan yang bal-abal, namun karya sastra tetap utuh menjaga kesadaran dan jiwa nasionalisme.

Selama orde baru buku-buku sastra memang agak sepi dan sebagian sastrawan di asingkan. Kebebasan berekspresi di jaga ketat oleh pemerintah—teks-teks sastra yang keras dan bersifat kritik dilarang terbit, bahkan ada yang dibakar. Carut-marut bangsa dan negara bukan malah menyiutkan nyali sastrawan kita untuk menulis karya sastra, tapi dari realitas yang mendesak demikian karya sastra semakin menemukan taringnya memberi pandangan luas bagi masyarakat Indonesia.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pramoediya Ananta Toer, W. S Rendra, Mochtar Lubis, sampai Wiji Thukul, adalah sebagian kecil dari banyaknya penulis sastra kita yang berjuang memperjuangkan masyarakat Indonesia sejahtera dan maju sebagai bangsa yang makmur. Kesusastraan menjadi strategi liner mengatasi berbagai kecamuk dan amuk sistem di negara ini, berada di bagian terdepan memimpin demokrasi dan hak masyarakat.

Dewasa ini sebenarnya gagasan kesusastraan mengenai kebangsaan masih terus ditulis dan dibaca, masih terus diperjuangkan meskipun kabar itu menunjukkan angka yang cukup rendah. Tapi setidaknya para sastrawan mutakhir kita tidak hendak melupakan pesan Bung Karno “jangan lupakan sejarah”, bahwa negara Indonesia dalam proses kemerdekaan tidak terlepas dari gagasan kebangsaan kesusastraan menyatukan daya krtitis dan keberanian untuk keluar dari jerat klonialisme.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook